Airyn menganga, melihat sekitar mereka untuk mencari keberadaan seseorang yang lain. “Bapak ngapain ke sini?”
“Ma, aku mau bicara sebentar. Tunggu dulu.”Dia cepat-cepat menarik tangan pria itu, membawanya agak menjauh dari Sera.“Bapak, jangan bilang aku orang sini sama siapa-siapa, ya?” Airyn berbisik cemas. “Aku juga nggak bakal bilang kok kalau Bapak main-main sama pelacur di sini. Aku janji.”“Kamu menuduh saya yang tidak-tidak,” balas Bagas tidak terima. “Saya hanya tidak sengaja lewat sini, lalu nyasar.”Jika kalian tanya siapa yang pintar membuat alibi, maka Bagas jagonya. Sekarang dia tiba-tiba menjadi detektif handal yang diutus Arion. Bagas mengakui dirinya serba bisa, asal jangan mencari berlian di lubang semut saja.Airyn menatap Bagas tidak percaya. “Ah, gitu, ya? Ya sudah, Bapak aja yang jaga rahasia aku.” Menangkup kedua tangan, meminta sangat serius.“Ai, ayo! Jangan bikin Mama makin murka.” Sera bersungut jengah menunggu Airyn.“Pak, aku harus pergi. Bapak sebaiknya pulang, lewat sana jalan keluarnya bisa kok, lurus aja sampai ketemu jalan besar.” Menunjuk gang kecil sebelah kiri dari posisi mereka.Seperginya Airyn, Bagas geleng-geleng. “Begini yang Arion mau? Dia pelacur kecil.” Dugaan Bagas semakin didukung dengan kecemasan dan penampilan Airyn malam ini. Pikir Bagas, tidak lain pasti Airyn akan pergi melayani seorang pria.“Arion, Arion. Baru mulai jatuh cinta, udah sama orang yang salah aja. Emang beda pemain asli sama cupu,” dumelnya sambil mengabadikan rumah Airyn dan wilayah sekitarnya. Hal itu perlu dilampirkan agar Arion berubah pikiran memilih Airyn sebagai pelabuhan cinta.Bahaya!Bagas takut Arion trauma pada cinta pertama, nanti malah trust issue.***Sera menyuruh Airyn duduk di dekat seorang pria yang lumayan berumur. Tidak setua Guntur, tapi hampir sebaya.Airyn mengeluh tidak senang, tapi Sera malah mencubit pahanya agar Airyn diam dan jadi anak penurut. Jika tidak, Sera tak segan akan memukul Airyn dengan rotan.Satu-satunya harapan Airyn adalah papanya datang menjemput. Airyn tidak peduli jika Guntur dan Sera akan bertengkar lagi, yang penting dirinya selamat dulu dari om-om cabul yang berusaha menggodanya ini.“Airyn umur berapa?” Tangannya mengusap lengan Airyn dengan tatapan penuh arti. “Masih muda banget, ya?”Bukannya senang, Airyn malah semakin takut. “Sebaiknya Om pulang, ditungguin istrinya tuh.” Menipiskan bibir geram, berusaha menjauh. Kurang ajar sekali, terlebih Sera sudah meninggalkan mereka hanya berduaan di meja itu. Meski tidak di tempat sepi dan gelap, cuman jika Airyn dicabuli sekarang pun orang sekitarnya tidak akan peduli.Hal seperti itu sudah lumrah di sini.“Gampang. Kamu sendiri, tidak punya pacar, ‘kan? Tadi kata Mama, kamu single. Tidak ada yang marah dong ya kalau sama Om?”Demi apa pun, Airyn ingin muntah rasanya mendengar pria tua itu berusaha menggoda.“Aku punya kok.”“Oh, ya? Siapa cowoknya?”“Anak Om.”Pria itu menopang pipi, tidak berhenti memerhatikan Airyn. “Bohong. Anak saya yang paling besar masih sekolah, usianya baru tujuh belas tahun. Dia juga tidak tinggal di sini, tapi di London.” Lantas tertawa, senang telah membungkam Airyn secara telak.