Share

Maaf, Aku Bukan Orang Kaya
Maaf, Aku Bukan Orang Kaya
Author: Widanish

Salahku Bukan Orang Kaya

Hancurnya rumah tanggaku berawal dari curhat. Kebiasaan Ibu Mertua yang selalu menceritakan segala kekuranganku kepada Linda—mantan kekasih suamiku—membuka jalan bagi perempuan itu untuk masuk ke dalam kehidupan pernikahanku bersama Mas Hangga.

“Salah apa sih, si Mirna itu, Ma?” tanya Linda kepada Ibu Mertua pada saat aku pergoki mereka tengah membicarakanku di rumah. Aku baru saja pulang dari pasar, membeli sayuran dan bahan masakan lain untuk acara kumpul keluarga lusa.

“Salahnya Mirna itu cuma satu, karena dia bukan orang kaya! Andai saja dia orang kaya, Mama bisa terima dia meskipun dia mandul. Tapi karena dia orang tak berpunya, Mama jadi berpikir seribu kali untuk mempertahankannya sebagai menantu. Apa yang akan Hangga dapatkan darinya nanti? Keturunan? Harta? Tidak mungkin Mirna bisa memberikan semua itu. Dia anak yatim yang Hangga nikahi, dan malah menjadi beban bagi keluarga ini. Mirna tidak bisa memberikan perubahan apa-apa pada kami,” jawab Ibu Mertua.

Aku memundurkan langkahku ke balik dinding pemisah antara dapur dan ruang tengah, bersembunyi untuk menguping percakapan mereka lebih lanjut meskipun rasanya sangat menyakitkan. Wajahku mulai terasa panas diiringi basah di pipi akibat air mata yang terus berjatuhan. Percakapan mereka jelas terdengar sebagai hinaan untuk diriku. Ingin rasanya tangisan ini kuiringi dengan teriakan sekencang-kencangnya, namun aku harus menahan diri di tengah kekacauan perasaan ini demi menjaga agar mereka tak mengetahui bahwa aku tengah menguping.

“Kasihan, Ma. Jangan segitunya sama Mirna,” balas Linda. Rupanya perempuan itu punya belas kasihan juga padaku, meskipun kutahu itu hanyalah pura-pura, karena baru saja kemarin dia terang-terangan mengirimiku inbox yang isinya dia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Mas Hangga Kembali.

“Mau bagaimana lagi? Seluruh anggota keluarga sudah membicarakan permasalahan ini dan kami sepakat untuk mengembalikan Mirna pada ibunya. Hangga juga akhirnya setuju setelah dibujuk. Lagipula, kasihan kalau rumahtangga mereka dipertahankan, Mirna akan tersiksa mental dan batinnya karena keluarga menerima keberadaannya setengah hati. Apalagi, rencana kami untuk menikahkan Hangga denganmu itu sudah bulat, Linda. Janganlah sok merasa kasihan pada Mirna, kamu juga mengharapkan mereka berpisah, kan?” Ibu Mertua menjawab perkataan Linda dengan kalimat yang begitu menusuk jantung. Kemudian mereka tertawa, terdengar seperti sedang mengejekku.

Lemas terasa kedua lutut ini, pertahananku akhirnya roboh juga. Aku terduduk di lantai dengan tiga keresek besar berisi belanjaan yang baru saja kubeli dari pasar. Benar kata Linda, malang benar nasibku ini, menjadi istri dan menantu di keluarga yang setengah hati menerimaku, membuat posisiku tidak penting di tengah-tengah keluarga ini. Aku hanya dijadikan pelengkap saja, untuk melayani semua keperluan mereka. 

Aku tidaklah mengatakan bahwa aku dijadikan ART di sini, aku hanya mengungkapkan apa yang kurasa, bahwa keberadaanku di sini tidak begitu berarti bagi mereka. Aku yang selalu mengambilalih tugas pekerjaan rumahtangga, apalagi jika keluarga besar datang berkunjung, maka akulah yang selalu ditugasi Ibu Mertua untuk melayani mereka, meskipun ada menantunya yang lain di rumah ini.

Di rumah ini tinggal tiga keluarga, yaitu Ibu dan Bapak Mertua, Uwak Halimah, dan aku bersama Mas Hangga. Kami adalah keluarga besar dan terbilang kaya raya. Ketiga anak Ibu Mertua sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Sedangkan Mas Hangga—suamiku—adalah anak bungsu, jadi Ibu Mertua tak mengizinkan kami tinggal pisah rumah dengannya.

