Seketika aku langsung berlari ke kamar dengan menghentakkan kaki keras-keras ke lantai. Bukannya melawan ataupun membela diri di hadapan mereka, aku memilih pergi. Aku tak boleh gegabah dalam bertindak. Jika aku marah dan mengeluarkan kata-kata sedikit saja, mereka pasti akan menang karena itu akan dijadikan senjata untuk menyerangku balik di hadapan Mas Hangga, mereka akan berdalih aku ini suka melawan dan tidak sabaran sehingga pantas diceraikan. Menghadapi posisi seperti ini, aku memang harus banyak mengalah dan banyak sabar pada mereka.
“Mirna?”
Suara Mas Hangga mengejutkanku dari depan kamar, dia mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Cepat kutatap cermin dan mengusap air mata yang membanjiri pipi.
“Masuk saja, Mas. Tidak dikunci,” kataku, mengatur nada suara senatural mungkin agar tidak terdengar seperti orang habis menangis.
Mas Hangga mendekat dan mendudukkanku di tepi ranjang. Dia pun mengusap sisa air mata di pipiku. “Mas tahu bagaimana perasaanmu, dan kesulitanmu selama jadi istriku. Mas juga tahu bagaimana keluh kesahmu tinggal di rumah ini,” katanya pelan. “Tidak mudah, kan?”
Kepalaku sedikit pusing menebak kemana arah pembicaraan Mas Hangga.
“Sekarang, Mas mau bicarakan saja semuanya sama kamu, Mir,” lanjutnya.
“Mau bicarakan apa, Mas? Aku tidak pernah mengeluhkan apapun padamu selama ini, kan?”
“Kamu memang tidak pernah ngomong, Mirna. Tapi dari sikapmu jelas kelihatan kalau kamu terbebani memikul tanggungjawab sebagai istri dan menantu di rumah ini.”
“Itu semua karena sikap keluargamu, andai mereka baik maka aku pun akan betah di sini. Semua hanya butuh waktu, aku yakin suatu saat mereka akan menerimaku, Mas. Sudah, aku tak ingin bicarakan apapun tentang statusku di rumah ini. Aku akan jalani semampuku, sekuatku, Mas!”
Sengaja aku berkata seperti itu agar Mas Hangga urung membahas tentang perceraian. Aku tahu kemana arah pembicaraannya. Sejauh ini aku bertahan karena aku mencintainya, ada sesuatu dalam diri suamiku itu yang belum sempat kumiliki dan aku sangat ingin memilikinya, yaitu sifat baik dan dia bisa membimbing serta melindungiku, menjadikanku satu-satunya. Hanya saja, untuk mendapatkan itu semua, aku harus benar-benar mengambil hatinya dan menjadikannya utuh milikku.
“Mirna, jangan terlalu baik pada keluargaku. Mas tahu apa yang kamu rasakan dan kamu keluhkan meskipun kamu tak mengatakannya. Mas tak ingin dzalim lebih jauh lagi, sejauh ini kamu bersabar dan Mas hargai itu, Mas sangat berterimakasih padamu. Dan sebagai ungkapan rasa terimakasihku, Mas akan berikan kamu kesempatan dan izin seandainya kamu mau keluar dari rumah ini untuk sementara waktu,” katanya pelan, penuh kehati-hatian seakan takut melukai perasaanku.
Hatiku berdesir, apakah suamiku ini tengah mengusirku secara halus? Perceraian yang selama ini kuhindari, akankah terjadi? Aku sudah menebak bahwa kesuburanku yang dipertanyakan dan latar belakang keluargaku pada akhirnya akan mengantarkanku pada ujung tanduk pernikahan. Tapi apakah harus sekarang? Aku belum sempat memiliki hati dan seluruh cinta suamiku itu, yang selama ini kumiliki hanyalah raganya saja. Aku masih butuh waktu, ingin merasakan dicintai olehnya.
“Maksudmu apa, Mas? Mengusirku? Kemana aku harus pergi?” tanyaku. Dapat kurasakan kedua mata ini menghangat. Aku tak dapat melihat dengan jelas sosok Mas Hangga yang duduk di depanku karena terhalang oleh air mata yang menumpuk di sudut-sudut mata.
“Tidak, Mas tidak mengusirmu, Mas hanya memberikan kesempatan dan izin supaya kamu bisa menjalani hidup dengan lebih tenang. Kamu bisa pulang ke rumah ibumu. Tinggallah di sana, nanti Mas akan rutin jenguk kamu dan juga Ibu. Mirna, hari ini adalah hari terakhir Mas bekerja, Mas kena PHK.” Pelan, Mas Hangga menyentuh bahuku untuk memberikan rasa tenang dan meyakinkanku.
“Perasaanku gak enak Mas bicara seperti itu. Sehalus apapun kata-katamu, aku tahu sebenarnya Mas sedang mengusirku. Padahal, aku sudah bilang kalau aku akan bertahan sekuatku di rumah ini agar bisa bersama-sama denganmu, tapi kenapa kamu ngotot menyuruhku pulang ke rumah Ibu? Tak cintakah kau padaku, hingga keberadaanku di sini seperti mengganggu hidupmu padahal aku ini istrimu?”