“Aku punya pacar, tapi rahasia. Nggak mungkin aku kasih tau Om.” Airyn menghela jengah, tidak nyaman. “Om, biarin aku pulang. Apa Om nggak jijik mau meniduri aku? Aku masih kecil, ingat usia Om udah hampir kayak papa aku. Lagi pula aku beda, aku bukan pelacur.”“Saya suka yang muda, lebih enak. Yang di rumah udah biasa, udah hafal. Saya mau cari suasana baru sama kamu.”Airyn menggertakkan gigi. Pria tua bau tanah ini benar-benar tidak ingat umur.“Kamu mau apa, saya belikan setelah ini. Kata Mama, perlu laptop buat kuliah? Besok kita bisa cari bersama dan kamu bebas mau pilih yang mana. Tidak ada batasan harga, yang paling mahal pun tidak masalah.”“Enggak usah.” Airyn semakin gelisah memilin ujung dress, mengedarkan pandangan ke segala penjuru untuk mencari seseorang yang kiranya bisa menolong. “Aku mau ke toilet,” alibi Airyn agar bisa kabur.“Kalau begitu sekalian kita cari kamar saja.”Airyn langsung menyentak tangan si pria yang berusaha merengkuh pinggangnya. “Jangan pegang-pegang!”Namun, semakin Airyn menolak, semakin gencar pula pria itu memberi sentuhan dan membatasi gerakan Airyn.“Tolong …!”Mau tidak mau, Airyn terpaksa berteriak membebaskan diri. Dia memberi tahu orang di sana jika keadaannya sedang terancam. Sayang, mereka hanya memerhatikan cuek, ada juga yang menatap sekilas lalu kembali asyik dengan pasangannya sendiri.“Papa … papa!”Pria itu menarik Airyn secara paksa, memasukkan dalam mobil hingga kepala Airyn hampir terbentur. Tanpa persetujuan, dia membawa Airyn menuju hotel.“Diam, Sayang. Kamu terlalu manis untuk berontak dan menerima sikap kasar saya.” Si pria meremas paha Airyn, mengulum senyum kemenangan karena merasa berhasil menguasai.“Pak Bagas …!” Dari jauh Airyn mengenali Bagas mengendarai motor besar berada di lampu merah perempatan jalan, lalu dia nekat membuka kaca mobil. “Tolong, Pak, ini Airyn.”“Sial!” Pria itu secepatnya membekap Airyn, menyentak kasar sekali lagi agar diam. “Jangan bikin saya marah, Airyn.”Airyn melepaskan bekapan pria itu tak kalah kasar sampai menyebabkan laju mobil hampir saja oleng. Untung sebelum terjadi sesuatu yang membahayakan mereka, pria itu lebih dulu melepaskan Airyn.Dia melihat melalui spion jika pria bermotor besar tadi mengikuti mereka.“Cih! Jadi itu dia kekasih kamu?” Lantas tersenyum remeh, tanpa pikir panjang menambah laju mobil hingga di atas rata-rata membuat Airyn ketakutan.Airyn berpegangan erat pada seat belt, menutup mata pasrah jika setelah ini nyawanya melayang.Melihat Bagas tak dapat mengejar mereka saat di perempatan kedua tadi, si pria tua ini segera memasuki basement hotel yang cukup terkenal di tengah kota.Napas pria itu terdengar tidak beraturan, menatap murka pada Airyn. “Saya hukum kamu setelah ini.” Buru-buru dia turun, menyeret Airyn tanpa ampun.“Enggak. Jangan paksa aku, aku nggak mau.”Pria berbadan gempal ini menyuruh seseorang menyiapkan kamar, lalu mendapatkan akses masuk tanpa berselang lama.“Tolong, Om, aku nggak mau!” Airyn kian lemas saat memasuki lift menuju salah satu kamar di lantai lima belas.Dalam lift, Airyn luruh ke bawah untuk menangis sejadi-jadinya. Tubuh dia bergetar dingin, wajah pucat, dengan kepala terasa akan pecah sekarang juga. Tidak lucu jika besok dia pulang dalam keadaan menjijikan.Ting. Lift terbuka lebar seolah mempersilakan dengan senang hati untuk mereka melanjutkan langkahan.