Share

BAB 8

Diana mendatangi Juizy Cafe yang tidak jauh dari kontrakan Nia. Dia memilih duduk di dekat jendela sembari menikmati pemandangan lalu-lalang pejalan kaki di luar sana. Seorang wanita dengan name tag Nadira Andrani mendatanginya, membawakan buku menu.

“Aku mau Muffin dan segelas Vanilla Caramelo,” katanya.

“Baiklah, ada yang lain?” tanya pelayan tersebut.

Diana menggeleng dan pelayan itu segera mengambil pesanan Diana ke balik counter. Selagi menunggu kedatangan Ari, Diana memilih untuk mendengarkan musik dari earphone, namun tangannya terhenti di tombol play pada ipod ketika melihat dua pria yang selalu mengawasinya memasuki kafe.

Hati Diana bergemuruh tak tenang. Dia ingin lari dari sana, namun tidak bisa karena pria-pria itu lebih dulu melihat keberadaannya. Mereka duduk tak jauh dari tempat Diana, dan mata keduanya mengawasi setiap gerak-gerik gadis itu. Selang tiga menit kemudian, Ari memasuki kafe dan dia tersenyum melihat Diana yang kini duduk menutupi kegelisahannya di sudut kafe.

            Pria itu menghampiri Diana dan memilih bangku yang ada di hadapannya. Senyum manis tak henti-hentinya tersungging di balik bibir pria itu. Diana menatap Ari dengan gugup, dia takut pria itu menyadari dirinya sedang diawasi, sebisa mungkin Diana bersikap biasa dan menormalkan kerja jantungnya.

“Maaf, aku terlambat,” katanya dengan nada menyesal. Diana hanya menggeleng.

“Kenapa kau tidak menghubungiku beberapa hari ini? Saat aku mendatangi kontrakanmu ternyata kau sudah pindah dari sana,” katanya dengan penasaran. Diana menggerakkan jari-jemarinya di bawah meja hanya untuk mengusir kegugupan serta ketakutannya.

“Oh, itu ... aku hanya ingin tinggal bersama Nia sementara ini,” jawabnya.

Ari mengangguk, dia tidak mempermasalahkan hal itu lebih jauh lagi. Pesanan Diana tiba dan mereka menjeda percakapan sementara hingga pelayan menaruh segelas Vanilla Caramelo dengan Muffin di atas meja.

“Aku mau Moccha Latte saja,” kata Ari menyebut pesanannya. Pelayan itu kembali berbalik dan meninggalkan Diana serta Ari yang kini berada dalam keheningan panjang. Keduanya menunggu salah satu untuk membuka percakapan.

“Aku—” kata mereka bersamaan. Ari tersenyum sedangkan Diana tampak malu dengan ketidaksengajaan itu.

“Kau duluan.” Ari mempersilahkan. Diana menundukkan kepala, dia bingung harus mengatakan apa. Tangannya sedikit gemetar saat memegang gelas minumannya sedang matanya bertemu pandang dengan salah satu pria yang mengawasi di seberang.

“Itu ... mmm ... aku ...” Diana tampak terbata sedangkan Ari masih bersabar menunggunya berbicara.

“Katakan saja, aku akan mendengarkanmu.” Ari meremas jari-jemari Diana yang berada di atas meja. Gadis itu terkesiap dengan perlakuan Ari, karena ini pertama kalinya pria itu menyentuhnya sedekat ini. Diana menarik diri dan kembali menyembunyikan tangannya di balik meja.

“Maaf  kan aku, aku tidak bermaksud—,” kata Diana dengan rasa bersalah ketika mendapati kekecawaan di mata pria itu.

“Tidak apa, aku tahu kau masih tidak bisa menerimaku,” ujarnya dengan nada sedih, “Tetapi aku akan tetap menunggumu hingga kau membuka hatimu untukku.”

Diana menatap Ari dengan pandangan bersalah, dan dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar itu. Sudah berkali-kali Diana menolak pria di hadapannya tetapi sebanyak itu pula pria itu mengejarnya bahkan bersabar dan selalu setia di setiap kesulitan yang menimpanya.

