"Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.
Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar. Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka. Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino. "Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan. "Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab." "Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar. "Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut. Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi. "Aksa....?" "Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam. Quensa terpaku dengan ucapan tajam dan kasar dari mulut Aksa, sedang kan Nino. Dia meradang murka,"Kurang ngajar kau berani menghina putriku." "Pah sudah pah, ayo kita pulang."ajak Quensa menahan tangis. "Dia kurang ngajar Quensa," "Apa yang di katakan tidak salah memang anak papa lah yang salah."Quensa tak mengelak. "Tapi dia ikut melakukan dan menikmatinya. Kamu jangan bodoh Quensa!" "Aku yang menjebak nya,"aku Quensa membuat Nino dan kedua orang tua Aksa terekjut. Plak! Satu tamparan melayang di wajah Quensa dari Virda. "Kamu tidak tahu malu sekali meminta pertanggung jawaban padahal itu kebodohan mu." "Maafkan saya Tante, saya tidak meminta pertanggung jawaban. Ini papa saya yang menginginkan aku sama sekali tidak."balas Quensa mengelus pipinya yang terasa sakit padah tamparan dari Aksa saja masih terasa sakit. "Dengar tuan Nino anak anda saja tidak butuh, kenapa anda begitu memaksa?"sinis Virda. "Jangan mimpi keluarga antah berantah dan tak jelas seperti kalian ingin menjadi besan dengan keluarga Addison yang sangat terhormat ini."lanjut Virda memperingati sambil tersenyum penuh ejekan. Quensa pada akhirnya menjatuhkan air mata tidak terima orang tuanya di hina. Tangan gemetar lalu menggandeng papanya."papa tak perlu meminta pertanggung jawaban dan merendahkan harga diri begitu pada mereka kita bisa atasi sendiri kalau pun mau di aborsi aku tidak maslah dan kalau papa tidak menerima aibku, papa bisa bunuh aku dengan mudah." Nino terdiam dia meraih bukti-bukti itu lalu melangkah ke luar. "Ya lakukan aborsi itu jauh lebih baik!"sahut Aksa. Pluk! Aksa melemapar kartu hitam pada wajah Quensa dengan ekspresi angkuh. "Segera bersihkan dan jangan pernah kau muncul lagi di hadapan keluarga ku."Virda mengatakan dengan wajah tak kalah angkuh. Quensa hanya melirik sekilas pada kartu hitam itu lalu dia pergi menggandeng papa nya. Di dalam mobil suasana hening, Nino tak banyak bicara begitu juga dengan Quensa. Sampai di rumah Nino kembali marah pada anaknya dan tidak terima atas hinaan keluarga Addison. Quensa luruh dia berlutut di kaki Nino papa nya," aku mohon pah jangan pernah meminta lagi pertanggung jawaban pada mereka. Ini akan membahayakan papa. Please pah."ucapnya memohon. Nino tak menjawab tangannya mengepal kuat menahan emosi masih tidak terima pada keluarga Addison. "Pah, aku sudah berniat akan pergi ke Aussie dan tolong biarkan aku pergi agar tidak membuat aib untuk papa."Quensa kembali memohon. "Baiklah, papa setuju."balas Nino kemudian ia Melang masuk ke dalam kamarnya. Setelah kepergian Quensa, Louis berdiri menatap tajam anaknya,"Papi yang urus atau kamu sendiri yang akan melakukannya?" "Aku sendiri yang akan melakukan nya."balas Aksa datar lalu beranjak pergi menuju kamarnya. "Pih , mereka memiliki bukti rekaman cctv, bagaimana kalau dia menyebar kan pada media?" Louis sesekali menekan dahi memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan bukti rekaman cctv. "Pih, cepat bertindak sebelum mereka menghancurkan nama baik kita dan sebelum orang tua mu mengetahui nya bisa bahaya untuk masa depan Aksa." "Bisa tenang sebentar?"sentak Louis yang terlihat pusing. Virda melangkah menuju kamar Aksa anaknya,"Kenapa bisa kamu seceroboh ini Aksa?" Aksa berbalik menatap Virda dengan tatapan dingin,"Aku sudah memberi