“Jalan sendiri atau saya gendong paksa?”“Tolong, jangan kayak gini, Om. Aku minta maaf.”“Keluar, sudahi tangismu. Saya sama sekali tidak merasa iba.”Karena melihat Airyn tak juga bergerak, pria itu terpaksa menggendong—kendati Airyn sudah menolak dan berontak.Belum sempat pria itu membuka pintu kamar, seseorang dengan lantang menghentikan aksinya.“Lepaskan dia, Pak Sagara.”Dia berdiri tegap di ujung lorong, memasukkan kedua tangan pada saku celananya.Airyn mondar-mandir di ruang tengah, sebab hingga jam delapan Arion belum juga pulang. Makan malam sudah siap, seketika rasanya tidak tenang, terlebih nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Sebal, karena Arion tidak mengabari apa pun sebelumnya."Aneh. Kenapa rasanya nggak enak gini? Apa karena udah jadi suami istri?" Airyn menggigit kuku, memegangi dadanya yang berdebar lebih kencang. "Atau ini perasaan gugup karena kepikiran ancaman Mama tadi?""Aish! Sejak kapan khawatir banget gini sama Pak Arion? Padahal sebelumnya kamu sendiri yang nggak rela nikah sama dia, Ai."Airyn bermonolog sendiri. Tatapan dan gerak-geriknya memang menunjukkan kecemasan, tidak tenang sebelum memastikan Arion baik-baik saja. "Setidaknya kalau pulang telat, bilang!" gerutunya sebal. "Aku bisa makan dan tidur dengan tenang tanpa harus khawatir gini. Senang banget bikin merasa bersalah."Airyn mengambil ponselnya di meja, mencoba menghubungi Bagas sekali lagi. Nomor pria itu aktif, hanya saja tidak diangkat. K
Ketika jam makan siang, tiba-tiba Airyn kedatangan tamu. Sebelumnya dia tidak mengira jika yang datang adalah ibu mertua. Airyn baru saja bangun tidur, belum sempat menyiapkan apa pun karena Arion juga membebaskan Airyn untuk istirahat sepanjang hari ini. Airyn ingin menyapa sebagai basa-basi agar kelihatan tetap sopan, namun urung karena merasa sungkan. Terlebih Megan juga langsung masuk dan meninggalkannya. Wanita itu terlihat membawa sekotak kue."Kamu baru bangun jam segini?"Megan melihat sekitar ruangan tersebut. Kebetulan di wastafel masih ada piring kotor, bekas Airyn menyiapkan sandwich untuk bekal Arion tadi. Keranjang pakaian kotor mereka juga terlihat penuh karena belum dijemput jasa laundry. Niatnya memang setelah ini baru akan Airyn bereskan semuanya."M—maaf, Bun, tadi aku ketiduran. Setelah ini baru beres-beres. Bunda mau aku bikinkan minum apa?" Airyn memainkan ujung tali bathrobe-nya, gugup. Mimik Megan tidak seramah biasanya, Airyn tahu wanita itu sudah terlanjur t
Katanya Arion punya hadiah spesial untuk Airyn. Ternyata benar. Usai Airyn berendam dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat diri, dia dikejutkan dengan sebuket mawar di kasur. Tidak lupa, ada kertas kecil yang terselip di sana juga membuat Airyn terkekeh kecil.—Untuk cintaku yang baik hati—Airyn suka aroma mawar segar, menciptakan senyum kecil yang mewakili isi hatinya. Masih menggunakan jubah mandi, Airyn turun ke bawah sambil memanggil Arion beberapa kali. Terdengar suara kecil dari ruang makan, lagi-lagi senyum Airyn merekah."Wow!" pujinya menutup mulut sambil menatap dengan binar takjub. Di meja makan tersedia menu makan malam mereka, Arion yang memasak. "Wangi, pasti enak. Aku laper banget, dari luluran tadi perut aku bunyi."Arion selesai memotong buah, kemudian menghampiri Airyn dan mencium pipinya. "Duduk, Sayang, waktunya isi tenaga."Dengan riang, Airyn duduk ketika Arion menarik kursi untuknya. Kenapa tiba-tiba Arion semanis ini? Airyn sampai keheranan."Kamu juga wa
