Share

Perdebatan

MY WIFE'S SECRET

Part 6

 

Mobil mewahku memasuki kediaman kami. Baru saja aku memarkir mobil, Risna turun tanpa sepatah kata pun. Sampai si kembar menanyakan perihal sikap Mamanya. Dalih kecapean menjadi alibi terbaik untuk anak-anak.

Aku meminta mereka turun dan beristirahat. Firasat mulai tak enak. Aku yakin, Risna sedang emosi dengan ulah keluargaku hari ini. Kesulitan terberat bagi pria untuk tetap adil antara istri dengan keluarga. Terlebih, Risna bagai bocah kecil saat berhadapan denganku.

Aku melangkah mengikuti anak-anak. Mempersiapkan jawaban terbaik untuk segala pertanyaan Risna. Tabiat buruknya senantiasa mempersulit hidupku.

Melangkah memasuki rumah yang kubeli dengan hasil jerih payahku. Kusapu seluruh sudut ruangan dengan netraku. Sungguh, ini semua tidak ada artinya, jika hati tidak tentram.

Menyeret langkah gontai menaiki tangga. Tujuan utama saat ini menuju kamar. 

Aku berdiri di depan pintu. Aku tahu, Risna berada di dalam. Berhenti sejenak, hati bimbang melangkah masuk atau pun pergi menjauh.

Kuraih gagang pintu dengan detak jantung yang mulai kencang. 

"Mas, aku nggak mau pulang lagi ke rumah Ibumu," ujarnya saat daun pintu terbuka. Bahkan dia tidak menungguku masuk ke dalam.

Aku terpaksa diam, mendengarkan ocehannya tanpa interupsi. Melangkah pelan mendekatinya dengan senyum terindahku.

"Mas pasti senang, 'kan?" tanyanya dengan nada meledek.

Aku mengusap wajah frustasi. Hal ini akan selalu terjadi setiap pulang dari rumah Ibu. Nasehat yang selalu kukatakan padanya sama sekali tidak menempel di otaknya. 

Aku meraih tubuhnya dalam dekapanku. Kukecup bibir sensualnya dengan penuh cinta. Menikmati sensasi yang membangkitkan hasratku untuk mencumbunya lebih mesra lagi. 

Namun sayang, dia tidak suka dengan perlakuanku. Bahkan, mengelap bibirnya dengan jemari-jemari lentiknya. Nafsu semakin merangkak naik. Kuredam sementara waktu, mencoba mendamaikan hatinya yang panas membara.

"Coba tenang dulu, kita selesaikan satu-satu. Kalau ngambek gini, bukan masalahnya selesai. Namun, nambah masalah baru," ujarku lembut seraya membelai pucuk kepalanya.

"Mas, bagaimana aku bisa tenang. Jika aku selalu salah di mata keluargamu," keluhnya seraya mengeratkan pelukannya.

Risna mulai menangis, padahal keluargaku tidak mengatakan hal yang buruk di depannya. Mungkinkah Risna tersinggung dengan ucapan keluargaku?  Apa mungkin dia menyembunyikan sesuatu dariku?

"Dek, keluarga Mas ingin yang terbaik untuk keluarga kita. Ibu juga menginginkan cucu dari mas. Apa itu salah?" tanyaku pelan. Takutnya pertanyaanku melukai hatinya. 

"Ya jelas salah. Mas yang tidak bisa memberikan keturunan. Bukan aku," jawabnya lantang. 

Risna mendorong tubuhku kasar. Dia membanting tubuhnya ke ranjang empuk yang menjadi pergumulan erotis  penuh kenikmatan.

Tuduhan yang menyakiti relung hati terdalam. Dimana aku merasa gagal menjadi lelaki.

Kutarik napas pelan, membiarkan oksigen mengisi paru-paru yang hampir kosong karena ucapan Risna.

Kujatuhkan bokong di sofa empuk di sisi jendela. Rambut menjadi tempat pelampiasanku saat ini. Andaikan dia bisa bicara, mungkin dia akan protes dengan kasarnya tangannku menjambaknya.

"Mas tidak mencintaiku!" jeritnya seraya melempar bantal ke arahku.

Dengan helaan napas kasar. Aku bangkit mendekat ke arahnya. Perlahan kubuka kemeja yang membalut tubuhnya. Lalu, kutarik pelan tubuh mungil yang selalu menjadi candu bagiku.

"Kata siapa? Mas mencintaimu, Dek," bisikku di telinganya. 

Aku menjalin jemariku dengan jemarinya. Mata indahnya menatapku tak suka. Arrgh! Ini terlalu berat. 