kan pil pencegah." "Benarkah, apa kamu sendiri sudah memastikan?" "Aku sendiri yang memberikan langsung ke dalam mulutnya dua butir."balas Aksa menatap lurus dia juga tidak habis pikir kenapa bisa Quensa hamil. "apa wanita jalang itu melakukan dengan laki-laki lain lalu dia memanfaatkan ku? Licik sekali."bisik hati Aksa penuh kebencian. Virda memijat pelipisnya,"Mami tidak mau tahu cepat urus dia secepatnya."ujarnya setelah itu dia pergi dari kamar anaknya. Malam ini Aksa sudah memulai rencananya untuk mengurus Quensa yang sudah lancang meminta pertanggung jawaban darinya. Aksa menatap rumah megah milik Nino dengan senyum dingin penuh niat jahat, jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil seperti mengitung detik pembalasan yang akan datang. Dia tidak sendirian; anak buah Louis, ayahnya, mengawalnya dari luar dengan pandangan siaga. “Keadaan aman, Tuan Muda,” bisik seorang anak buah dari balik jendela mobil yang remang. Aksa mengangkat tangan, memberi isyarat tegas. “Kau awasi dari luar, aku yang masuk ke dalam.” Langkah panjangnya turun dari mobil, menapaki tanah yang dingin malam itu. “Semua penjaga sudah kita atasi,” laporan tegas anak buahnya, suara pelan namun penuh keyakinan. Aksa mengangguk, lalu dengan isyarat tangan memerintahkan mereka mengikuti dari belakang. Malam itu sunyi begitu menyesakkan di kediaman Nino, hanya desau angin yang tersisa. Dengan langkah senyap, Aksa menyelinap masuk, memecah keheningan yang menggantung. Dia melangkah pasti menuju kamar tidur Quensa, target yang kini ia buru. Pintu terbuka dengan mudah, keberuntungan seolah berpihak padanya—kunci tak tergeser, kesempatan terbuka lebar. Di dalam kamar, Quensa yang tak bisa memejamkan mata sibuk mengepak pakaian, bersiap meninggalkan negeri ini menuju Australia esok siang. Sinar bulan menyorot tubuhnya yang gelisah, tanpa sadar dia merasakan mata tajam mengintai dari balik kegelapan. Quensa berbalik perlahan, jantungnya berdetak lebih kencang, takut dan penasaran menyatu dalam diam malam yang membeku. Mphh...!! Brukkk! Tubuh Quensa terhempas tak berdaya, terjerembap ke lantai dingin tanpa kesadaran. Aksa sudah lebih dulu menyuntikkan bius, lalu dengan gesit mengangkat tubuhnya yang lemah itu—seolah membawa beban mati—menjauh dari tempat itu. Mobil hitamnya melesat di bawah gelap malam, meninggalkan jejak api di jalanan, senyum iblis merayap di bibir Aksa, dingin dan mengerikan. "Kali ini... kau benar-benar akan mati, jalang sialan," geramnya dengan napas berat, suara itu seperti sumpah yang dibakar amarah dan kebencian. Dua jam perjalanan penuh bisu dan dingin, sampai akhirnya vila keluarga di puncak Bogor terbentang di hadapan mereka—sunyi, megah, dan tak berperasaan seperti pemiliknya. Semilir angin malam menusuk tulang, mengikis kehangatan terakhir di tubuh Aksa saat dia menyeret tubuh Quensa yang masih terperangkap dalam kegelapan tak sadarnya. Brukk! Dengan kasar, dia melemparkan Quensa ke ranjang, seperti benda yang tak bernilai. Tangannya cepat mengambil segelas air dingin, lalu disiramkan ke wajah cantik itu dengan paksa. "Aaahhh..." Suara itu pecah, membelah sunyi. Quensa terbangun, matanya menyipit sakit saat memijat pelipisnya, mengerjapkan bola matanya yang masih kelabu. Deg! Jantungnya berdebar kencang, seolah ingin melompat keluar dari dada. Tatapannya bertubrukan dengan sosok Aksa yang berdiri tegap dan mengintimidasi di hadapannya. Quensa menelan ludah, tangan gemetar mencoba menopang tubuhnya yang mulai duduk, tapi dinginnya malam dan keberadaan Aksa membuat seluruh raga dan hatinya bergetar dalam cengkeraman ketakutan yang pekat. "Aku.... Aku bisa jelasakan, dan sebelumnya maafkan atas kelancangan papa ku, aku sudah mencegah nya tapi....." "Kau ingin mati?"suara tajam milik Aksa menyela. Tubuh Quensa menggigil hebat, kedua tangannya erat menggenggam dada seolah mencoba menahan gemuruh