Share

Enam

Author: Cubby
last update Last Updated: 2025-10-06 13:56:27

Quensa mengangkat wajahnya perlahan, matanya menatap tajam ke arah Nino. Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar saat ia berbisik, "Hotel Addison, Pa..." 

 Nino diam seribu bahasa. Tanpa sepatah kata, ia segera melangkah keluar dari kamar, ponselnya sudah terangkat, memerintah kepada anak buahnya dengan suara dingin penuh amarah, "Cari rekaman CCTV satu bulan lalu di Hotel Addison. Segera!"

"Baik, Pak," jawab suara berat dari seberang telepon. Nino duduk terhuyung, punggungnya bersandar kasar ke dinding, matanya terpejam rapat. Hatinya terbakar amarah dan kecewa—anak semata wayangnya telah mengecewakannya dengan cara yang tak pernah terbayangkan. Meski dirinya bukan pria suci, melihat anaknya mengandung, bagai petir menyambar, menyalakan badai di dalam dadanya.

Sementara itu, di kamar, Quensa menggigil. Keringat dingin membasahi dahinya, setiap detik berlalu bagai mimpi buruk yang kian nyata. "Bagaimana ini? Kalau Papa menemukan rekaman CCTV, dan mengetahui semuanya… aku bisa-bisa mati di tangan Aksa."

Jari-jarinya gemetar, telinganya mendengar detak jantungnya sendiri yang nyaris pecah. Dengan penuh keraguan, ia membuka grup sekolah, mencari nomor Aksara. Setiap detik terasa melambat, dan tangan-tangannya seolah memberontak tak sanggup menemukan nomor itu. 

 "Cepatlah, di mana kau?!" gumamnya panik, suaranya pecah dan penuh putus asa. Quensa tahu, waktu dan harapannya menipis. Malam itu, neraka kecilnya mulai menyala.

“Ini dia nomor nya...” Quensa menghela napas panjang, wajahnya sedikit meregang lega sebelum jari-jarinya gemetar menekan tombol panggilan ke nomor Aksa. Satu, dua, lima kali ia mencoba—tanpa satu pun jawaban.

 “Ayolah, angkat Aksara...” gumamnya putus asa. 

 Tiba-tiba, suara berat itu muncul dari seberang, seperti petir yang membelah malam.

“Hallo...?” 

 Jantung Quensa berdegup seolah hendak meledak, bibirnya terkunci beku, dan bayang-bayang ketakutan merayap dalam dada begitu suara itu menggema di telinganya. “Hallo, kau siapa? Untuk apa kau mengganggu?” Suara kasar Aksa menusuk-nusuk, menodai udara malam.

 “Aku Quensa, Aksa...” Suaranya tersendat, nyaris tak percaya masih bisa bicara. 

 “Berani sekali kau, wanita jalang, menghubungiku!” dentum kata-katanya bagai palu godam. 

Lalu, “Tuuut...” Sambungan telepon terputus tanpa ampun.

 Quensa terpaku, napasnya tersendat, tangan gemetar menari di atas layar ponsel. Dengan penuh harap sekaligus ketakutan, ia mengetik pesan secepat mungkin: “Aksa, tolong hapus rekaman CCTV di hotelmu. Papa sedang mencari tahu ke sana, aku takut jika dia tahu siapa yang bersamaku malam itu. Ini demi kebaikanmu dan keselamatan kita. Maaf, aku tak bermaksud melibatkanmu dalam masalah ini.” Tangan Quensa gemetar saat tombol ‘kirim’ ditekan, tapi harapannya tetap menyala, menunggu keajaiban yang belum tentu datang.

Quensa menatap layar ponsel dengan harap yang kian memudar. Pesan dari Aksara tak kunjung datang, bahkan hanya sekadar dibaca pun tidak. Gelisah menggerogoti hatinya, ketakutan mulai merayapi setiap sudut pikirannya.

Di kamar mandi, Aksa baru saja selesai mandi. Tangannya terkepal, meninju udara dengan amarah yang membara. "Sialan, wanita jalang itu! Kenapa harus merepotkanku terus?" umpatan kasar lepas dari bibirnya, penuh dendam dan kebencian yang menumpuk tanpa batas. Ia membayangkan menelan hidup-hidup Quensa, biar rasa bencinya padanya lebur dalam kobaran api.

