Share

DUA

“Kita harus menghargai diri sendiri dengan baik lebih dari apa pun,

termasuk pergi dari orang yang tidak pernah menghargaimu.”

Pagi menjelang. Seorang perempuan cantik masih tertidur nyenyak

di ranjang. Kamar sederhana, berbagi dengan teman pantinya.

Perempuan kecil yang dulu ditemukan menangis di tepi persawahan

pada malam hari, kini sudah tumbuh besar, seperti remaja pada umumnya.

Tingginya kini 150 senti, wajah dengan pipi gembul, iris sebiru langit,

tampak memesona. Kalung berinisal ACQAE selalu bergelantungan di

leher. Diingatnya nama lengkap hanya Alvara Catania, sedangkan sisanya

tidak ia ketahui. Dari sana, kemudian orang-orang memanggilnya Ara.

Seorang wanita datang, kemudian menggoyang-goyangkan tubuh

Ara dengan pelan. “Sayang, bangun, yuk! Ara Sayang, bangun!”

Tak lain dan tak bukan ialah pemilik Panti Asuhan Kasih Bunda.

Namanya Nia. Dialah yang menemukan Ara malam itu dan merawatnya

hingga sekarang ini. Kesehariannya mengurus panti dibantu satu-dua

orang temannya. Sang suami bekerja sebagai pegawai bank, tetapi ia tidak

pernah merasa kekurangan dana hingga tidak mampu mengurus panti

asuhan tersebut. Selama lima tahun menikah, ia belum juga dikaruniai

keturunan. Namun, hal itu tidak membuat ia kehilangan romantisnya

hubungan dengan sang suami.

Panti asuhan ini pun semakin berkembang karena banyak donatur

yang selalu datang untuk memberikan sumbangan setiap bulan dan sebab

itu pula, panti asuhan ini menjadi panti asuhan yang terbaik dan terkenal

di kota Jakarta.

“Iya, Bun, Ara udah bangun, kok,” sahut Ara seraya meregangkan

tubuh.

Setiap harinya Ara selalu bangun sekitar pukul lima pagi untuk

membantu bunda memasak meski kadang ditolak. Seperti pagi ini, ia

dilarang untuk membantu memasak dan memilih merapikan kamar,

lantas bergegas untuk bersiap ke sekolah.

“Selamat pagi, adik-adik, Bunda!” sapa Ara ceria saat sampai di meja

makan.

“Pagi, Kakak Ara!” balas serentak adik-adik serta Ibu Nia.

“Nih!” Nia menyodorkan sepiring nasi goreng untuk Ara yang dibalas

ucapan terima kasih oleh gadis itu.

Nia dan anak-anak panti makan bersama dengan lahap, menikmati

makanan masing-masing tanpa banyak bicara.

Setelah selesai, Ara meminum segelas air putih, lalu beranjak menghampiri

Bunda Nia untuk pamit berangkat ke sekolah. “Bunda, Ara berangkat

dulu, ya.”

“Iya, Sayang. Hati-hati di jalan,” jawab Bunda sambil tersenyum

ketika Ara mencium punggung tangannya. “Kamu masih bekerja di kafe,

Sayang?”

“Iya, Bunda. Seperti biasa Ara pulangnya.”

Tidak lupa gadis itu pamit pada adik-adik di panti. Kaki itu kemudian

berjalan keluar menuju halte untuk naik kendaraan umum yang menuju

tempat menimba ilmu.

Semenjak menginjak bangku SMP, Ara sudah bekerja menjadi

pelayan di sebuah kafe. Ia bekerja setelah sepulang sekolah sampai pukul

sembilan malam.

Jarak dari panti ke kafe membutuhkan waktu yang tidak terlalu

lama karena memang jaraknya tidak terlalu jauh, sedangkan dari panti

ke sekolah, jarak yang ditempuh kurang lebih menghabiskan waktu dua

puluh menit. Jadi, ia hanya mengeluarkan ongkos untuk berangkat dan

pulang sekolah saja karena jarak yang tidak terlalu jauh dari kafe ke panti,

ia cukup berjalan kaki.

