Share

Tantangan Luna

MY WIFE'S SECRET

Part 5

Semua terdiam. Sepertinya larut dalam pikiran masing-masing. 

"Jadi makanannya dilihatin doang, nggak dimakan?" tanyaku untuk mencairkan suasana.

Semua seakan tersentak dalam lamunan. Entah apa yang mereka pikirkan. 

"Ya dimakan lah, Mas. Ayo semangat! Makan udah laper. Nggak usah ngurus hati dulu. Cacing udah memanggil," cerocos Luna. Dia mulai mengambil nasi untuk dimasukkan dalam piringnya.

"Semangat, timpal Mbak Mia.

"Mbak, ada soto kesukaan Mbak Risna," ujar Luna seraya meletakkan ke depan Risna. Adikku masih berusaha sopan dan menghargai Risna. Terlihat Luna lebih dewasa dibanding Risna.

Risna hanya tersenyum tipis, terkesan dipaksakan.

"Ini ada air dari pak ustad untuk Mas Ridwan dan Mbak Risna. Sudah dibacakan do'a supaya cepat punya momongan," ujar Luna.

Dia meletakkan dua gelas berisi air putih di hadapan kami.

"Kami nggak mau minum minuman yang di sembur sama orang. Banyak kuman, apalagi kecipratan ludahnya, amit-amit," ujar Risna seraya bergidik ngeri. Memasang wajah jijik.

Mbak Mia hanya senyam-senyum melihat kelakuan iparnya yang sok bersih dan higenies. Ibu terdiam, mengeleng pelan dan kembali sibuk dengan makanan di piringnya.

"Mbak itu air do'a untuk memperlancar sistem dalam tubuh, bukan pematah ajian pemikat atau semacamnya," celutuk Mbak Mia membuat Risna urung memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Aku tertawa mendengar ucapan Mbak Mia. Luna menatap Ibu yang sibuk dan terkesan abai dengan pembicaraan kami. Raut wajahnya sama sekali tidak ceria.

"Memang ada yang pakai ajian pemikat untuk suaminya?" tanyaku dengan alis yang saling bertautan.

"Ada lah, Mereka istri-istri yang takut suaminya lari ke pelukan wanita lain atau takut, perhatian suaminya terbagi untuk keluarganya," jelas Mbak Mia santai.

"Bisa minta tolong nggak, pembicaraannya dihentikan dulu. Makananya enak, jangan sampai gara-gara pembicaraan malah membuat nggak berselera," ujar Risna ketus.

"Siap Mbakku sayang," sahut Luna yang langsung diam tanpa bicara.

Kami menyelesaikan makan dengan perasaan dan raut wajah  bahagia. Tak ada pembicaraan sampai semuanya selesai makan. Risna pamit ke kamar ingin membersihkan badan. Gerah katanya, membuat Mbak Mia dan luna mulai menyerangku kembali.

"Makin kesini istri kamu makin aneh saja, Wan," ujar Mbak Mia pelan.

"Aneh gimana?" tanyaku.

"Sepertinya dia merahasiakan sesuatu dari kita," jawab Mbak Mia.

"Bener. Mas harus hati-hati sama Mbak Risna," timpal Luna.

Ibu hanya terdiam tanpa menjawab. Sibuk menjalin jemarinya satu sama lain. Ekspresi wajahnya menandakan dia memiliki tekanan pikiran.

"Ssstt!" Aku meminta mereka berdua untuk diam. Menunjuk ke arah Ibu yang menunduk.

"Apa benar Risna memakai KB agar dia tidak hamil anak kamu, Wan?" Pertanyaan Ibu membuat kami bertiga saling pandang.

Aku bangkit, berlari menuju kamar depan. Ternyata benar, Risna sedang mandi. Terdengar gemericik air dari dalam. Aku tak ingin pembicaraan ini terdengar olehnya.

Aku kembali menuju meja makan. Berarti Tisya mengungkap kecurigaannya pada Ibu. Sial, aku akan membuat perhitungan dengannya. Terlalu jauh mencampuri urusan keluargaku. Sebenarnya, apa yang dia mau? 

"Dari mana Ibu dapat fitnah itu?" selidikku seraya mengusap pundak Ibu pelan.

"Tisya yang mengatakannya kepada Ibu," ujar Ibu dengan hati-hati.

"Bu, semua itu fitnah. Alasan Tisya untuk kembali sama aku, Bu," kilahku pada Ibu.

"Ibu rasa Tisya tidak sepicik itu, Wan, bela Ibu.

"Iya, Luna rasa juga seperti itu. Mbak Tisya paham agama. Tidak mungkin seperti itu," tambah Luna. 

Kenapa semua membela Tisya? Sekian lama hubunganku kandas dengannya. Namun, dia tetap saja berpengaruh bagi keluargaku. 

