Share

Istrimu Pantas Diganti

            Sorot mata Linda semakin menantang, aku jadi terpancing. “Kamu ambil saja Mas Hangga jika bisa. Akan kupastikan kamu yang menangis karena dia tak akan meninggalkanku!” Tanpa merasa takut aku membalas tantangan Linda. 

Sementara itu, Ibu Mertua menarik tangan Linda dan membawanya menjauh dari hadapanku. “Sudah, tak usah diladeni. Kami sekeluarga mendukungmu,” bisiknya pada Linda. Aku dapat mendengarnya bicara seperti itu meski jarak kami kini sudah lumayan jauh.

***

Tanganku sibuk memasang sprei di kasur yang akan ditiduri Linda malam nanti, dia akan menginap. Meski berat hati, aku tetap membereskan kamar tamu untuknya demi memenuhi perintah Ibu Mertua. Sambil bekerja, pikiranku terus berkecamuk tentang rencana pernikahan Mas Hangga dan Linda seperti yang selalu diperbincangkan seluruh anggota keluarga akhir-akhir ini. Tentu saja hatiku pun hancur berantakan, dan aku harus tetap waras dalam keadaan seperti ini. 

“Sedang apa?” Mas Hangga mengagetkanku dari ambang pintu.

“Mas? Kau sudah pulang, rupanya.” Kulirik jam di dinding menunjuk ke angka empat. “Maaf, aku sibuk membereskan kamar ini dari tadi, jadi aku lupa kalua ini sudah jam empat sore, waktunya kamu pulang,”

“Tak apa. Tapi kamu bereskan kamar ini untuk siapa?”

“Linda akan menginap malam ini, Mas,” jawabku, berusaha tenang. Padahal dengan menyebut nama perempuan itu saja, hati ini sudah merasa hancur. Apalagi jika teringat bahwa dia akan menikah dengan suamiku!

Sekilas kulihat Mas Hangga salah tingkah dengan jawabanku. “Ada apa dia menginap di sini? Tumben?” 

“Jangan pura-pura tak tahu. Linda itu calon istri keduamu, kan?” Dengan sinis, kujawab pertanyaan bodoh suamiku itu, dan dia hanya terpaku mendengarkan.

“Ja—jadi kamu sudah tahu?” tanyanya terbata.

Aku mengangguk. “Sejak dari pertama kalian merencanakannya! Bahkan kamu dan ibumu sering curhat ke Linda pun aku tahu, Mas! Kalian mengeluhkan segala kekuaranganku pada Linda, seolah aku ini tidak berguna, seolah aku ini tidak pernah berbuat baik pada kalian!” Suaraku agak tertahan saat berbicara, dadaku terasa sesak jika mengingat kelakuan mereka di belakangku.

“Ta—tapi—”

Belum sempat Mas Hangga melanjutkan bicaranya, aku langsung meninggalkan dia di kamar tamu. Buru-buru kulangkahkan kaki ke loteng sambil membawa satu keranjang penuh cucian kotor, air mataku menitik setetes demi setetes. Biarkan saja Mas Hangga bermain dengan pikiran dan perasaannya sendiri, aku yakin dia sangat kaget dan merasa tak tenang saat ini. Terlihat dari ekspresi wajahnya waktu kutinggalkan dia barusan.

            Setelah menyimpan keranjang berisi cucian, aku langsung turun lagi ke lantai bawah hendak menyiapkan air hangat untuk mandi Mas Hangga, sekaligus masak menu sederhana untuk makan sore suamiku itu. Namun, begitu tiba di lantai bawah, Ibu Mertua menyuruhku naik lagi ke loteng, dia menyuruhku melanjutkan cuci baju.

            “Jangan numpuk-numpuk cucian kotor, Mama gak suka. Nanti baunya susah hilang kalau ditumpuk lama-lama!” kata Ibu Mertua.

            “Sebentar saja, Ma. Aku mau nyiapin  air hangat dan makan sore untuk Mas Hangga,” kataku. 

            “Tidak usah. Sudah ada Linda yang mengerjakan tugas itu. Dia kan calon istri Hangga, jadi tak apa dia belajar melakukannya dari sekarang.”

            Tanpa berusaha protes, aku langsung naik lagi ke loteng. Meski sebenarnya aku tak terima dan ingin sekali mengutarakan keberatanku pada Ibu mertua, namun aku harus pura-pura tak peduli Linda melakukan tugas seorang istri untuk suamiku. Aku tahu, Ibu Mertua hendak memancing emosiku agar aku rebut dengannya dan didengar Mas Hangga. Dengan begitu, Mas Hangga akan marah padaku dan menilaiku pantas dipoligami.