Pernikahanku dan Mas Hangga sudah berjalan empat tahun. Aku memang belum dikaruniai keturunan, dan itu membuatku semakin tidak berguna bagi keluarga Mas Hangga. Meski dokter kandungan maupun bidan tidak pernah memvonis aku mandul, namun semua anggota keluarga selalu menuduhku mandul, padahal bisa saja Alloh belum memberikan kepercayaan padaku dan Mas Hangga untuk menjadi orangtua. Mereka hanya tidak bersabar menungguku bisa hamil, ditambah latarbelakangku yang hanyalah orang tak berpunya, membuat mereka semakin semena-mena terhadapku—berbicara dan bersikap semau mereka—tanpa mempedulikan perasaan dan harga diriku.

Memang, aku pun menyadari bahwa keturunan itu amatlah penting bagi kebanyakan keluarga, dan aku telah mengecewakan keluarga suamiku ini. Karena itulah, Ibu Mertua meminta suamiku untuk menikahi Linda. Aku sudah mengetahui rencana mereka sejak lama—hampir setahun mereka telah mengatur pernikahan Mas Hangga dan Linda secara sembunyi-sembunyi dariku. Meskipun cenderung tak pernah menghargai keberadaanku, namun rupanya untuk urusan yang satu ini mereka mempertimbangkan perasaanku juga. Mereka tahu aku akan sangat sedih dan sakit hati jika mendengar rencana itu. Karena itu pula lah, aku pun pura-pura tak tahu semuanya. 

Dan sejak mendapat lampu hijau dari keluarga Mas Hangga, Linda semakin terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Mas Hangga. Perempuan itu jadi sering main ke rumah, dan pulangnya dia selalu mengirimiku inbox yang menceritakan keluhan-keluhan Ibu Mertua padaku. Dari situlah aku sadar, Ibu Mertua ternyata sering curhat tentang kekuranganku pada Linda. Hal itu membuatku semakin down dan tidak merasa percaya diri. Meskipun begitu, aku tak pernah membalas inbox itu, aku tahu dia membocorkan kelakuan Ibu mertua hanya untuk memancing emosiku, agar aku bertengkar dengan mertuaku.

Brakkk!

Suara keresek belanjaan berisi dua kilogram kentang jatuh dan menimbulkan bunyi di lantai, membuat Linda dan Ibu mertua tersentak sekaligus mencurigai kehadiranku. Aku segera berdiri dan melengos ke dapur.

“Mirna, sejak kapan kamu datang?” Ibu Mertua menyusulku dan dengan ekspresi kaget bertanya padaku. Kulihat Linda juga berdiri di belakang Ibu Mertua—di ambang pintu dapur.

“Baru saja, Ma,” jawabku.

“Syukurlah kalau begitu. Kamu gak nguping, kan?”

“Nguping apa, Ma?” Aku pura-pura tidak tahu.

“Gak usah dibahas. Cepat bereskan saja sayuran itu dan simpan ke kulkas. Jangan lupa besok mulai masak untuk menyambut kedatangan anak mantuku yang dari kota. Setelah itu, rapikan kamar tamu, Linda akan menginap malam ini,” titah Ibu Mertua.

Kulihat calon menantu ibu mertuaku itu mendelik padaku, seakan mengejek karena merasa dirinya menang. Aku membalas delikan itu dengan tatapan tajam.

“Kasih tahu saja, Ma,” ucap Linda.

“Jangan, nanti dia nangis.

“Mau dikasih tahu sekarang ataupun nanti, toh sama aja, ujung-ujungnya bakal nangis juga!” Linda begitu sinis.

“Kalian tidak perlu memberitahuku apapun,” kataku lantang. “Aku sudah tahu semuanya, dan aku tidak akan menangis!”

Mereka tercengang mendengarku berkata lantang seperti itu. 

“Jadi, kau sudah tahu? Baiklah, kami tidak perlu repot-repot memberitahumu. Sekarang, kamu sadar kan kalau sebentar lagi posisimu akan tergeser olehku?” Linda melangkah mendekat, hingga dia berada dihadapanku melipat kedua tangan di dada. Sudah tak ada benteng diantara kami, Linda terang-terangan menyatakan permusuhannya denganku. “Kamu pilih bertahan tapi hanya sebagai istri tak dianggap? Atau mundur?” tantangnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status