Share

Mereka Curiga

MY WIFE'S SECRET

Part 4

Aku terdiam, dari mana Luna tahu, jika Dhanu Bratayuda adalah sahabatnya Risna. 

"Sepertinya," jawabku asal. Karena Risna yang mengajakku ke tempat Dokter Dhanu.

Inisiatif Risna mengajakku ke praktik sahabatnya. Aku tidak tahu menahu perihal yang di lakukan oleh Risna dan dokter tersebut. Aku hanya mengikuti rangkaian yang dokter tersebut minta.

"Mas ketempat praktiknya, 'kan?" selidik Luna.

"Iya, benar," jawabku.

"Gawat," gumam Luna seraya meremas lenganku.

"Gawat kenapa, Lun?" tanyaku bingung.

"Mas, Luna saranin Mas tes di tempat lain. Ada desas-desus dokter Dhanu dipecat dari rumah sakit, karena membantu memalsukan hasil test kesehatan pasien," bisik Luna seraya melirik ke arah depan.

Jenak-jenak kebisuan kembali tercipta. Aku berusaha mencerna dengan baik ucapan Luna. Dia juga menjelaskan tentang sepak terjang Dhanu juga sudah dipecat dari rumah sakit. Sekitar lima tahun yang lalu, dia membuka praktiknya tanpa ijin.

"Aku takut, hasil tes kesehatan Mas juga dipalsukan," ujar Luna. Ucapannya membuat jiwaku terguncang. Apa yang terjadi sebenarnya?

Aku bingung dengan ucapan Luna. 

"Untuk apa Dokter Dhanu memalsukan hasil tes kesuburan, Mas. Mamfaatnya untuk dia apa?" tanyaku pada Luna.

Mbak Mia menjitak kepalaku kasar, hingga membuat Luna tertawa terpingkal-pingkal.

"Punya otak tu dipake dong, manfaatnya bukan untuk dokternya tapi untuk Risna, Wan," ujar Mbak Mia seraya mengertakkan kedua giginya.

"Wan nggak ngerti, Mbak," ujarku polos.

Mbak Mia dan Luna melongos kesal. Keduanya memukul dan mencubit anggota tubuhku berbarengan.

"Ssst! Jangan ribut, didengar Ibu dan Risna," ujarku mengingatkan.

"Bisa saja, Mas dimamfaatkan oleh Mbak Risna." Luna berspekukasi dengan pikirannya. 

"Dimaanfaatkan bagaimana?" 

Mbak Mia memasang wajah kesal. Sungguh, aku masih bingung dengan maksud keduanya.

"Otak kamu lemot, makanya Risna menang selalu. Akan tetapi, kalau sampai Risna memalsukan hasil tes kesuburan kamu. Dia sudah keterlaluan. Tambah nggak suka sama dia," keluh Mbak Mia untuk pertama kalinya.

"Sama, Luna juga nggak mau hormat sama dia lagi. Padahal kemana-mana lebih Mbak Tisya."  Luna tidak mempedulikan raut wajahku saat dia membandingkan istri dengan mantan kekasihku.

"Udah, jangan sebut nama dia lagi," ketusku nggak suka. Bisa bahaya, jika Risna mendengarnya.

"Sorry, kenyataan yang terbantahkan, Mas. Ayo, open your eyes!" Luna masih mempertahankan ucapannya. Dasar kesar kepala. Umpatan yang hanya terlontar dalam hati, hanya sampai tercekat di tenggorokan.

"Benar, Wan. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Perbaiki masa depanmu," ujar Mbak Mia bijak seraya menepuk pelan pundakku.

"Baik, Mbak. Doakan Wan sanggup menjalani ini semua," balasku pelan.

"Ada apa, kok tegang kali." Suara Risna membuat Mia dan Luna kembali ke aktivitasnya.

"Entah tu Mas Ridwan, mau program bayi tabung katanya. Kebelet punya bayi, tuh," cerocos Luna asal.

Aku bisa melihat ekspresi terkejut dari wajah Risna. Tatapan matanya seakan meminta penjelasan padaku. Aku mengeleng pelan ke arahnya. Mengisyaratkan untuk tetap tenang.

"Iya, Ris. Ridwan ingin punya bayi. Gimana kalau kalian tes kesehatan. Biar tahu keluhannya, terus mudah pengobatannya," sambung Mbak Mia membuat wajah Risna memerah.

Aku menariknya ke dekatku. Memintanya untuk tenang. Maksud dari saudaraku baik. Tidak maksud menyudutkannya. Ekspresi Risna sangat tidak bersahabat. Emosinya mulai melonjak kembali.

"Ibu setuju," celutuk Ibu dari arah depan.

Tatapan Risna semakin tajam ke arahku. Penyerangan sedang terjadi. Aku belum menyiapkan amunisi untuk membalas setiap Pertanyaan mereka. Aku tak menyangka hari ini sangat berbeda dengan sebelumnya.