badai di dalam hatinya. "Besok aku akan pergi jauh dari Indonesia… dan aku tak akan pernah muncul di hadapanmu lagi," suaranya pecah, bergetar seperti daun kering yang tersapu angin. Aksa tiba-tiba membentak, matanya menyala api amarah. “Kau pembual!” Tangannya mencengkeram dagu Quensa dengan kekuatan yang menyakitkan, seperti menahan rahasia yang ingin lepas. Quensa menutup matanya rapat, menahan perih di wajah yang baru saja dicubit kasar. “Sungguh, aku tidak berbohong. Sejak kejadian itu aku memang berniat pergi, tapi aku harus urus surat-surat dulu...” Denting pelan suara Aksa menusuk lebih dalam. “Terlalu berputar-putar!” rahang Aksa mengeras penuh tekanan. “Anak siapa yang ada di dalam perutmu?!” Quensa membalas cepat, nadanya ketus, “Anak orang lain. Bukan anakmu.” Mata Aksa menelusuri wajahnya, penuh kebingungan dan kemarahan yang memuncak. “Kalau begitu, kenapa orang tuamu minta pertanggungjawaban padaku, huh?” “Aku sudah bilang itu salah paham!” suara Quensa pecah, napasnya tercekat. “Aku sudah menyuruhmu hapus rekaman CCTV itu...” Aksa terkesiap sejenak, lalu menuntut dengan suara dingin dan penuh curiga, “Kenapa kau tak bilang siapa ayah anak itu pada orang tuamu?” Dalam keheningan yang mencekam, hanya udara tebal penuh luka yang tersisa, menggantung berat di antara mereka. "Cih, apa kamu benar-benar ingin memanfaatkan semuanya? Ingin menikahiku, lalu menjadi pengkhianat sejati untuk Mona, kekasihku? Kasihan sekali memiliki sahabat sebusuk kamu," Aksa melontarkan kata-kata tajam penuh sindiran, matanya menyala memancarkan kebencian. Quensa membalas tatapannya tanpa gentar, sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya. "Aku tak pernah terbesit sedikit pun untuk menikah denganmu. Di dunia ini, bukan hanya kamu satu-satunya pria yang ada," jawab Quensa dengan nada dingin yang menusuk. Seketika, Aksa mendadak menghempaskan Quensa ke ranjang dengan kasar. "Berani sekali kau mengatakan itu..." suaranya bergemuruh penuh amarah. Quensa menatap balik, tatapannya membara. "Kenapa tidak? Apa kamu merasa paling tampan dan berhak percaya diri hanya karena aku menjebakmu? Salah besar." Aksa mengepalkan tinjunya, napasnya tersengal. "Jangan terlalu percaya diri! Aku melakukan ini bukan karena cinta, tapi hanya ingin tahu seberapa liar pria tanpa ekspresimu seperti dirimu." "Kamu memang kurang ajar!" Aksa berteriak murka, suaranya menggelegar di ruangan. "Ternyata kamu memang liar, tapi ingat! Itu hanya ‘cukup’, bukan memuaskan sama sekali!" sindir Quensa penuh penghinaan. Dua sosok itu terkunci dalam pertikaian sengit, api kebencian membakar tiap kata yang keluar dari mulut mereka. Suasana mendadak penuh ketegangan, dan luka lama yang tak terobati kembali terbuka lebar. Wajah Aksa memerah membara, darah seolah bergejolak di nadinya saat hinaan Quensa menancap tajam ke relung hatinya. Tangannya bergerak cepat, ingin melayang ke wajah cantik itu, namun Quensa lebih gesit, memegang pergelangan tangannya dengan erat—benteng tegar di antara amarah dan gairah yang berkecamuk. “Kamu ini munafik! Sialan, kamu yang justru menikmati semuanya!” bentak Aksa, suaranya pecah oleh luka yang mengoyak jiwa. Quensa membalas dengan tawa dingin penuh hinaan. “Ah, bukankah kamu sendiri yang tidak malu? Teriak-teriak kenikmatan, padahal aku cuma diam. Nilaimu nol besar! Aku mungkin pertama kali, tapi ayah anak ini berbeda... Dia membuat semuanya sempurna, sekejap pun bisa jadi,” sindirnya, menusuk Aksa seperti belati panas, membuat darahnya kian membara dalam dada. Tiba-tiba, dengan amarah yang meledak-ledak, Aksa meraih piyama Quensa, mencengkeramnya erat. Jantungnya berdetak keras, terbakar api cemburu dan malu ketika dirinya dibandingkan dengan pria lain yang dianggap lebih hebat. “Menyingkir!” teriak Quensa dengan mata penuh tantangan, mendorong tubuh Aksa menjauh. “Kalau begitu, mari kita buktikan siapa yang sebenarnya memegang kendali!” Aksa membalas dengan suara berat, penuh tekad dan g4irah yang siap meledak menjadi pertarungan batin dan n4fsu.Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan
