Share

4. Menerima Tawaran

"Arion, kamu baru pulang, Nak? Segera bebersih, Bunda punya tamu spesial buat kamu." Nyonya Harrison menyapa hangat ketika mendapati putra sulungnya datang.

Masih sama seperti biasa ketika dia pulang ke rumah, selalu menerima kasih sayang yang tiada tanding meski usianya sudah kepala tiga.

Biasanya Arion tinggal di Penthouse pada salah satu gedung apartemen paling mewah di Ibu Kota atas kepemilikan keluarganya, Harrison Group. Apartemen itu masih satu kawasan dengan kantor, sehingga memudahkan Arion untuk pulang pergi melakukan kewajibannya sebagai Direktur Muda penerus ayahnya kelak.

"Siapa, Bun?"

"Rahasia. Ada di ruang baca Mama, nanti kita makan malam bersama. Kamu bersiaplah seganteng dan serapi mungkin."

"Andre datang bersama istri dan anaknya?" Arion bisa menebak dengan mudah, sebab tadi sempat dapat kabar jika si sulung akan datang sesuai pinta ayahnya yang sedang sakit.

"Itu nggak salah, tapi masih ada kejutan lain."

Arion tersenyum, mengecup pipi sang bunda dengan penuh kasih. "Kalau begitu aku bebersih dulu, Bun. Nggak sabar pengin lihat di bayi juga. Dia pasti menggemaskan."

Nyonya Harrison mengangguk riang. "Dia cantik dan gembul banget, mirip Andre. Lucu, Bunda senang ajakin dia main dari tadi."

"Kenapa mirip Andre? Harusnya mirip Litzi saja."

"Arion, jangan jahil sama adik kamu. Kebiasaan kalau dia pulang, diajakin gelut terus. Namanya hasil perbuatan Andre, wajar kalau mirip papanya. Yang bahaya itu kalau mirip kamu, nanti Litzi dikira selingkuh."

"Nggak kelihatan kalau Litzi bakal selingkuh dari Andre, Bun. Memangnya dia berani dikunyah Andre?"

Nyonya Harrison menggertakkan gigi. "Mereka saling mencintai, syukurlah. Gih sana, mandi yang wangi. Bunda tunggu di rumah makan."

"Iya, Bun. Jangan kelelahan, kantong mata Bunda kelihatan banget, pasti habis begadang. Nanti biar gantian sama aku jagain Ayah."

"Ayah sudah baikan, apalagi lihat kamu, Andre, mantu, dan cucu kesayangannya kumpul di sini. Obat Ayah itu nggak susah, tinggal kalian yang lebih banyak ngerti buat pulang lebih sering."

"Arion setiap hari ketemu ayah di kantor, Bun. Andre dan Litzi tuh, sibuk di Surabaya terus, lupa kalau punya orang tua di sini."

"Hutsss, Arion. Litzi 'kan habis lahiran dan jaga bayi sekecil Aurora, wajar kalau nggak sempat ke mana-mana."

Arion hanya tertawa kecil. "Aku ke kamar dulu, Bun, capek banget." Memeluk Nyonya Harrison sebentar selalu bisa mengurangi rasa lelah dan pusing. Obat paling ampun ada pada wanita kesayangannya ini.

Sepanjang langkahannya menuju lantai dua, Arion menghela napas panjang. Setiap melihat keluarga kecil Andre, hati kecilnya selalu bergerimis.

Takdir memang tidak sejalan dengan rencana. Arion niatnya tidak ingin dilangkahi oleh sang adik menuju pernikahan. Namun apalah daya, ternyata Tuhan memiliki garis hidup penuh rahasia. Terbukti sekarang Andre sudah jauh meninggalkannya yang masih jalan di tempat. Andre lebih muda lima tahun dari Arion, tapi pria itu sudah memiliki istri dan anak yang baru lahir tiga bulan lalu.

Ah, Arion sedih jika terus memikirkan keadaan di antara mereka. Tidak dipungkiri, dia sangat iri melihat kehidupan sang adik yang kelihatannya sangat membahagiakan.