"Pak Arion, ngapain?" Airyn terkesiap ketika melihat sang suami itu berdiri tak jauh dari posisinya dan Aldo. Bahkan mereka baru saja ingin memulai obrolan, seketika sungkan. "B—boleh tinggalin kami dulu, ada yang mau dibicara sebantar?""Bicara saja, anggap saya tidak ada." Arion memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap dengan sorot setajam belati—seolah sedang memperingati Aldo agar tidak macam-macam pada miliknya. "Lima menit, setelah ini kamu harus mengantarkan surat ke atas. Pak Abimayu sudah menunggu."Airyn menganga, lantas terpaksa senyum karena tahu mimik Arion tengah kesal. Jangan sampai dia mendebat, nanti malah muncul masalah baru."Ada apa, Aldo? Kamu repot-repot ke sini. Lain kali bilang ya kalau mau ketemu, jangan di sini. Aku posisinya lagi magang, nggak boleh seenaknya terima tamu sembarangan di luar kepentingan dengan Pak Arion." Aldo menatap Arion sekali lagi, dia juga melempar tatap permusuhan. "Lo serius menikah dengan pria aneh ini, Ai?" tanyanya senga
Arion mengusap puncak kepala Airyn ketika wanita itu diam lagi saat dia meminta bantuan memasang dasi. Sejak mereka mandi bersama, Airyn tampak malu dan pendiam, Arion sangat memahami situasi ini untuk mereka yang baru saja menjalani kehangatan sebagai pengantin baru. Bagi Arion, Airyn justru semakin lucu dan menggemaskan.“Ini dasinya, Ai. Apa kamu masih merasa nggak nyaman? Kalau pegal, nanti aku panggil jasa pijat ke sini, kamu nggak usah ke kantor.”Airyn menggeleng cepat, menegak saliva cukup sulit. Dia juga kesusahan mengumpulkan kata yang tercekat di kerongkongan. Wajah Airyn tidak berhenti memanas, rasanya masih tidak sanggup memandangi pria di hadapannya ini.“E—enggak usah. Aku baik kok, aku nggak pa-pa. K—kamu agak nunduk dikit, badan aku nggak sampe.” Dengan pipi kemerahan paham, Airyn berusaha tetap waras. Dia tahu Arion terus saja memandanginya, sesekali berusaha memberi perhatian dengan kecupan hangat dan kalimat manis penuh kekhawatiran. Padahal Airyn baik, dia tidak k
"Ayah tidak percaya akhirnya kamu akan jatuh cinta." Abimayu tersenyum singkat. "Hanya saja, Ayah tidak bisa bohong, kami terkejut mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Kamu dan Bagas sejak awal yang membuat kebohongan ini, Arion. Kamu kasih data diri Airyn yang berbeda ke Bunda, tidak salah jika Bunda juga kecewa dengan perbuatan kamu."Arion mengangguk, menyadari dosanya. Memang benar, selama-lamanya menyimpan dusta pasti akan ketahuan juga."Aku tahu aku salah, Yah. Aku juga awalnya terlalu takut memberi tahu siapa Airyn. Takut Ayah dan Bunda nggak setuju. Maaf kalau sikap aku masih kekanak-kanakan sekali.""Tunggu Bunda kamu lebih tenang dulu, lalu datanglah ke sini lagi untuk bicara padanya. Jangan sekarang, Ayah juga tidak bisa memaksakannya saat ini. Biarkan Bunda sendiri dulu, sambil belajar menerima.""Iya, Yah. Aku berharap Bunda bisa memahami pilihan aku. Percaya, aku tahu siapa yang terbaik untuk hidupku."Abimayu menghela panjang, memijat pangkal hidungnya. "Untuk saat ini,