Share

7. Tindakan Kasar

Airyn menganga, melihat sekitar mereka untuk mencari keberadaan seseorang yang lain. “Bapak ngapain ke sini?”

“Ma, aku mau bicara sebentar. Tunggu dulu.”

Dia cepat-cepat menarik tangan pria itu, membawanya agak menjauh dari Sera.

“Bapak, jangan bilang aku orang sini sama siapa-siapa, ya?” Airyn berbisik cemas. “Aku juga nggak bakal bilang kok kalau Bapak main-main sama pelacur di sini. Aku janji.”

“Kamu menuduh saya yang tidak-tidak,” balas Bagas tidak terima. “Saya hanya tidak sengaja lewat sini, lalu nyasar.”

Jika kalian tanya siapa yang pintar membuat alibi, maka Bagas jagonya. Sekarang dia tiba-tiba menjadi detektif handal yang diutus Arion. Bagas mengakui dirinya serba bisa, asal jangan mencari berlian di lubang semut saja.

Airyn menatap Bagas tidak percaya. “Ah, gitu, ya? Ya sudah, Bapak aja yang jaga rahasia aku.” Menangkup kedua tangan, meminta sangat serius.

“Ai, ayo! Jangan bikin Mama makin murka.” Sera bersungut jengah menunggu Airyn.

“Pak, aku harus pergi. Bapak sebaiknya pulang, lewat sana jalan keluarnya bisa kok, lurus aja sampai ketemu jalan besar.” Menunjuk gang kecil sebelah kiri dari posisi mereka.

Seperginya Airyn, Bagas geleng-geleng. “Begini yang Arion mau? Dia pelacur kecil.” Dugaan Bagas semakin didukung dengan kecemasan dan penampilan Airyn malam ini. Pikir Bagas, tidak lain pasti Airyn akan pergi melayani seorang pria.

“Arion, Arion. Baru mulai jatuh cinta, udah sama orang yang salah aja. Emang beda pemain asli sama cupu,” dumelnya sambil mengabadikan rumah Airyn dan wilayah sekitarnya. Hal itu perlu dilampirkan agar Arion berubah pikiran memilih Airyn sebagai pelabuhan cinta.

Bahaya!

Bagas takut Arion trauma pada cinta pertama, nanti malah trust issue.

***

Sera menyuruh Airyn duduk di dekat seorang pria yang lumayan berumur. Tidak setua Guntur, tapi hampir sebaya.

Airyn mengeluh tidak senang, tapi Sera malah mencubit pahanya agar Airyn diam dan jadi anak penurut. Jika tidak, Sera tak segan akan memukul Airyn dengan rotan.

Satu-satunya harapan Airyn adalah papanya datang menjemput. Airyn tidak peduli jika Guntur dan Sera akan bertengkar lagi, yang penting dirinya selamat dulu dari om-om cabul yang berusaha menggodanya ini.

“Airyn umur berapa?” Tangannya mengusap lengan Airyn dengan tatapan penuh arti. “Masih muda banget, ya?”

Bukannya senang, Airyn malah semakin takut. “Sebaiknya Om pulang, ditungguin istrinya tuh.” Menipiskan bibir geram, berusaha menjauh. Kurang ajar sekali, terlebih Sera sudah meninggalkan mereka hanya berduaan di meja itu. Meski tidak di tempat sepi dan gelap, cuman jika Airyn dicabuli sekarang pun orang sekitarnya tidak akan peduli.

Hal seperti itu sudah lumrah di sini.

“Gampang. Kamu sendiri, tidak punya pacar, ‘kan? Tadi kata Mama, kamu single. Tidak ada yang marah dong ya kalau sama Om?”

Demi apa pun, Airyn ingin muntah rasanya mendengar pria tua itu berusaha menggoda.

“Aku punya kok.”

“Oh, ya? Siapa cowoknya?”

“Anak Om.”

Pria itu menopang pipi, tidak berhenti memerhatikan Airyn. “Bohong. Anak saya yang paling besar masih sekolah, usianya baru tujuh belas tahun. Dia juga tidak tinggal di sini, tapi di London.” Lantas tertawa, senang telah membungkam Airyn secara telak.

“Aku punya pacar, tapi rahasia. Nggak mungkin aku kasih tau Om.” Airyn menghela jengah, tidak nyaman. “Om, biarin aku pulang. Apa Om nggak jijik mau meniduri aku? Aku masih kecil, ingat usia Om udah hampir kayak papa aku. Lagi pula aku beda, aku bukan pelacur.”