Sudah berhari-hari Mila dihantui rasa penasaran yang menggigit, menyaksikan sikap Quensa yang berubah drastis tanpa alasan jelas. “Mon, kamu pernah lihat Quensa nggak?” suaranya bergetar, penuh kerisauan. Mona cuma mengangkat bahu sambil menggerutu, “Iya, tapi dia udah kayak hilang dari dunia kita. Gak pernah gabung, gak aktif sama sekali.” “Hah, lama banget dia nggak masuk kampus. Jangan-jangan... sakit?” Mila menggigit bibirnya, kecemasan merayap di setiap sudut hatinya. Sementara itu, Aksara sendiri tenggelam dalam perenungan tanpa suara. Kenapa Quensa menghilang sejak malam itu? Malam penyatuan yang membekas seperti luka tak terlihat. Dia sudah tak lagi pulang ke kontrakan, memilih singgah di apartemen Mona, atau kadang menginap di tempat Galen dan Bara, seolah menghindar dari sesuatu yang tak terkatakan. “Sayang, nanti kamu nginep lagi, kan?” tanya Mona dengan nada manja, mencoba mencuri perhatian. Aksara menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kerisauan yang sama
"Astaga, kalian ini nggak tahu malu sekali!" seru Mila tajam, matanya menyorot dua pasangan yang tengah asyik berciuman tanpa peduli sekeliling. Bara melangkah maju, senyumnya sinis, "Aksara, sekarang makin panas, ya? Suhunya melejit!" Mona tercekat, wajahnya membara merah padam—ketahuan oleh sahabatnya jelas membuat hatinya berdegup tak karuan. Aksara hanya berdehem canggung, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang merambat seperti api. Mila mengalihkan pandangan, matanya sibuk mencari sosok yang ia inginkan. "Mon, kamu lihat Quensa nggak?""Dia tadi di sini. Aduh, ini semua gara-gara kamu sayang, jadi dia pergi, kan?" suara Mona bergetar penuh kecewa, menyalahkan kekasihnya tanpa sanggah. Aksara menatap jam tangannya, lalu menatap Mona dengan tatapan penuh kasih sayang. "Aku harus rapat dulu, sayang. Nanti pulang kita bareng, oke?" bisiknya lembut sembari mengecup kening Mona dengan penuh perhatian. Mona menatapnya tajam, lalu melontarkan canda bercampur peringatan, "Iya,
Aksara yang setengah mabuk merangkak mendekat, matanya yang gelap menusuk seperti ingin merobek jiwa Quensa hingga hancur berkeping. “Coba ulangi, wanita jalang!” geramnya, tangan kasar itu mencengkram dagu Quensa dengan kekuatan yang membuatnya hampir terseret. “Sa...sakit, Aksa...” desis Quensa sambil menahan nyeri, wajahnya berkerut kesakitan. “Coba…” Aksara mendesak dengan nada mengancam, suara geramnya menggema di kamar sempit itu. “M-maafkan aku...” Quensa terbata-bata, suaranya pecah oleh derai luka dan takut yang menyayat hati. Namun sebelum kata itu habis, dia segera memotong, suaranya tegas dan bergetar, “Menyingkirlah!” Dengan napas tersengal dan mata tajam, Aksara melepas cengkramannya. Quensa tak mau lama-lama dalam api neraka itu, dia cepat-cepat keluar dari kamar. Kontrakan mungil itu hanya menyisakan ruang sempit antara kamar dan dapur kecil yang tak lagi ramah seperti dulu. Setelah pernikahan yang diserbu amarah orang tua mereka, segala fasilitas dipangkas ha
Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!" Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisi
"Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar.Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka.Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino."Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan."Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab.""Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar."Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut.Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi."Aksa....?""Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam.Quensa terpaku dengan ucapan