Air mataku menetes seluruhnya dan kini penglihatanku kembali jernih, Mas Hangga menunduk menyembunyikan ekspresi sedihnya juga matanya yang memerah. Aku yakin ada yang disembunyikannya dariku.
“Turutilah kata-kataku,” katanya masih menunduk.
“Apa yang sebenarnya Mas sembunyikan dariku?” Aku menyelidik.
“Mirna, kamu sudah tahu semuanya kan? Rumah ini sedang tidak baik-baik saja, permasalahan keluarga ini hanya akan membuatmu tertekan. Mas hanya ingin melindungimu. Pulanglah, tinggal bersama ibumu.”
“Sampai kapan?” tanyaku.
“Mas tak dapat pastikan.”
“Semua ini karena Linda, kan? Mas mau meninggalkan aku dengan cara menyuruhku tinggal bersama Ibu?” Banyak pertanyaan menyerbu suamiku, namun dia berusaha tenang meski dapat kurasakan hatinya bergejolak juga. Ada sesuatu yang berusaha disembunyikan sekaligus ditahannya saat dia menunduk menghindari pandanganku.
“Percayalah, Mirna. Semua ini demi kebaikan kita bersama.”
Mas Hangga langsung beranjak pergi, meninggalkan segudang tanda tanya dalam benakku. Memang, permasalahan dalam rumahtanggaku di mana aku belum bisa memberikan keturunan dan juga masalah ekonomi karena Mas Hangga baru saja di-PHK dari kantornya membuat suasana di rumah ini semakin runyam. Tapi aku sama sekali tak pernah terpikir Mas Hangga akan menyuruhku pulang. Apakah hanya karena masalah itu dia menyuruhku pulang, ataukah ada alasan lain?
Ah, sungguh. Ekspresi suamiku barusan saat terakhir kulihat dia meninggalkanku membuatku kepikiran. Ataukah Mas Hangga sedang kelewat pusing dan banyak pikiran hingga tega menyuruhku pulang?
Pertanyaan ini semakin menumpuk, aku tak dapat lagi menampungnya dan harus segera kutanyakan pada Mas Hangga. Aku pun melangkahkan kaki hendak keluar kamar untuk mengejar Mas Hangga, meminta penjelasan atas semua hal yang menjadi pertanyaanku ini. Namun, baru saja aku membuka pintu kamar, kudapati Linda dan ibu mertuaku sudah berdidi di depan kamar. Mereka menenteng koper, semuanya berjumlah tiga buah koper dan langsung diserahkannya koper-koper itu padaku.
“Kemasi barang-barangmu, baju-bajumu juga. Mas Hangga sudah menyuruhmu pulang ke rumah ibumu, kan!” kata Linda dengan nada memerintah.
Sekilas terbersit keinginan untuk membalasnya, mencaritahu jawaban atas rasa penasaran di pikiranku namun kuurungkan saja. Meski tidak memblokir nomornya, tapi aku sudah bulat untuk menutup akses komunikasi dengannya.Aku pun menyimpan kembali ponselku ke tempat semula. Belum ada lima menit berselang suara notifikasi berbunyi lagi, kali ini sebuah panggilan suara dari Mas Hangga yang membuatku terperanjat. Ada apa lagi dia menggangguku di malam pengantinnya?! Bukankah dia sudah berbahagia dengan istri pilihannya?Jari jempolku ragu-ragu antara memijit tombol hijau atau merah. Hijau berarti menerima panggilannya, merah berarti aku tak mau menjawabnya.“Mirna, siapa yang menelepon malam-malam begini?” Suara ibu dari kamar sebelah menyadarkanku.Akhirnya kupilih membiarkan panggilan suara itu sampai dia berhenti sendiri.*Jam delapan pagi aku sudah berjalan lima langkah dari rumah, tujuanku adalah Mbak Murni. Ibu menyuruhku untuk datang ke sana membungkus keripik hari ini. Setelah tak b
Cepat kutepis pikiran serta ingatan tentang Linda sebelum pusing di kepalaku kembali kambuh. Kenangan di rumah Mas Hangga membuatku trauma, mengingatnya akan membuatku takut. Oleh karena itu, aku harus bisa melupakan semuanya dan kepulanganku ke sini adalah langkah awal menuju kehidupanku yang baru, yang apa adanya, jauh dari kemanipulatifan.Biarlah mereka pernah mengataiku sebagai orang yang polos, lugu, naif dan semacamnya. Selama ini aku hanya mengikuti kata hati yang menurutku benar, aku punya ketulusan walaupun itu mereka anggap sebagai kebodohan sehingga membuangku setelah habis manisku. Tapi lihatlah, suatu saat mereka akan menyadari nilai positif dalam diriku ini.Tak terasa semua wadah selesai kucuci. Karena kondisi hamil muda dan flashback ke masa lalu akhirnya kerjaku jadi lambat. Sebenarnya ibu melarangku untuk mengerjakan pekerjaan rumah, hanya saja aku tidak terbiasa berdiam diri, tak tahan lihat cucian menumpuk dan rumah yang berantakan.Suara pintu rumah dibuka dengan
