Share

Delapan

Penulis: Cubby
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 13:57:55

Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!"

Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan.

Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisingan gairah dan amarah, dunia mereka meleleh tanpa sisa.

Quensa melepaskan ciumannya, lalu menggoda rahang tegas Aksa dengan sentuhan yang membuat tubuhnya bergetar, hingga desahan berat tak bisa disembunyikan. "Sialan," gerutu Aksa dalam hati, membolak-balik rasa yang lebih menggelegar dari malam-malam panas sebulan lalu di kamar hotel. Setiap sentuhan Quensa bagai api yang menghanguskan kulit, dan Aksa membalas dengan hasrat yang semakin liar, menjelajahi seluruh tubuh Quensa tanpa sisa, seperti ingin menguasai seluruh jiwa dan raganya.

Hasratnya membuncah sampai ubun-ubun, tak terbendung lagi. Namun tiba-tiba, suara dingin Quensa menusuk ruang panas itu. “Kau munafik!” lontarnya penuh cela, sambil mendorong tubuh Aksa dengan tegas.

Aksa terengah, napasnya tak beraturan. “Kau terlalu jalang, itu wajar. Aku laki-laki normal!” balasnya dengan nada setengah terhina, setengah membela diri.

Quensa menatap tajam, sinis menggigit kata-katanya, “Berengsek juga ternyata. Ingat Mona, tunanganmu. Dia wanita yang kau katakan cintai. Pikirkan itu, waraslah sedikit!”

“Kurang ajar!” Aksa meledak, kemarahan menyapu tubuhnya. Rasa terperangkap dalam permainan yang kejam membuatnya lepas kendali. Tanpa peringatan, dia menindih tubuh Quensa, mata membara, tangan mendesak. Meski awalnya sulit, terasa berat seperti dulu, emosi dan hasrat liar membakar setiap gerakan. Dia mendorong sekuat.

Aksa meraung, suaranya pecah penuh amarah yang membara, “Shit! Kau benar-benar bitch, ya?”

Quensa menatapnya dengan tatapan menusuk, bibirnya melengkung sinis, “Kau sudah hina aku, tapi sekarang kau mau lagi? Sungguh tak tahu malu.”

Aksa menutup matanya perlahan, menikmati permainan berbahaya ini seolah setiap kata racau itu adalah racikan kenikmatan yang membakar darahnya. “Mona... sayang, kau selalu membuatku gila...” bisiknya penuh nafsu, memanggil nama kekasihnya yang seolah menjadi candu di lisannya.

“Tapi buka matamu, ini bukan Mona. Ini aku, Quensa!” suara Quensa membelah keheningan, tajam dan menggigit, seperti duri yang merobek keheningan.

Aksa terguncang, tubuhnya terjerembab ke samping, matanya menyala penuh kemarahan dan penolakan, “Quensa!”

Quensa melilitkan selimut tebal di tubuhnya, seolah benteng dari luka yang tengah meradang. Senyumnya dingin dan penuh kemenangan, “Ya, aku Quensa, bukan Mona.”

Aksa menatapnya sinis, nada suaranya membeku, “Lalu kenapa? Apa kau mau aku panggil ‘wanita jalang’ sepertimu?”

Senyum Aksara berubah menjadi tawa dingin penuh penghinaan, matanya memancarkan kejahatan bak iblis yang menari dalam kegelapan.

"Sama sekali tidak."balas Quensa, kali ini dia tak menunjukka wajah ketakutan pada Aksa, dia harus berani melawan iblis seorang Aksara Emiliano Addison.

"Lalu kenapa kau mendorong ku?"

Quensa tak menjawab dadanya bergemuruh menahan emosi lalu tanpa Aksara duga, tiba-tiba Quensa naik ke atas tubuh Aksara lalu dia menyatukan.

"Begini kan seorang jalang,hah? Berengsek!"tanya Quensa menatap sinis pada Aksa yang tengah terbengong terekjut dengan aksi berani nya wanita yang dia benci itu.

"Aahhh, Quensaaaa!" Satu desahan lolos dari mulut yang selalu berkata tajam itu.

Quensa yang hanya mengandalkan nalurinya dia terus membuat Aksa mengejang-ngejang menikmati permainannya. "Aku tidak peduli, Karena sudah terlanjur di cap jalang."bisik hatinya tanpa terasa air matanya menetes begitu saja.

Quensa tersenyum tipis, lalu dia berucap dengan nada mengejek."Segitu kemampuan mu?"tanya nya dengan nafas tersengal.

"Lemah sekali."lanjut Quensa menertawakan.

"Shit! Sialan!"gerutu Aksara dalam hati wajahnya memerah malu karena dia tak bisa menahan hanya kurang dari lima menit larva nya keluar membuncah.

"Jangan-jangan kau impte...."

"Hhkk!" Dengan Satu kali hentakan Aksara kembali menyatukan miliknya tak terima dengan hinaan Quensa.

"kau benar-benar jalang...."Aksara kembali mengerang kenikmatan.