"Wan, tolong kamu cari kebenarannya. Ingat ucapan Ibu, kamu pemimpin dalam rumah tangga. Jangan biarkan Risna mengendalikanmu," ucap Ibu pelan seraya mengelus dada. 

"Pasti, Ibu tenang saja. Apa yang Tisya katakan tidak benar. Wan janji akan mengarahkan Risna ke arah yang lebih baik," ucapku untuk menenangkan hati Ibu.

"Wan, jangan lupa pada Allah, Nak. Senantiasa minta petunjuk dari-Nya. Ibu hanya mampu membantu doa," ujarnya lagi seraya membelai kepalaku. 

Kukecup kening Ibu pelan. Merasa bersalah dengan kehadiran Risna. Namun, cintaku pada Risna terlalu dalam.

Mbak Mia membawa Ibu ke kamar. Aku bisa membaca raut ketidakpuasan dengan ucapanku di wajah Ibu. Selepas tubuh Ibu dan Mbak Mia hilang di balik tembok pembatas. Luna melanjutkan alibinya.

"Aku lebih yakin Mbak Risna pakai KB Implan daripada Mas yang mandul," ungkap Luna dengan wajah serius.

Aku mendengus kesal. Satu rumah mulai terpedaya dengan berita yang Tisya sampaikan. Aku yakin perubahan Mbak Mia dan Luna karena ulah Tisya.

"Jangan ngawur kamu, Lun," ujarku berusaha menahan kesabaran.

"Mas, kalau Mas masih menganggap Luna adeknya Mas. Dengerin kata-kata Luna. Ini semua untuk kebaikan Mas," desisnya.

Aku menjelaskan kepada Luna, jika aku tidak ingin masalah ini membuat hubunganku dengan Risna renggang. Apalagi hubungan Risna dengan keluargaku.

"Berarti Mas mau dibohongi seumur hidup sama istrinya Mas?" tanyanya dengan nada menghakimi.

Aku terdiam, tidak mampu menjawab. Kepalaku terasa sakit.  Tidak bisa berpikir. Hanya Risna dan Risna yang ada dalam pikiranku.

"Lakukan yang menurutmu terbaik," ucapku mengalah.

"Hubungi aku tanpa sepengetahuan Mbak Risna. Kita buktikan siapa yang sedang berbohong dalam kasus ini," ujar Luna dengan napas memburu.

"Mas yakin si Tisya kurang ajar itu yang berbohong. Bener kata Mbakmu dia itu nggak laku-laku," ketusku yang mulai berang dengan ulah Tisya.

Luna melayangkan tamparan pelan ke pipiku."sadar, Mas yang bersalah dalam kasus ini. Mas yang membuat Tisya seperti sekarang. Habis manis sepah dibuang. Mas kejam!"

"Aku Masmu, malah belain wanita sundal itu!" Aku mulai terpancing amarah.

"Mas, hati-hati bicara. Mbak Tisya wanita sholehah. Sekarang kita buktikan kebenarannya, jangan sampai Mas menyesal dengan keputusan Mas," ketus Luna yang tak sabar dengan sikapku.

"Baik, akan kita buktikan. Awas jangan sampai jagoan kamu kalah. Tentunya akan sangat memalukan," ledekku seraya bangkit menuju kamar. Meninggalkan Luna dengan mulut ternganga lebar dengan ucapanku.

"Mas, kita pulang sekarang. Aku nggak mau kesini lagi. Mereka semua jahat," Risna membanting tubuhnya atas ranjang. Dia mulai terisak. Kututup pintu erat. 

Aku duduk disisi ranjang. Membelai pucuk kepalanya. Memberi alasan yang baik dan tidak menyudutkan keluargaku.

"Aku ingin pulang," jeritnya tertahan.

Aku meraih tubuhnya. Mengangkatnya perlahan. Lalu, memangkunya penuh cinta. 

"Satu hal yang Mas ingin dari Adek, hanya satu. Tolong akur dengan keluarga Mas. Mereka hanya mau yang terbaik untuk rumah tangga kita." Hal yang berulang kali aku ucapkan padanya. 

"Tidak akan pernah. Selama mereka masih menganggu hubungan kita. Aku nggak akan pernah sudi beramah-tamah dengan mereka," hardik Risna egois.

"Kamu salah, ubah pandangan Adek tentang keluarga Mas. Tolong!" pintaku dengan wajah memelas.

"Kita pulang. Aku tidak mau bicara lagi," ketusnya. 

Setelah Risna mengenakan pakaian kami meminta diri untuk pulang. Hawa rumah sudah tak bagus lagi untuk Risna. Aku tak sanggup menghadapi kemarahan yang membabi buta. Setelah tes kesuburan itu keluar. Aku yakin, keluargaku akan kembali seperti semula. Sungguh hari ini, acara kumpul keluarga terburuk. Mereka semua berusaha menyudutkan Risnaku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status