Share

MY TOXIC Husband
MY TOXIC Husband
Author: Cubby

Satu

Author: Cubby
last update Last Updated: 2025-09-29 22:39:16

Di sebuah kamar hotel yang luas, udara terasa panas membakar. Suara umpatan kasar dan desahan tersela mengisi ruangan, meluncur dari mulut Aksara Emiliano Addison—Aksa, seorang remaja tampan pemilik netral hitam itu. Tubuhnya basah oleh peluh, tapi matanya menyala dengan amarah yang menggelora.

“Dasar wanita licik! Jalang sialan! Pengkhianat!” Suara itu meledak keluar, menghentak pinggulnya dengan kasar hingga Quensa menahan nyeri, wajahnya menyiratkan penderitaan yang tak bisa disembunyikan.

“Ini yang kau mau, berbagi peluh dengan ku, wanita murahan?” sentak Aksa dengan seringai iblis yang menyeringai di tengah nafasnya yang tersengal, membuat kabut gairah membayang di udara. Matanya tajam menantang. Dengan gerakan seolah tanpa beban, Aksa membalikkan tubuh mungil Quensa.

“Tahan kakimu, jalang. Biarkan milikmu yang murahan ini merasakan sakit yang lebih dalam... untuk nikmat yang kau cari selama ini.” Ucapannya mengiris seperti pisau, penuh hinaan yang menusuk hati. Di balik lembaran kegelapan kamar itu, derita dan amarah berkecamuk tanpa henti, menoreh luka di antara dua jiwa yang kini hancur berantakan.

Quensa—nama yang kini terucap dengan racun di bibir Aksa. "Kau benar-benar anj***ng, Quensa... Aaahhh... Mona, aku mencintaimu, tapi pengkhianat seperti dia... Benar-benar tidak waras!" erang Aksa dengan mata terpejam, keputusasaan membakar jiwa saat dia terperangkap dalam mimpi buruk ini.

Quensa hanya diam, bibirnya membatu, tanpa satu kata pun pembelaan. Dia tahu dia telah menapaki jurang dosa—memburu laki-laki yang sedang berjanji setia pada sahabatnya sendiri, Mona. Kebodohan dan nafsunya membutakan akalnya, hingga ia tega menjebak Aksa, meski tahu pertunangan itu sudah di depan mata. Malam ini, di bawah bayang-bayang pengkhianatan, Quensa Velarry Tzana menodai persahabatan dengan kepuasan berdarah di dadanya, menikmati setiap detik gelap yang membawa luka dalam untuk ketiganya. Diamnya Quensa bukan tanda penyesalan, melainkan bisu yang mencekam, menunggu saat ketika karma menghampirinya dengan dendam yang pahit.

Aksa Emiliano Addison menggeliat di ranjang hotel yang berantakan, peluh membasahi tubuhnya. Kamar itu sunyi, hanya napasnya yang memburu dan umpatan lirih yang lolos dari bibirnya.

"Sial!" desisnya, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini. Kepalanya berdenyut, bercampur aduk antara rasa bersalah dan amarah. Di sampingnya, Quensa meringkuk di bawah selimut, tubuhnya bergetar.

Kilasan kejadian malam itu berputar di benaknya. Pesta ulang tahun Mona, sahabat Quensa sekaligus tunangannya. Minuman yang terasa aneh, obrolan yang semakin intim dengan Quensa, dan kemudian... kamar hotel ini.

Aksa mengacak rambutnya frustrasi. Ia tahu ini salah, sangat salah. Ia mencintai Mona, dan sebentar lagi mereka akan mengikat janji suci. Tapi kenapa ia bisa terjerat dalam perangkap Quensa?

"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Aksa dengan rahang mengeras, suaranya bergetar. Quensa tidak menjawab, hanya semakin mengeratkan selimut di tubuhnya.

Aksa bangkit dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia telah mengkhianati Mona, dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

"Aku akan pergi," ucap Aksa dingin, tanpa menatap Quensa. "Jangan pernah menemui ku lagi dan pergi lah sejauh mungkin."

"Aku tak akan pernah menemui kamu lagi! Ini pertama dan terakhir—jangan pernah berpikir aku akan merusak rencana tunanganmu! Sedikit pun aku tak berniat!" Suaranya meledak, penuh kebencian yang menggelegak.