Aku semakin tak kuat mengontrol emosi yang menguasai diri, kepalaku rasanya panas dan mau pecah. Tiba-tiba saja penglihatanku gelap dan tidak sadarkan diri. Hanya sayup-sayup suara beberapa orang di sekeliling yang masih dapat kudengar. Sepertinya sedang terjadi kepanikan.“Kamu sih ngomongnya sembarangan pakai nuduh Mirna hamil anak orang lain segala.”“Emang Mirna beneran Hamil? Kan aku cuma nebak. Enggak ngomong langsung nuduh gitu.”“Kayaknya bener hamil. Kemarin saya lihat dia keluar dari rumah bidan Elsa, terus barusan dia muntah hebat. Ya pasti positif hamil lah.”“Memang benar anak saya hamil. Hamil anak Hangga—suaminya, bukan anak orang lain. Selama ini gossip yang sampai ke telinga kalian menuduh Mirna mandul, ternyata Mirna tidak mandul. Buktinya dia hamil. Baru ketahuan kemarin sore setelah periksa ke bidan Elsa. Jadi, mulai sekarang jangan ada komentar miring tentang anak saya lagi ya, dia dicerai Hangga karena mereka kira Mirna mandul, bukan karena Mirna hamil anak orang
Meski aku menepisnya, namun dalam hati mulai tumbuh keyakinan bahwa aku benar hamil. “Besok Ibu akan beli testpack untuk memastikan. Kalau kamu benar hamil, Ibu akan pergi ke rumah mertuamu dan mengatakannya dengan lantang bahwa anak Ibu tidaklah mandul!” Binar bahagia di mata ibuku begitu bersinar hingga ia lupa bahwa semua sudah terlambat, aku sudah menutup pintu untuk Mas Hangga. Jadi seandainya benar aku hamil pun, itu tidak akan mengubah nasib rumahtanggaku. Namun biarlah Ibu dengan perasaan bahagianya sendiri. Aku memilih untuk beristirahat. *Hari ini pernikahan Mas Hangga dengan Linda digelar namun aku akan bersikap tidak peduli dan tidak mau tahu. Aku mendapati surat undangan di bawah taplak meja tempat ibuku menjajakan gorengan. Rupanya, Ibu Mertua memberikan surat undangan ini pada Ibu di hari kepulanganku dua hari yang lalu dan Ibu menyembunyikannya dariku, pantaslah pada saat itu Ibu menyambutku dengan perasaan bersedih. Dengan cepat kusimpan kembali surat undangan i
“Mbak Sri tahu apa soal jodoh? Itu rahasia Alloh. Jangan sok tahu,” balasku ketus kemudian melanjutkan langkah ke rumah Ibu.Sesekali, kurasa perlu untuk menjawab dengan tegas sindiran tak enak dari orang-orang seperti itu supaya mereka tahu bahwa aku bisa melawan dan tak akan diam saja. Menunjukkan sikap tegas agar orang lain tidak berbuat semena-mena terhadap kita adalah hal yang wajib dilakukan. Meski terancam menjanda, aku harus pandai menjaga harga diri.*“Tidak apa-apa. Kamu hanya anak penjual gorengan, sedangkan perempuan itu punya harta dan tahta. Tapi kalau soal wajah dan hati, insyaalloh masih menang kamu, itu modal utama dalam menjalani hidup yaitu dengan hatimu yang jujur dan bersih. Sedangkan harta dan tahta sifatnya hanya titipan, kalau suatu saat diambil sama Alloh ... maka yang tersisa cuma apa? Kamu jawab sendiri,” kata Ibu sambil menepuk pundakku.“Jeleknya aja,” balasku lalu diikuti gelak tawa dari kami berdua.Sehabis Isya aku menghampiri Ibu di kamarnya untuk men
“Berani kamu, ya—“ Mas Hangga melayangkan telapak tangannya di udara, hendak menampar pipiku yang tergenang setetes air mata namun aku segera menepis nya. Kutahan tangan kekarnya yang penuh amarah itu.“Kenapa aku harus takut? Selama ini aku diam karena masih menghargaimu. Tapi ternyata kamu sama saja dengan mereka yang menyembunyikan kebohongan dariku. Sekarang jawab pertanyaanku barusan, kenapa kau pakai uangku untuk memodali rencana pernikahanmu dengan Linda?” Aku menantang.Suamiku langsung mengatur napasnya yang memburu. Seumur menikah dengannya, baru kali ini ku lihat amarah begitu menyala dari wajahnya dan baru kali ini pula tangannya melayang hendak menamparku. Sungguh, dia kelewatan seperti itu saking ingin membela Linda daripada menenangkanku yang juga terbakar api cemburu.“Jangan banyak bertanya,” katanya agak menggeram karena amarah yang ditahan.“Aku harus bertanya, karena itu adalah uangku yang kau pakai untuk menyenangkan Linda, untuk meratukan dirinya!”“Kamu perhitun