Niat Arion sama seperti Andre, menikah muda. Hanya saja sudah kepala tiga dia belum pernah memiliki kekasih. Arion sangat sulit tertarik dengan wanita, bahkan beberapa keluarganya meragukan kernomalan dirinya.

Meletakkan ponselnya untuk mengisi daya, satu pesan muncul pada layar ponselnya.

Nomor Tidak Dikenal: Permisi, dengan Pak Arion? Ini Airyn Gershon, salah seorang mahasiswi semester lima yang akan magang di kantor Bapak. Apakah ada persyaratan khusus yang harus saya penuhi selain proposal magang, surat izin dari fakultas, dan transkip nilai? Saya mendapatkan nomor Bapak dari Ibu Laila, maaf jika lancang mengirimkan pesan ini. Terima kasih.

Senyum Arion tercetak seketika.

Bagi sebagian orang mungkin ini terbilang tidak sopan kerena langsung menghubungi ke orang yang bersangkutan, tapi kali ini justru Arion-lah yang meminta agar Ibu Laila bisa memberikan nomornya kepada Airyn untuk menghubunginya secara pribadi.

Arion Harrison: Selamat sore. Sertakan daftar riwayat hidup, pas foto, dan sertifikat pelatihan jika kamu memilikinya (akan lebih baik).

Airyn Gershon: Maaf bertanya lagi. Pas fotonya latar merah atau biru, Pak Arion? Kalau tidak punya sertifikat pelatihan bagaimana, Pak? Terima kasih sebelumnya.

Arion Harrison: Latar merah. Tidak apa.

Melihat pesannya hanya dibaca dan Airyn tidak lagi terlihat aktif, Arion menaikkan alis, lalu tersenyum singkat.

***

Airyn masih terjaga untuk menunggu Guntur pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Bayangan sang papa tidak terlihat sama sekali bahkan suara motornya pun belum menggelitik pendengaran. Airyn harus izin dulu sebelum memutuskan benar-benar mengikuti magang. Dia takut papanya tidak mengerti, nanti dikira Airyn bekerja.

Alasan utama untuk menghindari rasa malu jika papanya marah-marah di tempat umum tanpa aturan. Apalagi tempat magang yang akan Airyn tuju ini salah satu perusahaan besar. Selain malu dan takut papanya dipandang buruk oleh banyak pihak lainnya, Airyn juga tidak ingin mencemarkan nama baik kampus. Terlebih ibu Laila selaku dekan sudah mempercayai dirinya.

"Ai, kok belum tidur? Jarang banget Papa lihat kamu nggak tidur jam segini." Guntur terkejut mendapati Airyn berada di sofa ruang tengah. Sejak jaman sekolah, Airyn jarang sekali begadang, kecuali jika ada tugas atau ujian yang mengharuskannya belajar lebih banyak.

Airyn tersenyum, senang melihat Guntur pulang tanpa mabuk dan keadaannya baik-baik saja seperti orang normal pada umumnya. "Papa udah makan?"

Guntur menaikkan alis. "Kenapa? Uang kamu dirampas mama lagi?"

"Enggak kok, Pa. Aku mau ngomong sesuatu, tapi kalau Papa belum makan, biar aku masakin sebentar. Papa mau?"

"Kenapa nggak tidur aja, kamu capek kuliah dan beberes rumah. Besok bukan weekend, pasti ke kampus lagi."

Airyn tersenyum, menyuruh Guntur duduk di sampingnya. "Papa mau dengerin kalau aku ngomong bentar?"

"Bikinin Papa kopi dulu, Papa sudah makan tadi. Kamu gimana? Andai tahu kamu belum tidur jam segini, Papa belikan makanan."

"Udah, Pa. Aku kenyang. Sebentar, Papa bebersih aja dulu, ganti baju. Aku tungguin."

"Ngomong apa? Kenapa buat Papa cemas? Papa nanti ganti baju, kamu buatin aja dulu kopinya."