“Aku tidak ingin memberimu harapan palsu,” katanya dengan nada sedih atas ketidakmampuan hatinya membalas perasaan Ari.

Tidak apa Diana, jangan memaksa perasaanmu.”

“Aku ingin kau untuk tidak menemuiku lagi,” kata Diana.

Seketika suasana di sekitar mereka menjadi hening. Ari masih menatap Diana seolah itu adalah sebuah candaan. Dia melihat mata Diana, mencari apakah gadis itu sedang mengerjainya dan perkataannya barusan benar-benar dari hatinya, namun Ari bahkan tidak bisa menebak. Diana tampak mengalihkan pandangan dan tidak mau membalas tatapannya.

“Katakan bahwa kau tidak serius mengatakannya dan itu hanyalah salah satu caramu untuk menjauhiku!” Ari meninggikan suara, membuat Diana semakin menundukkan kepala, terpaku pada mufin serta gelas vanilla caramelo yang tidak ia sentuh di atas meja. Membiarkan makanan itu sebagai pajangan dan bayaran karena mereka berada di sana.

“Aku... tidak bisa mengatakan alasannya, dan... aku ingin kau tidak menemuiku lagi. Kumohon mengertilah, situasiku sedang sulit saat ini,” ucap Diana dengan suara bergetar menahan tangis.

Ari mendongak, menahan gemuruh emosi yang siap ia muntahkan kapan saja, tetapi dia masih memiliki urat malu dan rasa sayang untuk tidak membentak Diana di kafe yang saat ini penuh pengunjung. Mereka bahkan beruntung berada di sudut sehingga hanya beberapa orang saja yang mendengarnya berteriak tadi.

“Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan, tetapi aku tidak akan pergi begitu saja. Sampai kapan pun aku akan terus menunggumu, dan ... beri aku waktu untuk bersamamu lebih lama lagi sebelum kau benar-benar membuat jarak denganku.”

Diana menatap Ari saat mendengar permintaan terakhir pria itu, dia menimbang-nimbang untuk menerima atau menolak. Akhirnya Diana mengangguk untuk menyetujui sedangkan Ari tersenyum samar mendapat persetujuannya.

“Aku hanya bisa memberi waktuku hari ini saja,” imbuhnya.

Ari mengangguk paham. “Baiklah, kalau begitu biarkan aku yang membawamu jalan-jalan. Apa kau keberatan? Ini tidak akan lama,” katanya memastikan.

Diana mengangguk lagi dan Ari langsung berdiri serta menggamit tangan Diana. Gadis itu menurut dan mereka meninggalkan kafe. Dari ekor matanya, Diana dapat melihat kedua pria yang tadi mengikuti sudah tidak ada di bangku mereka tadi duduk. Itu artinya mereka sudah pergi meninggalkannya. Diana merasa lega, kali ini tidak akan ada lagi yang mengawasi setiap hal yang ia lakukan.

Ari membawa Diana ke pantai. Pria itu hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Diana tanpa banyak mata yang melihat mereka, dan pantai adalah pilihan yang tepat. Selain memiliki view yang indah, tempat itu juga sangat romantis jika kau bisa merasakan sisi romantismenya saat bersama seseorang yang kau cintai di sekitarmu.

Diana memilih untuk membuka flat shoes-nya dan membiarkan kaki telanjangnya tenggelam dalam pasir putih sepanjang jejak-jejak yang ia buat selama berjalan menyusuri pantai yang mengalunkan nyanyian ombak berbentur karang. Ari ikut mensejajarkan langkah di sebelah, pria itu juga melakukan hal yang sama. Bias sinar matahari menghangatkan pasir di bawah telapak kaki mereka, tetapi baik Diana maupun Ari tampak tidak peduli. Mereka terus menikmati suasana sekitar.

Ari menuntun Diana hingga mereka tiba di bawah pohon kelapa yang cukup tersembunyi di balik bebatuan keras di pantai sebelah barat dari arah mereka pertama datang tadi. Diana duduk di salah satu bebatuan dan yang dilakukannya hanyalah menikmati pemandangan di bawah kaki langit pada cakrawala yang dipenuhi burung pelikan dengan suara merdu membentuk irama debur ombak di bawahnya.