Kini kedua insan itu tenggelam dalam penyatuan yang menggelora namun penuh kebencian diantara mereka berdua. Di tengah panasnya pergulatan dua insan yang saling benci itu tiba-tiba suara gemuruh warga datang.

"Jadi ini yang selalu meresahkan warga dan membuat aib tempat kita..."teriak salah satu warga terlihat marah.

"Lepaskan Aksara!"Quensa panik bercampur malu ketika melihat warga memergokinya.

"Shit!" Aksara segera melepaskan penyatuannya dan menutupi Quensa dengan selimut tebal.

"Iya benar, ini rupanya yang selalu meresahkan warga dan membuat maksiat di tempat kita! Kita seret dia ke balai desa!"sahut salah satu warga yang terlihat geram.

"Tunggu! Ini salah paham!"seru Aksara mengehentikan ia meraih pakaian pada Quensa kemudian menutup pintu kamarnya.

"Salah paham apa? jelas-jelas kalian sedang berbuat tak senonoh, masih mengelak dasar anak muda jaman sekarang."sinis warga.

"Seret dia!"

Bruk! Pintu kamar di tendang membuat Aksara mengeram emosi.

"Anda tidak sopan!"teriak Aksara tidak terima.

Quensa berdiri ketakutan wajahnya terlihat pucat.

"Cepat seret mereka!"seru salah satu di antara mereka.

"Tidak!" Tolak Aksara matanya menatap tajam. Namun karena banyak warga Aksara pun terpaksa menurut.

Kini kedua pasangan yang baru saja di gerebek itu duduk berhadapan dan kerubuni warga dengan cacian dan makian yang terlontar tajam pada kedua pasangan remaja itu. Bahkan ada salah satu warga yang geram dan ingin menghajar Aksara. Namun tokoh masyarakat disana mencegahnya.

"Hubungi orang tua kalian!"ucap salah satu tokoh masyarakat pada Aksara dan Quensa

dan mereka pun langsung menurut karena ketakutan oleh warga yang mulai ramai dan mengamuk.

Quensa menatap langit gelap dari jendela kamar tangannya mengusap air terhitung sudah empat bulan sudah kini Quensa dengan Aksara menikah dari penggerebekan itu.

Brakkk! Pintu terbuka dengan dentuman keras membuat Quensa melirik ke arah suara itu, wanita cantik itu kini sudah terbiasa ketika melihat Aksara pulang larut malam dalam keadaan mabuk sempoyongan.

"Akhhh... Aku sangat mencintaimu Mona,"Racau Aksara sempoyongan masuk ke dalam kamar.

"Menyingkirlah! Aku tidak sudi melihat wajah jalang mu!"usir Aksara pada Quensa yang masih berdiri di dekat jendela mendorong tubuh Quensa.

"Kamu keterlaluan Aksara!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MY TOXIC Husband    Lima Puluh Satu

    Kaiden dan Quensa sudah duduk di sebuah restoran mewah, tempat mereka akan bertemu klien. “Istri Tuan Kaiden sangat cantik,” puji Klein dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan dari Quensa. Kaiden menatap istrinya dengan segenap kekesalan yang dipendam rapi di balik wibawa. “Terima kasih. Boleh kita mulai pembahasan kerja sama ini?” suara Kaiden datar, tapi napasnya berat. Sejak tadi, Klein terus melirik Quensa dengan cara yang membuat suasana jadi panas dan menusuk. Klein menjawab sambil tak melepas pandang dari Quensa, “Tentu saja. Ini kerja sama pertama dengan Tuan Kaiden langsung, meski saya sudah pernah bekerja sama dengan orang tua Anda. Tapi kita harus saling mengenal lebih dalam dulu, agar kerja sama kita ke depan berjalan lancar.” Tatapan Klein yang tak pernah lepas dari Quensa membuat Kaiden semakin geram. Namun, ia menekan amarah demi profesionalitas. Perlahan, Kaiden meraih tangan Quensa, menggenggamnya erat sebagai penegas batas tak terlihat, lalu dengan halus

  • MY TOXIC Husband    Lima Puluh

    Kaiden diam saja, tak menjawab. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia menarik selimut tebal, menaikkannya hingga menutupi seluruh tubuh Quensa. “Om...?” suara Quensa melemah, tangannya ragu-ragu meraih tangan Kaiden untuk menahan. Getarannya terasa begitu halus, penuh harap. Kaiden menghela napas panjang, matanya samar-samar menatap jauh. Perlahan, dengan kelembutan yang seakan menyembunyikan amarah, ia melepaskan genggaman Quensa, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata penjelasan. Tubuh Quensa gemetar hebat, tangisnya pecah sembari menatap punggung Kaiden yang kini tertutup pintu kamar, meninggalkannya dalam keheningan yang menusuk hati. Dari balik pintu, tinju Carel mengepal dengan kekuatan yang hampir memecahkan dinding. Dia melangkah maju, tatapannya membara saat melihat kamar itu kosong tanpa Kaiden. Suaranya pecah, menorehkan ancaman yang menggema di ruang sempit itu, “Jangan pernah melangkahi batas dan jangan sekali-kali ingkari janji yang sudah kita buat.” Quensa ters