Sepeningga Airyn ke dapur, Guntur menyalakan televisi sambil merokok. Hal yang tidak biasa seperti ini membuatnya tidak enak hati, takut terjadi sesuatu pada putrinya.

Airyn kembali dengan senyuman dan secangkir kopi, Guntur menatapnya keheranan.

"Pa, jangan marah dulu. Janji?"

"Nggak bisa janji. Papa tetap marah kalau terjadi aneh-aneh."

"Aku 'kan udah semester lima, udah boleh buat praktik kerja lapangan atau magang mandiri gitu. Sebenarnya tipe magang tuh ada dua—dari kampus ada, magang mandiri ada juga. Aku pengin ikutan itu biar ada persiapan buat masuk kerja nanti. Apa boleh, Pa?"

"Lalu gimana kuliah kamu?"

"Magangnya pas libur kuliah kok. Ibu Laila yang saranin buat magang, tanya aja kalau Papa nggak percaya. Ini bukan kerja buat cari uang, tapi aku bakal belajar. Nanti dapat sertifikat resmi dari perusahaannya pertanda aku pernah magang di sana. Kata ibu Laila, ini bisa jadi jembatan buat aku keterima kerja di sana kalau udah lulus nanti, apalagi kalau hasil belajar aku bagus."

"Kamu nggak berusaha bodohin Papa, 'kan? Papa udah berkali-kali larang kamu buat kerja."

"Enggak, Pa. Nanti ada surat izin magang dari kampus kok, aku bisa liatin ke Papa juga."

"Di mana magangnya?"

"Kantor Harrison Group yang ada di tengah kota, yang besar itu lho, Pa. Aku ditawarin langsung, mungkin karena melihat nilai aku juga bagus dan mereka tertarik."

"Ya sudah, nanti Papa anterin dulu. Papa mau liat kamu beneran ke sana atau bohong. Itu perusahaan besar yang punya banyak bisnis terkemuka, takutnya kamu ditipu sama orang nggak bertanggung jawab."

"Enggak, Pa, ibu Laila yang bantu ngurusin berkas aku."

"Tidurlah, sudah malam."

"Jadi boleh, Pa? Aku nggak bakal tidur nyenyak sebelum dapat jawaban dari Papa."

"Iya, asal nggak mengganggu waktu kuliah kamu."

Airyn tersenyum lebar, mengangguk haru. Dia menggenggam tangan Guntur, mengecup punggung tangan pria itu penuh syukur. "Makasih, Pa. Aku senang. Nanti aku bakal belajar sungguh-sungguh, biar mereka tertarik buat panggil aku kerja di sana." Memeluk Guntur, bibirnya tak berhenti melengkung.

Guntur mengiyakan, mengusap punggung Airyn. "Jangan begadang, habis ini langsung tidur. Besok pagi Papa bisa antar kamu ke kampus, tapi jangan terlalu siang."

"Iya. Terima kasih, Pa. Papa juga jangan begadang, tidur cepat biar nggak sakit. Kurang-kurangin minum, Pa, takut Papa masuk rumah sakit lagi."

Bagaimana pun kelakuan papanya, Airyn tetap menyayangi pria itu melebihi apa pun. Airyn takut jika papanya kenapa-kenapa, sedih kalau papanya dihina, dan merasa sakit hati melihat papanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Airyn berharap Tuhan bisa menyentuh hati kecil papanya agar cepat berubah dan meninggalkan segala hal yang tidak baik.

Guntur sangat baik, Airyn merasakan banyak kasih sayang dan ketulusan dari sang papa meski tidak pernah mendengarnya secara langsung.

Dia berada dalam keluarga yang sangat sulit mengungkapkan kasih sayang.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Noviyadep
🩷🩷 yeaiiiii
goodnovel comment avatar
Ina Agustina
Alhamdulillah papanya Ai setuju
goodnovel comment avatar
Noviyadep
Peluk siniiiii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status