Kumasukkan separuh isi keranjang ke mesin cuci, kuputar tombol ‘cuci’ dan seketika suara mesinnya begitu nyaring di telinga. Bahkan aku masih harus mengerjakan pekerjaan rumahtangga meski sudah sore begini. Di saat anggota keluarga yang lain mungkin sedang beristirahat atau sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, namun aku harus mengurus segala keperluan mereka. 

Menjadi istri dan menantu di keluarga ini memang sudah menjadi jalan takdirku. Aku menikah dengan Mas Hangga karena permintaan ibuku. Ya, memang aku pun mencintainya sudah sejak lama, saat Mas Hangga masih menjadi pacar Linda waktu itu. Ibu yang tahu tentang perasaanku, langsung iseng menceritakan semuanya pada Mas Hangga ketika Mas Hangga jajan di kedai gorengan Ibu. Mendengar cerita Ibu, Mas Hangga yang saat itu baru saja putus dari Linda, langsung merespon dengan baik, dia bilang akan melamarku dalam waktu dekat hingga sekarang kami resmi menjadi suami-istri.

“Mirna!” Suara Uwak Halimah berbisik memanggil dari belakang punggungku. “Cepat matikan mesin cucinya!” tambahnya lagi.

“Tapi ini belum selesai.”

“Biarkan. kamu di sini bukan pembantu. Biarkan pekerjaan itu dilanjutkan besok pagi.”

Dengan tergesa, Uwak Halimah langsung menarik tanganku hingga kami tiba di ujung tangga. Dari atas sini dapat kulihat Linda tengah menyiduk nasi untuk Mas Hangga. Jantungku rasanya mau copot melihat adegan ini! Apalagi saat kulihat ekspresi Mas Hangga pun malah biasa-biasa saja, dia sama sekali tak merasa risih. 

“Kamu cemburu, kan?” kata Uwak Halimah, pelan.

Aku diam sejenak, mengatur emosi. Tak tahu apa maksud Uwak Halimah bertanya seperti itu, apakah untuk memancing emosiku atau memang dia benar peduli padaku.

“Kalau kamu mau menyingkirkan Linda dari rumah ini, Uwak bisa bantu kamu!” katanya.

“Ma—maksudnya?”

“Uwak juga gak suka sama Linda. Uwak gak mau dia jadi menantu di rumah ini.”

“Te—terus?” Aku semakin gugup dengan apa yang ada di pikiran Uwak saat ini.

Kemudian Uwak Halimah membisikkan sesuatu di telingaku dan itu membuatku sangat takut! Mendadak aku berlari menuruni anak tangga sambal berteriak, hingga tak sadar sudah berada di dekat meja makan. Aku berdiri mematung ketika Linda, Ibu Mertua, dan Mas Hangga—yang tengah menyantap hidangan—melihatku dengan tatapan kaget sekaligus marah. 

Ya, saat Uwak Halimah berbisik bahwa dia sudah menaruh racun di makanan Linda tadi, membuatku terkejut sekaligus takut hingga aku refleks berlari menghindarinya dan sekarang aku berada di hadapan Ibu Mertua, Linda, dan Mas Hangga dengan keadaan salah tingkah juga malu! 

Ibu Mertua berdiri dari duduknya dan menatapku tajam dengan sorot mata penuh amarah. “Kenapa kamu?!” katanya setengah berteriak.

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan mertuaku itu. Mas Hangga dan Linda menatapku penuh keheranan. Sementara itu, dari atas loteng aku dapat mendengar suara cekikikan Uwak Halimah. 

“Sialan! Rupanya Uwak mengerjaiku supaya aku terlihat bodoh di hadapan Linda!” batinku.

Kedua tanganku sudah mengepal. Kesal, jengkel, dan marah karena lagi-lagi aku dijadikan bahan olokan di keluarga ini!

“Jawab!” tambah Ibu Mertua saat aku hanya diam saja dari tadi.

Suara cekikikan Uwak Halimah kini berubah menjadi suara tawa terbahak-bahak. Linda, Ibu Mertua, dan Mas hangga menatap ke atas loteng kemudian mereka geleng-geleng kepala.

“Oh … kamu habis dikerjain sama Kak Halimah, ya!” kata Ibu Mertua, langsung mengerti dengan apa yang terjadi.”Kenapa sih, kamu gampang banget dikerjain, Mirna?” lanjutnya dengan nada mengejekku.

Aku masih diam, tidak menjawab apa-apa.

“Iya, dipake dong otaknya biar gak gampang dikerjain,” Kini giliran Linda yang berkomentar, dia mendelik padaku kemudian bicara pada Mas Hangga. “Istrimu payah, gampang dibodohi, emang pantas diganti sih istri kayak gitu,” katanya.

Darahku seketika mendidih hingga ubun-ubun!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status