Senyumnya berubah menjadi tawa sinis, menyeramkan seperti iblis yang siap membalas dendam. "Tunggu saja balasanku, wanita jalang," bisiknya penuh ancaman.

Malam itu, Nino terjaga dalam gelap, mata merah dan tubuhnya lemas tak berdaya. Nafsu makannya menguap bersama kantuk yang lenyap, semua terfokus pada satu harapan: rekaman CCTV yang sedang ia tunggu hasilnya. Keesokan paginya, suara langkah kaki cepat terdengar dari lorong rumah. Orang kepercayaan Nino datang, membawa sebuah amplop berisi rekaman itu.

"Panggil anak bodoh itu!" perintah Nino dengan suara dingin dan tajam, mata menatap tajam pada Susi. "Iya, Pak!" balas Susi sambil berlari terburu-buru, membawa beban perintah sang majikan yang kejam.

"Non, kamu dipanggil oleh Bapak!" seru Susi, membelah keheningan pagi yang menegangkan.

Quensa yang tengah terhanyut dalam lamunan tiba-tiba tersentak saat mendengar panggilan itu—nama papanya yang tak pernah terdengar begitu mengerikan. Tubuhnya gemetar, langkahnya goyah saat ia melangkah tertatih ke ruang tengah. 

 “Ikut papa!” Nino bangkit dari duduknya, suaranya dingin tanpa cela, memerintah tanpa celah tanya. “Ke mana kita, Pah?” tanya Quensa dengan suara serak, tangan mungilnya meremas erat, berusaha menahan gemetar yang tak tertahankan. 

 Nino menatapnya dengan mata tajam membeku, “Tak perlu bertanya. Nanti kamu akan mengerti sendiri.” Kata-kata itu seperti embun racun yang merambat ke seluruh jiwa Quensa. Hatinya berdegup tak karuan, gelisah dan takut mencekam dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. 

 Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah mansion megah yang berdiri angkuh di bawah langit senja. Wajah Quensa berubah penuh penasaran sekaligus cemas. “Pah... ini rumah siapa? Kenapa kita ke sini?” suaranya bergetar, seolah menelan segala keberanian yang tersisa. 

 Nino hanya diam, menuruni mobil dengan langkah berat. Tatapan mata yang menusuk menusuk Quensa, memerintahnya turun tanpa perlu diulangi lagi. Mansion itu beruntung dihuni sang tuan rumah, jadi mereka tak perlu menunggu lama. Nino dipersilakan duduk oleh Louis, pria dengan ekspresi dingin yang tajam seperti pisau. “Ada keperluan apa?” tanya Louis, suaranya dingin dan tanpa emosi, seolah menimbang ancaman yang akan datang. Di sini, Quensa berdiri di persimpangan misteri dan ketakutan, tanpa tahu apakah yang menantinya adalah jawaban atau kehancuran.

“Ya, saya ke sini jelas bukan tanpa alasan. Saya datang untuk menuntut pertanggungjawaban anak Anda atas putri saya!” Nino melontarkan kalimat itu dengan tajam, matanya membara penuh tekad. 

“Papa...?” Quensa terkejut, tatapannya langsung tertuju pada ayahnya, penuh permohonan tanpa suara. 

Louis terperangah, suaranya bergetar, “Pertanggungjawaban atas dasar apa, Tuan Nino?”

 Virda ikut angkat bicara, nadanya penuh curiga dan sedikit defensif, “Jangan membuat fitnah! Apa salah anak saya?”

Nino tidak goyah. Ia menunjuk tajam, “Coba tanya anak Anda sendiri, susahkah melakukan apa yang sudah terjadi pada anak saya?”

Quensa buru-buru menyela, “Papa, ini salah paham. Tolong, jangan langsung menuduh.”

 “Tutup mulutmu!” bentak Nino dengan suara berat.

 “Kamu harus mengerti, anakmu tak bisa lari dari tanggung jawab hanya demi kenyamanan sendiri!” 

Virda menatap penuh amarah, “Apa maksudmu?” 

Nino membuka tasnya dan menjatuhkan foto USG, vitamin ibu hamil, test pack, dan rekaman CCTV di atas meja dengan suara gemuruh yang menegaskan kebenaran tuduhannya. “Anakmu sudah menghamili putriku,” tegas Nino dengan suara serak tapi penuh kepastian.

