Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!"
Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisingan gairah dan amarah, dunia mereka meleleh tanpa sisa. Quensa melepaskan ciumannya, lalu menggoda rahang tegas Aksa dengan sentuhan yang membuat tubuhnya bergetar, hingga desahan berat tak bisa disembunyikan. "Sialan," gerutu Aksa dalam hati, membolak-balik rasa yang lebih menggelegar dari malam-malam panas sebulan lalu di kamar hotel. Setiap sentuhan Quensa bagai api yang menghanguskan kulit, dan Aksa membalas dengan hasrat yang semakin liar, menjelajahi seluruh tubuh Quensa tanpa sisa, seperti ingin menguasai seluruh jiwa dan raganya. Hasratnya membuncah sampai ubun-ubun, tak terbendung lagi. Namun tiba-tiba, suara dingin Quensa menusuk ruang panas itu. “Kau munafik!” lontarnya penuh cela, sambil mendorong tubuh Aksa dengan tegas. Aksa terengah, napasnya tak beraturan. “Kau terlalu jalang, itu wajar. Aku laki-laki normal!” balasnya dengan nada setengah terhina, setengah membela diri. Quensa menatap tajam, sinis menggigit kata-katanya, “Berengsek juga ternyata. Ingat Mona, tunanganmu. Dia wanita yang kau katakan cintai. Pikirkan itu, waraslah sedikit!” “Kurang ajar!” Aksa meledak, kemarahan menyapu tubuhnya. Rasa terperangkap dalam permainan yang kejam membuatnya lepas kendali. Tanpa peringatan, dia menindih tubuh Quensa, mata membara, tangan mendesak. Meski awalnya sulit, terasa berat seperti dulu, emosi dan hasrat liar membakar setiap gerakan. Dia mendorong sekuat. Aksa meraung, suaranya pecah penuh amarah yang membara, “Shit! Kau benar-benar bitch, ya?” Quensa menatapnya dengan tatapan menusuk, bibirnya melengkung sinis, “Kau sudah hina aku, tapi sekarang kau mau lagi? Sungguh tak tahu malu.” Aksa menutup matanya perlahan, menikmati permainan berbahaya ini seolah setiap kata racau itu adalah racikan kenikmatan yang membakar darahnya. “Mona... sayang, kau selalu membuatku gila...” bisiknya penuh nafsu, memanggil nama kekasihnya yang seolah menjadi candu di lisannya. “Tapi buka matamu, ini bukan Mona. Ini aku, Quensa!” suara Quensa membelah keheningan, tajam dan menggigit, seperti duri yang merobek keheningan. Aksa terguncang, tubuhnya terjerembab ke samping, matanya menyala penuh kemarahan dan penolakan, “Quensa!” Quensa melilitkan selimut tebal di tubuhnya, seolah benteng dari luka yang tengah meradang. Senyumnya dingin dan penuh kemenangan, “Ya, aku Quensa, bukan Mona.” Aksa menatapnya sinis, nada suaranya membeku, “Lalu kenapa? Apa kau mau aku panggil ‘wanita jalang’ sepertimu?” Senyum Aksara berubah menjadi tawa dingin penuh penghinaan, matanya memancarkan kejahatan bak iblis yang menari dalam kegelapan. "Sama sekali tidak."balas Quensa, kali ini dia tak menunjukka wajah ketakutan pada Aksa, dia harus berani melawan iblis seorang Aksara Emiliano Addison. "Lalu kenapa kau mendorong ku?" Quensa tak menjawab dadanya bergemuruh menahan emosi lalu tanpa Aksara duga, tiba-tiba Quensa naik ke atas tubuh Aksara lalu dia menyatukan. "Begini kan seorang jalang,hah? Berengsek!"tanya Quensa menatap sinis pada Aksa yang tengah terbengong terekjut dengan aksi berani nya wanita yang dia benci itu. "Aahhh, Quensaaaa!" Satu desahan lolos dari mulut yang selalu berkata tajam itu. Quensa yang hanya mengandalkan nalurinya dia terus membuat Aksa mengejang-ngejang menikmati permainannya. "Aku tidak peduli, Karena sudah terlanjur di cap jalang."bisik hatinya tanpa terasa air matanya menetes begitu saja. Quensa tersenyum tipis, lalu dia berucap dengan nada mengejek."Segitu kemampuan mu?"tanya nya dengan nafas tersengal. "Lemah sekali."lanjut Quensa menertawakan. "Shit! Sialan!"gerutu Aksara dalam hati wajahnya memerah malu karena dia tak bisa menahan hanya kurang dari lima menit larva nya keluar