Aksa menatap tajam, amarahnya membara seperti bara api yang siap membakar. "Tak berniat? Lalu apa ini? Kau menjebakku dengan minuman sialan itu semalam, Kau benar-benar wanita murahan!" Dentuman kata-katanya menghujam, menusuk hingga ke dasar jiwa.

Quensa membalas dengan senyum dingin penuh ejekan, mencoba menutupi luka yang tersayat dalam hatinya. "Jangan marah berlebihan. Kamu tak rugi apa-apa. Aku masih perawan, ingat itu! Dan jangan munafik, semalam kamu juga menikmati setiap detiknya. Dan berapa kali kamu keluar?" Malam itu bergulir sampai fajar menyingsing, kata-kata mereka beradu seperti pedang tajam.

"Aku tak terima keperjakaan ku dicuri, dan kamu yang pertama menikmatinya—wanita murahan, kau jangan percaya diri itu karena pengaruh obat sialan, kalau tidak ada obat itu aku tidak sudi melakukan nya jangan untuk keluar, hidup pun pusaka ku tidak akan pernah terjadi dengan wanita murahan sepertimu." desis Aksa, matanya berkobar. Dalam sekejap, tangannya mencengkram leher Quensa dengan kekuatan yang menakutkan, lalu tamparan keras mendarat di wajah cantiknya. Luka bukan hanya di kulit, tapi merobek setiap harapan yang tersisa dalam jiwa gadis itu.

Quensa seketika terdiam, Wajahnya terlihat dingin. Aksa berbalik dan melangkah keluar kamar, meninggalkan Quensa dalam kesunyian dan penyesalan yang mendalam.

Di luar, Aksa menarik napas dalam-dalam. Ia harus menemui Mona, menjelaskan semuanya. Tapi bagaimana jika Mona tidak bisa memaafkannya? Bagaimana jika ia kehilangan segalanya karena kesalahan bodoh ini?

"Arghhh... Quensa sialan!" Aksa menggeram, tangan kanannya meremas rambutnya sendiri penuh frustrasi, napasnya memburu seolah dikejar bayangan buruk. Langkahnya tergesa, takut wajah lelah dan luka di tubuhnya terbaca oleh siapa pun yang kebetulan lewat.

Setelah kepergian Aksa, dia tersungkur di bawah selimut hotel yang dingin. "Aughhh... sakitnya tak tertahankan," keluh Quensa, tubuhnya seolah remuk redam, bukan hanya karena rasa sakit fisik tapi juga luka yang ditinggalkan oleh perlakuan kasar Aksa.

"Dasar munafik!" gumamnya penuh amarah sekaligus kecewa, seperti menampar diri sendiri yang dulu begitu percaya.

Tiba-tiba, dering ponselnya memecah keheningan ruangan itu. Suara nada dering yang terus bergema membahana, menggema di sudut-sudut kamar hotel yang sunyi dan penuh luka ini. Layar ponsel menampilkan nama Mona, sahabat yang selama ini pernah ia khianati—sebuah dosa yang membuat dada Quensa makin sesak. Rasa bersalah menelan batinnya, membuatnya menunduk malu sebelum akhirnya jari jemarinya gemetar mengangkat panggilan itu.

“Angkat, Beb... Ini penting!” pesan Mona muncul tanpa kompromi, menyuruh Quensa mengangkat teleponnya di tengah kekacauan hatinya yang bercabang-cabang antara penyesalan dan harapan rapuh.

"Ada apa...?" suara Queensa nyaris berbisik, lemah dan rapuh saat menyapa sahabatnya melalui telepon. "Kamu baru bangun, beb? Ini sudah siang, lho!" teriak Mona di ujung sana, penuh keheranan sekaligus cemas. "Iya... kita kan sudah lulus, nggak sekolah lagi," jawab Queensa dengan nada datar, seolah kata-katanya terhisap oleh kekosongan di dalam hatinya.

"Tunggu... kamu nggak ingat? Hari ini kita harusnya party lagi, kumpul bareng teman-teman!" bentak Mona, nadanya melonjak penuh semangat. "Hey, Queensa... suaramu terdengar sangat lesu," Mila ikut menyela, mencoba menyentuh sisi lain dari temannya yang semakin menjauh.

"Semalam kamu ke mana, Quensa? Kok tiba-tiba menghilang tanpa kabar?" tanya Mona dengan suara yang mengandung kekhawatiran mendalam.