 Keheningan menghantam ruangan seolah menjadi saksi bisu dari ledakan kenyataan itu. Louis dan Virda terpaku, wajah mereka memutih, sebelum Virda membantah dengan terbata, “Tidak mungkin! Jangan asal bicara!” Namun semua bukti itu berkata lain. 

Tatapan tajam Nino tak memberi celah untuk berbohong. Quensa, di tengah badai itu, hanya mampu menunduk, hatinya seolah pecah berkeping-keping.

"Astaga... Ini tidak mungkin, anda jangan menuduh sembarangan terhadap putraku."

"Panggil Aksa!" Perintah Louis pada salah satu maid.

"Aksa....?"suara Quensa tercekat seketika tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar nama 'Aksa' orang yang sangat ia takuti dan hindari di muka bumi ini.

"Saya tidak menuduh ini sudah ada bukti yang jelas bahwa anak anda memang menghamili putriku."Nino tak terima.

Di tengah perdebatan itu seorang remaja tampan berwajah dingin datang menghampiri, seketika membuat jantung Quensa hampir keluar dia segera memejamkan mata menahan rasa takutnya.

Aksa duduk , wajahnya terlihat sangat datar lalu netra gelapnya menatap pada Quensa yang tengah menunduk sambil memejamkan mata.

"Apa benar kamu sudah menghamilinya, Aksa?"Suara tuan Louis terdengar bak petir di siang bolong.

Aksa seketika terkejut lalu netra hitam nya menatap tajam pada Quensa dengan tatapan sekan ingin membunuh, kedua tangannya mengepal kuat sampai buku-buku nya memerah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MY TOXIC Husband    Lima Puluh Satu

    Kaiden dan Quensa sudah duduk di sebuah restoran mewah, tempat mereka akan bertemu klien. “Istri Tuan Kaiden sangat cantik,” puji Klein dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan dari Quensa. Kaiden menatap istrinya dengan segenap kekesalan yang dipendam rapi di balik wibawa. “Terima kasih. Boleh kita mulai pembahasan kerja sama ini?” suara Kaiden datar, tapi napasnya berat. Sejak tadi, Klein terus melirik Quensa dengan cara yang membuat suasana jadi panas dan menusuk. Klein menjawab sambil tak melepas pandang dari Quensa, “Tentu saja. Ini kerja sama pertama dengan Tuan Kaiden langsung, meski saya sudah pernah bekerja sama dengan orang tua Anda. Tapi kita harus saling mengenal lebih dalam dulu, agar kerja sama kita ke depan berjalan lancar.” Tatapan Klein yang tak pernah lepas dari Quensa membuat Kaiden semakin geram. Namun, ia menekan amarah demi profesionalitas. Perlahan, Kaiden meraih tangan Quensa, menggenggamnya erat sebagai penegas batas tak terlihat, lalu dengan halus

  • MY TOXIC Husband    Lima Puluh

    Kaiden diam saja, tak menjawab. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia menarik selimut tebal, menaikkannya hingga menutupi seluruh tubuh Quensa. “Om...?” suara Quensa melemah, tangannya ragu-ragu meraih tangan Kaiden untuk menahan. Getarannya terasa begitu halus, penuh harap. Kaiden menghela napas panjang, matanya samar-samar menatap jauh. Perlahan, dengan kelembutan yang seakan menyembunyikan amarah, ia melepaskan genggaman Quensa, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata penjelasan. Tubuh Quensa gemetar hebat, tangisnya pecah sembari menatap punggung Kaiden yang kini tertutup pintu kamar, meninggalkannya dalam keheningan yang menusuk hati. Dari balik pintu, tinju Carel mengepal dengan kekuatan yang hampir memecahkan dinding. Dia melangkah maju, tatapannya membara saat melihat kamar itu kosong tanpa Kaiden. Suaranya pecah, menorehkan ancaman yang menggema di ruang sempit itu, “Jangan pernah melangkahi batas dan jangan sekali-kali ingkari janji yang sudah kita buat.” Quensa ters