“Saya suka yang muda, lebih enak. Yang di rumah udah biasa, udah hafal. Saya mau cari suasana baru sama kamu.”

Airyn menggertakkan gigi. Pria tua bau tanah ini benar-benar tidak ingat umur.

“Kamu mau apa, saya belikan setelah ini. Kata Mama, perlu laptop buat kuliah? Besok kita bisa cari bersama dan kamu bebas mau pilih yang mana. Tidak ada batasan harga, yang paling mahal pun tidak masalah.”

“Enggak usah.” Airyn semakin gelisah memilin ujung dress, mengedarkan pandangan ke segala penjuru untuk mencari seseorang yang kiranya bisa menolong. “Aku mau ke toilet,” alibi Airyn agar bisa kabur.

“Kalau begitu sekalian kita cari kamar saja.”

Airyn langsung menyentak tangan si pria yang berusaha merengkuh pinggangnya. “Jangan pegang-pegang!”

Namun, semakin Airyn menolak, semakin gencar pula pria itu memberi sentuhan dan membatasi gerakan Airyn.

“Tolong …!”

Mau tidak mau, Airyn terpaksa berteriak membebaskan diri. Dia memberi tahu orang di sana jika keadaannya sedang terancam. Sayang, mereka hanya memerhatikan cuek, ada juga yang menatap sekilas lalu kembali asyik dengan pasangannya sendiri.

“Papa … papa!”

Pria itu menarik Airyn secara paksa, memasukkan dalam mobil hingga kepala Airyn hampir terbentur. Tanpa persetujuan, dia membawa Airyn menuju hotel.

“Diam, Sayang. Kamu terlalu manis untuk berontak dan menerima sikap kasar saya.” Si pria meremas paha Airyn, mengulum senyum kemenangan karena merasa berhasil menguasai.

“Pak Bagas …!” Dari jauh Airyn mengenali Bagas mengendarai motor besar berada di lampu merah perempatan jalan, lalu dia nekat membuka kaca mobil. “Tolong, Pak, ini Airyn.”

“Sial!” Pria itu secepatnya membekap Airyn, menyentak kasar sekali lagi agar diam. “Jangan bikin saya marah, Airyn.”

Airyn melepaskan bekapan pria itu tak kalah kasar sampai menyebabkan laju mobil hampir saja oleng. Untung sebelum terjadi sesuatu yang membahayakan mereka, pria itu lebih dulu melepaskan Airyn.

Dia melihat melalui spion jika pria bermotor besar tadi mengikuti mereka.

“Cih! Jadi itu dia kekasih kamu?” Lantas tersenyum remeh, tanpa pikir panjang menambah laju mobil hingga di atas rata-rata membuat Airyn ketakutan.

Airyn berpegangan erat pada seat belt, menutup mata pasrah jika setelah ini nyawanya melayang.

Melihat Bagas tak dapat mengejar mereka saat di perempatan kedua tadi, si pria tua ini segera memasuki basement hotel yang cukup terkenal di tengah kota.

Napas pria itu terdengar tidak beraturan, menatap murka pada Airyn. “Saya hukum kamu setelah ini.” Buru-buru dia turun, menyeret Airyn tanpa ampun.

“Enggak. Jangan paksa aku, aku nggak mau.”

Pria berbadan gempal ini menyuruh seseorang menyiapkan kamar, lalu mendapatkan akses masuk tanpa berselang lama.

“Tolong, Om, aku nggak mau!” Airyn kian lemas saat memasuki lift menuju salah satu kamar di lantai lima belas.

Dalam lift, Airyn luruh ke bawah untuk menangis sejadi-jadinya. Tubuh dia bergetar dingin, wajah pucat, dengan kepala terasa akan pecah sekarang juga. Tidak lucu jika besok dia pulang dalam keadaan menjijikan.

Ting. Lift terbuka lebar seolah mempersilakan dengan senang hati untuk mereka melanjutkan langkahan.

“Jalan sendiri atau saya gendong paksa?”

“Tolong, jangan kayak gini, Om. Aku minta maaf.”

“Keluar, sudahi tangismu. Saya sama sekali tidak merasa iba.”

Karena melihat Airyn tak juga bergerak, pria itu terpaksa menggendong—kendati Airyn sudah menolak dan berontak.

Belum sempat pria itu membuka pintu kamar, seseorang dengan lantang menghentikan aksinya.

“Lepaskan dia, Pak Sagara.”

Dia berdiri tegap di ujung lorong, memasukkan kedua tangan pada saku celananya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status