“Diana,” panggil Ari dengan suara sensual.

Diana menoleh dan mendapati tatapan Ari yang tampak menggelap. Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah Diana hingga tiada jarak di antara mereka, melihat keganjilan itu, Diana mencoba menghindar tetapi ternyata Ari menahan pinggangnya hingga tubuh mereka menempel dan membuat Diana menggeliat mencoba untuk melepaskan diri. Pria itu semakin mengeratkan rangkulan.

“Ari, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku?!” bentaknya dengan wajah menunjukkan ketidaksukaan, namun Ari tidak mendengarkan. Dia memaksa wajah Diana agar sejajar dengan wajahnya. Diana memberontak, dia memukul Ari agar pria itu menjauh, tetapi usahanya seolah sia-sia. Ari jauh lebih berkuasa atas dirinya.

“Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku! Ini tidak benar, kenapa kau melakukan ini?!” Diana masih berontak saat Ari mulai memaksanya dengan kasar untuk mencecap bibirnya.

“Diamlah! Aku hanya memanfaatkan waktuku bersamamu! Apa kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Sudah lama aku manahan diri agar bersabar menghadapimu, dan kau memintaku untuk meninggalkanmu sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan?” Ari balas membentaknya dengan wajah merah padam dan mata berkilat gairah.

Ingin rasanya Diana menangis mendengar kenyataan itu, dia tidak mengira pria yang ia percaya selama tiga tahun ini ternyata sama saja dengan pria brengsek di luar sana. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Ari yang dikenalnya memiliki sisi lain yang tidak ia kenal.

“Aku memercayaimu bukan hanya sebagai pria yang kukenal. Aku percaya padamu sebagai pria yang dapat membuatku bersandar, tetapi kau melakukan ini dan menghancurkan kepercayaanku begitu saja. Aku benar-benar membencimu!” Diana menjerit dan mendorong tubuh Ari sebelum akhirnya beranjak dari sana, namun ia kesulitan karena harus melewati bebatuan, sehingga langkahnya tersendat demi melompati satu batu dengan batu lainnya.

Ari mencengkarm tangannya sebelum Diana sampai ke tepian. Gadis itu terkesiap serta panik, dia menjerit kecil, namun suaranya kalah oleh gaungan ombak yang memecah udara.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Tidak sekarang!” ucapnya dengan seringai penuh kemenangan. Diana menggigil di bawah tatapan Ari. Dia mencoba melepaskan diri, namun gerakan memberontaknya membuat Diana terjerembab hingga kakinya terjepit di antara bebatuan dan rasa sakit menjalar dari pergelangan kaki hingga ke pinggang.

Ari hendak menyentuh bahu Diana, tetapi sebuah pukulan mendarat di pipinya hingga dia terhempas ke bebatuan yang ada di belakang. Punggungnya membentur batu dengan suara bedebum seperti benda jatuh. Ari menggelepar, menahan kesakitan akibat benturan, sekujur tubuhnya sakit luar biasa. Rasa marah menguasai hatinya, dia berusaha bangkit dengan susah payah, dan matanya menangkap sesosok pria tinggi dengan manik mata sebiru saphir. Rahangnya kokoh dan otot-otot bisepnya tampak menonjol di balik kemeja putih dengan dasi biru gelap bergaris biru terang.

Pria itu menatap Ari dengan kilat marah yang tidak ditutupi. Pandangan tajamnya menguliti Ari hingga membuat nyalinya menciut. Dia tampak gamang dan tak berdaya di bawah tatapan pria itu. Saat Ari hendak bersuara, terlihat dua pria mendekati mereka. Salah satunya berwajah Eropa dan satunya berwajah lokal. Mereka mengenakan kaus hitam dan celana jeans biru pudar.

“Urus pria itu dan bawa dari sini,” kata pria bermata biru saphir pada kedua pria yang berdiri di belakangnya.

“Siapa kalian?!” bentak Ari tidak terima saat kedua pria itu menyeret paksa dirinya menjauh dari sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status