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Sembilan

    Mobil melaju pelan memasuki area perusahaan. Kaiden membuka pintu dan menuruni mobil, tatapannya langsung tertuju pada sosok Quensa yang duduk kaku, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Kamu mau ikut ke kantor?" tawarnya, suaranya mengandung keinginan tapi juga sabar yang mulai menipis. Quensa menatap balik, suara dinginnya menusuk, "Apa Mama suruh aku ikut?" Sekilas, Kaiden memalingkan wajah, napasnya berat menahan frustasi yang merayapi hatinya. Tapi hanya dalam hitungan detik, matanya kembali mengunci pada Quensa. "Enggak. Tapi kalau kamu mau, turun aja." Quensa menyingkirkan sedikit lipatan bajunya, pandangannya tajam tapi terdengar dingin, "Terima kasih, Om. Aku pengen pulang." Kaiden menghela napas panjang, berusaha menahan gelombang emosi karena hari ini ada rapat penting yang tak boleh dia lewatkan. Ia merunduk, tangan lembutnya menyentuh perut bulat Quensa. "Daddy harus kerja dulu, jangan rewel di perut Mommy. Daddy janji, nanti akan pulang cepat." Jari-jarinya mengelus per

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Delapan

    Setelah sarapan yang terasa begitu hambar, Quensa bangkit dari duduknya. Ia meraih coat berwarna cokelat dan mantel senada dari lemari. Udara New York di musim gugur memang cukup menusuk tulang. Ia ingin merasakan pagi di kota impiannya, meski hanya seorang diri.Langkah Quensa membawanya ke Central Park. Daun-daun berguguran dengan warna-warni yang memukau. Pemandangan yang seharusnya indah itu justru membuat hatinya semakin pilu. Ia mengamati pasangan-pasangan yang berjalan bergandengan tangan, tertawa bersama. Pemandangan yang sangat kontras dengan kehidupannya."Sayang, setidaknya kita bisa tinggal di negara impian mommy...." gumam Quensa sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Usia kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Kehadiran sang buah hati seharusnya menjadi pelipur lara, namun bayangan Kaiden selalu menghantuinya dan membuat hatinya terasa sesak. Bagaimana tidak, Quensa sudah jatuh hati pada pria tampan dan dia sudah sangat percaya diri kalau Kaiden pun memiliki p

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Tujuh

    Berbeda dengan Kaiden yang tetap tenang tanpa secuil pun tanda keterkejutan menghiasi wajahnya, Carel justru melonjak penuh semangat, duduk manis di pangkuan Kaiden dengan senyum manja yang memekakkan telinga. "Honey... Akhirnya kita akan tinggal bersama juga..." suaranya mengalun penuh keyakinan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. "Tinggal bersama...." Quensa mengerutkan dahinya, rasa jijik menyusup tanpa bisa disembunyikan. Matanya membulat penuh pertanyaan saat menatap Kaiden, mencari jawaban atas kata-kata yang nyaris menghancurkan harapannya. Namun Kaiden tetap membeku dalam diam, wajahnya datar, bagai batu tak bergerak. "Iya, aku akan tinggal di sini. Ini sudah jadi kesepakatan kita, kan, honey?" Carel menatap Kaiden dengan ekspresi manja. Kaiden hanya menghembuskan nafas pendek, "Hem," jawabnya singkat, dingin. Quensa tak sanggup bertahan lebih lama. Dia bangkit dengan langkah berat, menelan kepahitan yang merayap ke hatinya, lalu menghilang masuk kamar. Di sisi

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Enam

    Teriakan Mama Rosa memecah keheningan, matanya membelalak saat melihat keberanian anaknya mencium Quensa di depan maid yang sama-sama terperangah. Kaiden perlahan melepaskan cumbuan, lalu mengusap lembut bibir Quensa yang masih bengkak, bekas ciuman yang terus dia ulang sejak kemarin. "Sudah, kita lanjut sarapan... Kai, nanti setelah sarapan kamu bisa lanjut lagi," potong Pak Damian, mencoba menenangkan keributan yang merebak. Suasana meja makan berubah hangat, sesekali suara Mama Rosa mengisi udara dengan ocehannya. "Kai, mulai sekarang jangan terlalu gila dalam urusan bisnis. Ingat, rumah tanggamu bukan hanya soal kerja, tapi juga soal menjaga kebahagiaan bersama mantu Mama. Ajak dia jalan-jalan, belanja, jangan hanya tenggelam dalam angka dan target saja ingat itu." Suaranya penuh kekhawatiran, campur sayang sekaligus cemas pada anak satu-satunya itu yang baru saja menikah di usia yang sudah tak muda lagi. Kaiden membalas dengan wajah dingin, tanpa sepatah kata berlebih, "Ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status