"Baik, nanti Risna hubungi sahabat Risna. Kami akan melakukan tes kesuburan," jawab Risna dengan senyum terpaksa. Degup jantungku bertalu. Aku akan kesulitan mengendalikan Risna setelah ini.

"Nggak usah Mbak, Luna akan membuat janji dengan dokter kenalan Luna. Dia sudah terlatih dan terbukti sepak terjangnya," sahut Luna yang sibuk menata makanan yang sudah matang di atas meja.

Risna mencubit pinggangku kasar, sampai aku terlonjak kaget. Keluargaku sampai menatap heran ke arahku.

"Ndak apa, Lun. Mbakmu sudah terbiasa sama dokter Langanannya," ujarku meredakan suasana. Terkesan, membela Risna. Supaya, keadaannya tidak semakin runyam.

"Oooh! Ya sudah, tapi nggak salahnya cek beberapa tempat biar akurat," pancing Luna lagi. Aku terpaksa melotot ke arahnya. Luna kalau sudah bicara, sulit untuk diam. Sudah menjadi kebiasannya.

Aku bisa memastikan Risna sedang tidak baik-baik saja. Dongkol dan kesal sedang menguasainya. Aku mengarahkannya ke kamar. Meninggalkan keluargaku yang masih sibuk dengan kegiatannya. Anak-anak sedang bermain di taman belakang. Mereka semua terlihat akur satu sama lain.

Sesampai di kamar, Risna langsung mengeluarkan unek-uneknya. 

"Mas kita pulang," rengek Risna dengan bergelayut manja di lenganku.

Aku menenangkannya, meminta untuk tenang. Kepulangan kami tiba-tiba akan meninggalkan luka di hati Ibu. Hal yang tidak sanggup aku lakukan. Ibuku adalah surgaku, tempat meraih surga-Nya

Pikiranku berkecamuk. Kenapa semakin ke sini, keraguan tentang hasil tes itu mulai menguasai hatiku. Informasi simpang siur tentang Dokter Dhanu. Sukses membuat kepala berpikir keras.

"Mas ... Mbak! Makan yuk!" teriak Luna dibalik pintu.

"Jangan cemberut lagi, mereka tidak bermaksud melukai hatimu. Maksud mereka baik untuk kebahagian kita," bujukku pada Risna yang sedang merajuk.

Aku membopong tubuhnya dari ranjang. Menurunkannya di depan pintu. "Jadilah menantu yang terbaik untuk Ibu."

"Meskipun Ibu tidak bisa menjadi mertua yang baik untukku?" tanya Risna dengan sorot mata kesal.

Terpaksa menarik napas kasar. Dia selalu beranggapan, jika Ibu tidak menyukainya. Padahal, Ibu selalu berusaha menjalin hubungan baik dengannya.

"Siapa bilang Ibu nggak suka, kalau nggak suka dia nggak meluk dan cium kamu," belaku.

"Tadi dia tuh ceramahin aku, suruh aku pake hijab, baju longgar. Ogah!"

"Kalau nggak mau ya nggak dilakuin. Dengerin saja, biar Ibu senang," tukasku lembut. Mengecup bibirnya pelan. Hal itu tidak bisa membungkam mulutnya yang terus berbicara.

"Ibunya Mas senang, aku nggak senang nggak Mas pikirin," gerutunya membuat denyar-denyar dikepala terasa menyiksa.

"Astaghfirullah, Istighfar kamu. Apa yang Ibu sampaikan untuk kebaikan kita. Kalau kamu ngga suka, diam saja. Karena omongan kamu itu juga tidak benar," ujarku terpaksa. Semakin lama, dia semakin melunjak.

"Mas nggak sayang lagi padaku," lirihnya dengan nada sedih. Aktingnya di mulai. Dia sangat tahu dengan keadaanku yang tak bisa melihat air mata di wajahnya.

"Udah, kita makan dan pulang," ujarku seraya menyeka air mata di wajahnya.

Beberapa menit terbuang sia-sia. Hanya untuk menenangkannya. Terkadang, aku tak sanggup dengan keadaan sepetti ini. Otakku rasanya mau pecah.

Aku mengenggam tangannya erat. Membuka pintu, melangkah menuju ruang makan.

Kutarik kursi untuk Risna. Wajahnya masih kusut, tanpa senyum. Sama sekali tak bisa menjaga perasaan Ibu.

"Risna sakit?" tanya Ibu pelan.

Risna hanya mengeleng. Ibu tidak melanjutkan. Memilih diam, dia seakan sudah mengerti sifat buruk menantu perempuannya. Luna dan Mbak Mia saling pandang, kemudian, mengulas senyum kecut di sudut bibir mereka.

Semua sudah berada di meja makan kecuali anak-anak. Aku mengedarkan mata ke halaman belakang yang hanya bersekat kaca dengan ruang makan. Mereka melahap makanannya seraya duduk di atas rumput.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wan amjing dungu melebihi binatang. yokoh2 ceritanya kebanyakan dungu melebihi binatang kayak g punya otak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status