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Sembilan

    Mobil melaju pelan memasuki area perusahaan. Kaiden membuka pintu dan menuruni mobil, tatapannya langsung tertuju pada sosok Quensa yang duduk kaku, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Kamu mau ikut ke kantor?" tawarnya, suaranya mengandung keinginan tapi juga sabar yang mulai menipis. Quensa menatap balik, suara dinginnya menusuk, "Apa Mama suruh aku ikut?" Sekilas, Kaiden memalingkan wajah, napasnya berat menahan frustasi yang merayapi hatinya. Tapi hanya dalam hitungan detik, matanya kembali mengunci pada Quensa. "Enggak. Tapi kalau kamu mau, turun aja." Quensa menyingkirkan sedikit lipatan bajunya, pandangannya tajam tapi terdengar dingin, "Terima kasih, Om. Aku pengen pulang." Kaiden menghela napas panjang, berusaha menahan gelombang emosi karena hari ini ada rapat penting yang tak boleh dia lewatkan. Ia merunduk, tangan lembutnya menyentuh perut bulat Quensa. "Daddy harus kerja dulu, jangan rewel di perut Mommy. Daddy janji, nanti akan pulang cepat." Jari-jarinya mengelus per

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Delapan

    Setelah sarapan yang terasa begitu hambar, Quensa bangkit dari duduknya. Ia meraih coat berwarna cokelat dan mantel senada dari lemari. Udara New York di musim gugur memang cukup menusuk tulang. Ia ingin merasakan pagi di kota impiannya, meski hanya seorang diri.Langkah Quensa membawanya ke Central Park. Daun-daun berguguran dengan warna-warni yang memukau. Pemandangan yang seharusnya indah itu justru membuat hatinya semakin pilu. Ia mengamati pasangan-pasangan yang berjalan bergandengan tangan, tertawa bersama. Pemandangan yang sangat kontras dengan kehidupannya."Sayang, setidaknya kita bisa tinggal di negara impian mommy...." gumam Quensa sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Usia kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Kehadiran sang buah hati seharusnya menjadi pelipur lara, namun bayangan Kaiden selalu menghantuinya dan membuat hatinya terasa sesak. Bagaimana tidak, Quensa sudah jatuh hati pada pria tampan dan dia sudah sangat percaya diri kalau Kaiden pun memiliki p

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Tujuh

    Berbeda dengan Kaiden yang tetap tenang tanpa secuil pun tanda keterkejutan menghiasi wajahnya, Carel justru melonjak penuh semangat, duduk manis di pangkuan Kaiden dengan senyum manja yang memekakkan telinga. "Honey... Akhirnya kita akan tinggal bersama juga..." suaranya mengalun penuh keyakinan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. "Tinggal bersama...." Quensa mengerutkan dahinya, rasa jijik menyusup tanpa bisa disembunyikan. Matanya membulat penuh pertanyaan saat menatap Kaiden, mencari jawaban atas kata-kata yang nyaris menghancurkan harapannya. Namun Kaiden tetap membeku dalam diam, wajahnya datar, bagai batu tak bergerak. "Iya, aku akan tinggal di sini. Ini sudah jadi kesepakatan kita, kan, honey?" Carel menatap Kaiden dengan ekspresi manja. Kaiden hanya menghembuskan nafas pendek, "Hem," jawabnya singkat, dingin. Quensa tak sanggup bertahan lebih lama. Dia bangkit dengan langkah berat, menelan kepahitan yang merayap ke hatinya, lalu menghilang masuk kamar. Di sisi

  • MY TOXIC Husband    Empat Puluh Enam

    Teriakan Mama Rosa memecah keheningan, matanya membelalak saat melihat keberanian anaknya mencium Quensa di depan maid yang sama-sama terperangah. Kaiden perlahan melepaskan cumbuan, lalu mengusap lembut bibir Quensa yang masih bengkak, bekas ciuman yang terus dia ulang sejak kemarin. "Sudah, kita lanjut sarapan... Kai, nanti setelah sarapan kamu bisa lanjut lagi," potong Pak Damian, mencoba menenangkan keributan yang merebak. Suasana meja makan berubah hangat, sesekali suara Mama Rosa mengisi udara dengan ocehannya. "Kai, mulai sekarang jangan terlalu gila dalam urusan bisnis. Ingat, rumah tanggamu bukan hanya soal kerja, tapi juga soal menjaga kebahagiaan bersama mantu Mama. Ajak dia jalan-jalan, belanja, jangan hanya tenggelam dalam angka dan target saja ingat itu." Suaranya penuh kekhawatiran, campur sayang sekaligus cemas pada anak satu-satunya itu yang baru saja menikah di usia yang sudah tak muda lagi. Kaiden membalas dengan wajah dingin, tanpa sepatah kata berlebih, "Ti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status