membuncah. "Jangan-jangan kau impte...." "Hhkk!" Dengan Satu kali hentakan Aksara kembali menyatukan miliknya tak terima dengan hinaan Quensa. "kau benar-benar jalang...."Aksara kembali mengerang kenikmatan. Kini kedua insan itu tenggelam dalam penyatuan yang menggelora namun penuh kebencian diantara mereka berdua. Di tengah panasnya pergulatan dua insan yang saling benci itu tiba-tiba suara gemuruh warga datang. "Jadi ini yang selalu meresahkan warga dan membuat aib tempat kita..."teriak salah satu warga terlihat marah. "Lepaskan Aksara!"Quensa panik bercampur malu ketika melihat warga memergokinya. "Shit!" Aksara segera melepaskan penyatuannya dan menutupi Quensa dengan selimut tebal. "Iya benar, ini rupanya yang selalu meresahkan warga dan membuat maksiat di tempat kita! Kita seret dia ke balai desa!"sahut salah satu warga yang terlihat geram. "Tunggu! Ini salah paham!"seru Aksara mengehentikan ia meraih pakaian pada Quensa kemudian menutup pintu kamarnya. "Salah paham apa? jelas-jelas kalian sedang berbuat tak senonoh, masih mengelak dasar anak muda jaman sekarang."sinis warga. "Seret dia!" Bruk! Pintu kamar di tendang membuat Aksara mengeram emosi. "Anda tidak sopan!"teriak Aksara tidak terima. Quensa berdiri ketakutan wajahnya terlihat pucat. "Cepat seret mereka!"seru salah satu di antara mereka. "Tidak!" Tolak Aksara matanya menatap tajam. Namun karena banyak warga Aksara pun terpaksa menurut. Kini kedua pasangan yang baru saja di gerebek itu duduk berhadapan dan kerubuni warga dengan cacian dan makian yang terlontar tajam pada kedua pasangan remaja itu. Bahkan ada salah satu warga yang geram dan ingin menghajar Aksara. Namun tokoh masyarakat disana mencegahnya. "Hubungi orang tua kalian!"ucap salah satu tokoh masyarakat pada Aksara dan Quensa dan mereka pun langsung menurut karena ketakutan oleh warga yang mulai ramai dan mengamuk. Quensa menatap langit gelap dari jendela kamar tangannya mengusap air terhitung sudah empat bulan sudah kini Quensa dengan Aksara menikah dari penggerebekan itu. Brakkk! Pintu terbuka dengan dentuman keras membuat Quensa melirik ke arah suara itu, wanita cantik itu kini sudah terbiasa ketika melihat Aksara pulang larut malam dalam keadaan mabuk sempoyongan. "Akhhh... Aku sangat mencintaimu Mona,"Racau Aksara sempoyongan masuk ke dalam kamar. "Menyingkirlah! Aku tidak sudi melihat wajah jalang mu!"usir Aksara pada Quensa yang masih berdiri di dekat jendela mendorong tubuh Quensa. "Kamu keterlaluan Aksara!"Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan
Sudah berhari-hari Mila dihantui rasa penasaran yang menggigit, menyaksikan sikap Quensa yang berubah drastis tanpa alasan jelas. “Mon, kamu pernah lihat Quensa nggak?” suaranya bergetar, penuh kerisauan. Mona cuma mengangkat bahu sambil menggerutu, “Iya, tapi dia udah kayak hilang dari dunia kita. Gak pernah gabung, gak aktif sama sekali.” “Hah, lama banget dia nggak masuk kampus. Jangan-jangan... sakit?” Mila menggigit bibirnya, kecemasan merayap di setiap sudut hatinya. Sementara itu, Aksara sendiri tenggelam dalam perenungan tanpa suara. Kenapa Quensa menghilang sejak malam itu? Malam penyatuan yang membekas seperti luka tak terlihat. Dia sudah tak lagi pulang ke kontrakan, memilih singgah di apartemen Mona, atau kadang menginap di tempat Galen dan Bara, seolah menghindar dari sesuatu yang tak terkatakan. “Sayang, nanti kamu nginep lagi, kan?” tanya Mona dengan nada manja, mencoba mencuri perhatian. Aksara menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kerisauan yang sama