Kalimat itu menusuk pelipis Queensa. Ia terpaku, mulutnya terkunci rapat, rasa bersalah, dan keputusasaan bercampur begitu tajam di dalam dadanya. Diamnya menjadi jawaban paling menggetarkan bagi sahabat-sahabatnya yang hanya ingin mengerti dan meraih kembali sosok yang semakin lenyap di antara mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MY TOXIC Husband    Dua belas

    Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan

  • MY TOXIC Husband    Sebelas

    Sudah berhari-hari Mila dihantui rasa penasaran yang menggigit, menyaksikan sikap Quensa yang berubah drastis tanpa alasan jelas. “Mon, kamu pernah lihat Quensa nggak?” suaranya bergetar, penuh kerisauan. Mona cuma mengangkat bahu sambil menggerutu, “Iya, tapi dia udah kayak hilang dari dunia kita. Gak pernah gabung, gak aktif sama sekali.” “Hah, lama banget dia nggak masuk kampus. Jangan-jangan... sakit?” Mila menggigit bibirnya, kecemasan merayap di setiap sudut hatinya. Sementara itu, Aksara sendiri tenggelam dalam perenungan tanpa suara. Kenapa Quensa menghilang sejak malam itu? Malam penyatuan yang membekas seperti luka tak terlihat. Dia sudah tak lagi pulang ke kontrakan, memilih singgah di apartemen Mona, atau kadang menginap di tempat Galen dan Bara, seolah menghindar dari sesuatu yang tak terkatakan. “Sayang, nanti kamu nginep lagi, kan?” tanya Mona dengan nada manja, mencoba mencuri perhatian. Aksara menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kerisauan yang sama

  • MY TOXIC Husband    Sepuluh

    "Astaga, kalian ini nggak tahu malu sekali!" seru Mila tajam, matanya menyorot dua pasangan yang tengah asyik berciuman tanpa peduli sekeliling. Bara melangkah maju, senyumnya sinis, "Aksara, sekarang makin panas, ya? Suhunya melejit!" Mona tercekat, wajahnya membara merah padam—ketahuan oleh sahabatnya jelas membuat hatinya berdegup tak karuan. Aksara hanya berdehem canggung, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang merambat seperti api. Mila mengalihkan pandangan, matanya sibuk mencari sosok yang ia inginkan. "Mon, kamu lihat Quensa nggak?""Dia tadi di sini. Aduh, ini semua gara-gara kamu sayang, jadi dia pergi, kan?" suara Mona bergetar penuh kecewa, menyalahkan kekasihnya tanpa sanggah. Aksara menatap jam tangannya, lalu menatap Mona dengan tatapan penuh kasih sayang. "Aku harus rapat dulu, sayang. Nanti pulang kita bareng, oke?" bisiknya lembut sembari mengecup kening Mona dengan penuh perhatian. Mona menatapnya tajam, lalu melontarkan canda bercampur peringatan, "Iya,

  • MY TOXIC Husband    Sembilan

    Aksara yang setengah mabuk merangkak mendekat, matanya yang gelap menusuk seperti ingin merobek jiwa Quensa hingga hancur berkeping. “Coba ulangi, wanita jalang!” geramnya, tangan kasar itu mencengkram dagu Quensa dengan kekuatan yang membuatnya hampir terseret. “Sa...sakit, Aksa...” desis Quensa sambil menahan nyeri, wajahnya berkerut kesakitan. “Coba…” Aksara mendesak dengan nada mengancam, suara geramnya menggema di kamar sempit itu. “M-maafkan aku...” Quensa terbata-bata, suaranya pecah oleh derai luka dan takut yang menyayat hati. Namun sebelum kata itu habis, dia segera memotong, suaranya tegas dan bergetar, “Menyingkirlah!” Dengan napas tersengal dan mata tajam, Aksara melepas cengkramannya. Quensa tak mau lama-lama dalam api neraka itu, dia cepat-cepat keluar dari kamar. Kontrakan mungil itu hanya menyisakan ruang sempit antara kamar dan dapur kecil yang tak lagi ramah seperti dulu. Setelah pernikahan yang diserbu amarah orang tua mereka, segala fasilitas dipangkas ha

  • MY TOXIC Husband    Delapan

    Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!" Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisi

  • MY TOXIC Husband    Tujuh

    "Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar.Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka.Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino."Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan."Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab.""Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar."Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut.Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi."Aksa....?""Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam.Quensa terpaku dengan ucapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status