"Kalau Mas sayang sama aku, tentunya Mas tidak akan mengungkit masalah anak. Karena penyebabnya Mas bukan aku," protesnya dengan mata melotot. Hormatnya sebagai istri sama sekali tak terlihat.

"Dek, gimana kalau kita tes kembali. Siapa tahu tes waktu itu salah," tukasku dengan hati diliputi rasa takut.

Risna mendorong tubuhku, kali ini dia berkacak pinggang di hadapanku."bukankah kita sudah berjanji tidak membahasnya lagi?"

Terpaksa mengusap wajah frustasi. Tak ada tawar-menawar berbicara dengannya. Hal yang membuatku lelah dan hampir menyerah. Namun, rasa cinta bertahta di hati membuatku tak sanggup jauh darinya.

"Iya, nggak di bahas lagi. Tolonglah jadi istri solehah untuk Mas," pintaku. Berbicara dengannya harus pelan dan yang paling penting aku yang mengalah. Tidak peduli dia salah atau tidak. Sifat buruk yang harusnya dia buang. Namun, dia simpan menjadi kebiasaan.

"Mas aku sudah menjadi istri yang baik untuk Mas," sahutnya cepat.

Risna bangkit dan berputar di hadapanku. Dia mengandalkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk menarikku. Aku hanya mengeleng pelan seraya beristighfar dalam hati. Aku terlalu memanjakan Risna.

"Dek, kebutuhan Mas bukan di ranjang saja. Mas butuh makan. Penampilan mas butuh diperhatikan. Kenzi dan kenzo juga butuh perhatian Mamanya," keluhku untuk pertama kali.

Dia menatapku kejam, laksana harimau ingin menerkam mangsanya."begini nih, kalau udah pulang ke rumah Ibu. Mas itu nyebelin."

"Ini tidak ada sangkut pautnya sama Ibu, Dek. Tolong jangan kaitkan Ibu dalam masalah kita," belaku. Tentunya setiap Ibu akan mengingikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Mas, aku tidak mau mendengar apa pun lagi tenang masalah anak. Masalah perhatian atau apa. Selama Ini Mas nggak pernah protes. Sembilan tahun kita sudah bersama. Semuanya baik-baik saja," bebernya dengan napas ngos-ngosan. 

"Dek, Mas malas berdebat sama Adek. Kalau Adek sayang sama mas. Adek tu kudu berubah ke arah yang lebih baik," pungkasku seraya berlalu dari hadapannya.

Aku berjalan menuju balkon. Pendingin dalam ruangan serasa tak berfungsi. Terpaan angin sore menyambutku hangat. Risna tak pernah berubah, keras kepala, egois dan childish. Sifat yang melekat erat dalam dirinya.

"Mas! Aku belum selesai bicara. Selalu gini! Aku mau masalah ini selesai." Risna mencekal pergelangan tanganku. Kukunya mengores kulit. 

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," ujarku datar. Berharap dia diam dan mengalah sejenak.

Risna melepaskan cekalan tangannya. Dia mengumpat dan memaki sesuka hatinya. Terkadang terbesit dalam hati, istriku bak anak kecil yang semua keturunanya harus dituruti.

Dikantor dia terlihat dewasa dan berwibawa. Berbanding terbalik dengan sikap dia di rumah.

Kunikmati angin sore yang memainkan dedaunan sesuka hati mereka. Langit berwarna jingga mulai mengantikan awan biru. Tak ada yang abadi, semua akan datang dan pergi.

Aku mendonggak menatap langit tanpa tiang. Namun, tetap berdiri kokoh, tanpa bantuan. Kuasa Allah yang tak mampu terpikir oleh manusia. 

Beragam pikiran mengintari kepala. Menciptakan denyar-denyar yang menyiksa. Apakah ini Karma atas perlakuan burukku pada Tisya? Batin dan jiwa mulai tak tenang. Rasanya semakin menyebar dan terasa nyata.

Apakah Ibu balasan durhakaku pada Ibu? Arrghh! Tak bisakah pikiran-pikiran yang membuatku semakin masuk ke dalam benak kusut enyah dalam otakku? Aku tidak salah, aku memilih jalan hidupku sendiri. 

Ah! Aku menyugar rambut frustasi, tatapanku mulai kosong dan hanyut dalam lamunan.  

Ketika aku kembali ke dunia nyata. suara Risna tak terdengar lagi. Aku menoleh ke dalam. Risna terbaring di atas ranjang. Posisinya tidak bergerak, sepertinya dia tertidur karena  kelelahan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status