"Astaga, kalian ini nggak tahu malu sekali!" seru Mila tajam, matanya menyorot dua pasangan yang tengah asyik berciuman tanpa peduli sekeliling. Bara melangkah maju, senyumnya sinis, "Aksara, sekarang makin panas, ya? Suhunya melejit!" Mona tercekat, wajahnya membara merah padam—ketahuan oleh sahabatnya jelas membuat hatinya berdegup tak karuan. Aksara hanya berdehem canggung, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang merambat seperti api. Mila mengalihkan pandangan, matanya sibuk mencari sosok yang ia inginkan. "Mon, kamu lihat Quensa nggak?""Dia tadi di sini. Aduh, ini semua gara-gara kamu sayang, jadi dia pergi, kan?" suara Mona bergetar penuh kecewa, menyalahkan kekasihnya tanpa sanggah. Aksara menatap jam tangannya, lalu menatap Mona dengan tatapan penuh kasih sayang. "Aku harus rapat dulu, sayang. Nanti pulang kita bareng, oke?" bisiknya lembut sembari mengecup kening Mona dengan penuh perhatian. Mona menatapnya tajam, lalu melontarkan canda bercampur peringatan, "Iya,
Aksara yang setengah mabuk merangkak mendekat, matanya yang gelap menusuk seperti ingin merobek jiwa Quensa hingga hancur berkeping. “Coba ulangi, wanita jalang!” geramnya, tangan kasar itu mencengkram dagu Quensa dengan kekuatan yang membuatnya hampir terseret. “Sa...sakit, Aksa...” desis Quensa sambil menahan nyeri, wajahnya berkerut kesakitan. “Coba…” Aksara mendesak dengan nada mengancam, suara geramnya menggema di kamar sempit itu. “M-maafkan aku...” Quensa terbata-bata, suaranya pecah oleh derai luka dan takut yang menyayat hati. Namun sebelum kata itu habis, dia segera memotong, suaranya tegas dan bergetar, “Menyingkirlah!” Dengan napas tersengal dan mata tajam, Aksara melepas cengkramannya. Quensa tak mau lama-lama dalam api neraka itu, dia cepat-cepat keluar dari kamar. Kontrakan mungil itu hanya menyisakan ruang sempit antara kamar dan dapur kecil yang tak lagi ramah seperti dulu. Setelah pernikahan yang diserbu amarah orang tua mereka, segala fasilitas dipangkas ha
Quensa melepaskan tawa sinis yang menusuk kalbu, "Aku sudah tidak tertarik dengan mu, jadi minggir saja!" Aksa yang terluka oleh kata-kata itu berubah menjadi kobaran amarah membara. Tanpa ampun, dia mencengkeram dan mendaratkan kecupan kasar di bibir Quensa. Wanita itu terpaku, tak sempat menolak, hatinya berontak dalam diam. Gigitannya merobek kulit bibir Quensa hingga darah segar mengalir, tapi Aksa justru semakin dalam menyelami ciuman itu, seperti ingin mengukir dendam dalam setiap sentuhan. Quensa yang selama ini dikenal dingin dan tajam tak rela jadi korban. Dia balas menangkupkan bibirnya pada Aksa dengan gairah yang sama kejamnya. Mereka terjebak dalam ciuman brutal yang penuh gejolak, seolah semua kemarahan dan luka meledak dalam satu badai emosi. Tangan Quensa merayap menelusuri punggung Aksa yang kini tanpa sehelai kain, seiring panas yang mereka bangkitkan menyulut udara dingin di puncak Bogor hingga berubah menjadi neraka kecil di antara mereka. Di sana, dalam kebisi
"Jawab Aksa!"bentak Louis pada anaknya.Aksa menarik nafas dalam-dalam,"Tidak."jawab nya datar.Mendengar pengakuan Aksa , membuat Nino ayah dari Quensa meradang,"Kamu tidak bisa berbohong dan mengelak bukti sudah ada, lihat baik-baik."tunjuk Nino murka.Aksa masih dengan wajah yang dingin menatap sekilas pada bukti yang di tujukan oleh Nino."Pah sudah kita pulang."bisik Quensa pelan."Jangan bodoh Quensa, dia harus tanggung jawab.""Pah tanggung jawab apa, dia sudah mengakui tidak melakukan nya jadi untuk apa memaksa."suara Quensa bergetar."Ini anda sebagai orang tua bisa lihat rekaman cctv anak anda, bahkan ini di hotel milik anda sendiri."ujar Nino mengular kan vdio tersebut.Kedua orang tua Aksa terdiam tatapan nya beralih pada anaknya yang masih diam tak berekspresi."Aksa....?""Dia yang menjebakku, aku sudah memiliki tunangan dan sama sekali tidak tertarik dengan wanita jalang seperti dia."pada akhirnya suara dingin Aksara terlontar dengan tajam.Quensa terpaku dengan ucapan