Gadis itu sama sekali tidak keberatan. Hitung-hitung menambah uang

sakunya. Ia menolak untuk diadopsi meski oleh keluarga berkecukupan

karena sudah menganggap Nia sebagai ibu kandung, sehingga berat sekali

untuk berpisah. Untung saja tidak pernah ada orang yang keberatan karena itu. Tentu saja ia tidak melupakan keluarganya yang dulu meski

sekarang tidak tahu mereka ada di mana.

Ara rajin menabung dan berhemat. Di sekolah pun ia jarang jajan

karena uang sakunya ditabung untuk kebutuhan lain. Oleh sebab itu, ia

setiap hari membawa bekal agar tidak kelaparan di sekolah.

Akhirnya, gadis itu sampai di sekolahnya yang terbilang elit. Sekolah

itu bernama A’drson Z’beth High School, sekolah yang terkenal untuk

anak-anak kalangan atas karena fasilitas juga pendidikan yang berkualitas.

Ara bersyukur bisa masuk sekolah favorit di Jakarta ini jalur beasiswa.

Semua itu berkat kepintaran yang dimiliki.

“Ara!”

Sontak saja gadis itu berbalik, mencari seseorang yang baru saja

memanggilnya. Senyumnya terkembang lebar ketika menangkap sosok

Alika yang kini berlari kecil menghampiri. Ia bersyukur karena masih

ada yang mau berteman dan bersahabat dengan dirinya. Alika termasuk

orang kalangan atas, tetapi tidak malu berteman dengannya, bahkan

mereka sudah bersahabat SMP.

“Yuk, ke kelas!” ajak Alika dengan semangat dan dibalas Ara dengan

anggukan kepala.

Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Sesekali mengobrol

disertai canda tawa. Ara tidak menghiraukan siswa-siswi lain yang

menatapnya rendah, sudah biasa akan hal ini. Selama mereka tidak

berbicara langsung di depannya, ia akan memilih diam saja.

Sesampainya di kelas, Alika dan Ara disambut oleh Jessika atau biasa

dipanggil Ika. Mereka bertiga bersahabat baik sudah dari SMP. Kebetulan

takdir, mereka dipertemukan di SMA yang sama, bahkan juga sekelas.

Persahabatan yang indah, tidak membedakan kasta meski terkadang

masih tidak sedikit yang memperlakukan Ara dengan tidak baik.

***

Bel pertanda usainya pelajaran berdering nyaring. Seluruh siswasiswi bersemangat untuk pulang ke rumah masing-masing dan

mengistirahatkan penat, termasuk Ika dan Alika yang ingin segera

merebahkan diri di ranjang empuk.

“Ara, main ke rumahku, yuk!” ajak Ika seraya menyampirkan tas di

bahu. Ara menggeleng lemah dengan wajah bersalah. “Sorry, gue nggak

bisa. Kan, gue harus kerja.”

“Kenapa harus kerja, sih, Ra? Kan, Bunda Nia bisa ngebiayain

kebutuhan lo dan adik-adik lo di panti asuhan.”

“Iya, gue tau, tapi gue nggak mau liat bunda kecapekan. Gue cuma

mau bantu-bantu sambil nambahin uang saku,” jelas Ara dengan ringan

seakan tidak pernah terbebani. Selain itu, ia merasa bertanggung jawab

karena sisa dirinya yang paling tua di panti dibanding adik-adiknya yang

lain.

“Ya, terus kapan, dong, lo bisa full time bareng kita?” tanya Alika

menuntut kejelasan.

Ara berpikir sejenak dengan tangan mengetuk-ngetuk dagu. “Sabtu,

deh. Gue janji Sabtu gue ke rumah lo.”

“Janji, ya?” Ika menatap penuh selidik.

Ara mengangguk. “Iya. Udah, yuk, pulang! Udah sepi juga,” ajaknya

sembari menggandeng tangan kedua sahabat menuju ke luar kelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status