Share

Bab 12

Author: Lucy Finston
Mata Amelia yang basah menatap langit-langit dengan pandangan tak berdaya. Dia menggigit bibirnya dan tak mau mengeluarkan suara.

Derren yang tak mendapat respons pun menggigit bagian kulit halus itu sebagai bentuk hukuman. Segera, bekas memar berwarna merah tua pun muncul.

"Ssh ...." Tatapan Amelia yang berkabut mulai sedikit jernih, tetapi dia tetap menggigit rapat rahangnya dan menahan diri agar tak bersuara.

Derren terus membangkitkan gairah di sepanjang jalan yang dilalui dan meninggalkan jejak-jejak merah di kulit wanita itu. Cincin logam di jari tangannya begitu dingin hingga membuat orang menggigil.

"Kalau di sini, pernah disentuh orang lain?" tanya Derren.

Mencium aroma harum yang familier di hidungnya, Derren akhirnya tak bisa lagi menahan gairah dalam dirinya. Dia membungkuk dan mulai beraksi. Suasana kamar dipenuhi nuansa panas dan penuh gairah.

Sepasang mata Amelia terlihat basah, seperti perahu kecil yang terombang-ambing di tengah lautan. Air mata mengalir diam-diam dari sudut matanya, tanpa suara dan membasahi bantal.

Malam itu terasa begitu panjang. Derren merasa sangat puas dengan kepatuhan wanita itu. Tanpa menahan diri, dia melakukan beberapa ronde tanpa henti.

Saat fajar menyingsing, Derren baru melepaskan kedua tangan yang mencengkeram pinggang ramping dan lembut Amelia, lalu membawanya ke kamar mandi untuk dibersihkan.

Amelia terlihat benar-benar kelelahan hingga bersandar lemas di bahu Derren. Rambutnya yang basah menempel di dahi yang pucat. Pipinya yang memerah terlihat begitu rapuh dan menyentuh hati.

Tubuh Derren kembali terasa panas, tetapi dia berusaha keras menahan dorongan itu. Dia lalu mengulurkan tangan untuk membersihkan tubuh Amelia dengan terampil. Sama seperti yang telah dia lakukan berkali-kali sebelumnya.

Setelah mandi air dingin, Derren menggendong tubuh wanita yang lemah itu kembali ke ranjang. Dalam cahaya pagi yang samar, dia baru menyadari adanya memar ungu kebiruan besar di pinggang Amelia. Kedua kaki panjang dan putih itu pun penuh dengan memar.

Pandangan Derren menjadi dingin. Bagaimana bisa sampai begini? Walaupun sangat emosi dalam hatinya, dia tahu betul bahwa dirinya tidak akan sampai kehilangan kendali seperti itu.

Entah kenapa dalam benaknya, tiba-tiba muncul wajah Amelia yang keras kepala tetapi pucat, serta lukanya yang terus mengeluarkan darah. Selain itu, terngiang juga ucapan Amelia tentang leukemia ....

Tidak mungkin, itu jelas mustahil. Benak Derren mendadak menjadi kosong. Dia berdiri dan berjalan ke balkon untuk menyalakan rokok. Satu tangannya memijat pelipis dan langkah kakinya tak bisa tenang.

Dulu di Rumah Sakit Pratama, mereka sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Keluarga Adhinanta adalah investor terbesar di rumah sakit itu. Apalagi, itu juga merupakan rumah sakit terbaik di ibu kota. Hasilnya tidak mungkin salah.

Hanya saja ada sesuatu yang terus mengganggu di benak Derren, seperti firasat buruk yang tak kunjung menghilang.

Melalui kaca jendela balkon, Derren menatap wanita di atas ranjang yang terlihat pucat pasi. Sorot matanya pun berubah-ubah. Wanita licik dan penuh tipu daya itu bisa-bisanya mempunyai paras yang terlihat murni dan polos.

Derren pikir dirinya sudah tak peduli lagi pada Amelia. Namun setiap kali melihatnya berdiri di samping pria lain sambil tersenyum manis ataupun ketika dia berdiri di atas panggung dan terlihat memukau kemarin, semua itu justru membangkitkan sisi tergelap dari hasrat Derren.

Derren tidak ingin wanita itu diincar orang lain, bahkan tak rela membiarkannya dilihat orang lain. Jika bisa, dia sangat ingin mengurung Amelia selamanya di sisinya, biar seumur hidupnya hanya digunakan untuk menebus kesalahan padanya.

Melihat matahari yang mulai terbit dari balik cakrawala, Derren menelepon dan menurunkan suara ketika berujar, "Lando, datanglah ke Vila Lertes."

Lando adalah dokter pribadi Keluarga Adhinanta yang tinggal di rumah lama Keluarga Adhinanta. Selain itu, dia juga menjalankan klinik pribadi. Kebanyakan kliennya berasal dari kalangan atas dan juga artis yang sangat menjaga privasi.

Derren yang mengenakan pakaian rapi berjalan ke sisi ranjang, lalu menunduk untuk menatap wanita yang masih terbaring di sana.

Amelia tampaknya masih tertidur karena tidak bergerak sedikit pun. Bulu matanya yang lentik menutupi lingkaran hitam di bawah mata. Matanya yang bengkak karena menangis membuat orang merasa sangat iba.

Ekspresi Derren akhirnya sedikit melembut. Dia membungkuk, lalu tanpa sadar berbicara dengan suara lembut, "Bangunlah."

Wanita di atas ranjang tidak memberi reaksi apa pun. Derren pun mengulurkan tangan, lalu perlahan mengguncang bahu mungil Amelia. Hanya saja, tetap tidak ada respons.

Ekspresi Derren langsung menegang dan jantungnya tiba-tiba mulai berdetak kencang. Dia segera mengambil ponsel dan menelepon untuk mendesak Lando.

Lando buru-buru mengangkat telepon, bahkan hampir saja menekan tombol putus saking paniknya. "Ha ... halo, Pak Derren?"

"Kenapa lama banget sih? Memangnya butuh waktu berapa lama berangkat dari rumah lama ke sini?" tanya Derren.

Lando tak berani menunda sedikit pun. Dia segera membawa perlengkapan medis dan keluar dari rumah lama.

Saat Yovana melihat Lando yang bergegas keluar, sorot matanya menunjukkan perhitungan dan niat jahat. Dari telepon semalam, dia tahu bahwa Derren kembali didekati oleh Amelia si wanita penggoda. Bahkan, dia sampai tidak pulang semalaman.

Yovana pun mengepalkan tangannya erat-erat. Sebelumnya, dia rela mencelakakan diri sendiri dan hampir membuat sepasang kakinya cacat. Dengan susah payah, dia akhirnya berhasil menjebak Amelia si wanita rendahan itu.

Mana mungkin Yovana akan membiarkan wanita itu kembali ke sisi Derren? Untungnya, dia sudah lama membuat Lando berpihak padanya. Dia pun menyeringai dingin sambil membatin, 'Amelia, tunggulah hari saat kamu mati sendirian di ranjang rumah sakit.'

Lando tidak berani membuang waktu sama sekali. Dia segera bergegas menuju Vila Lertes. Saat berdiri di depan pintu kamar utama, dia merasa kepalanya mendadak pusing.

Meski sudah bekerja dengan Keluarga Adhinanta lebih dari sepuluh tahun, Lando tetap takut pada Derren yang suasana hatinya tidak bisa ditebak.

"Masuk," ucap Derren.

Begitu masuk, Lando langsung melihat Derren berdiri di tepi ranjang dan Amelia yang terlihat sangat pucat di atas ranjang. Dia segera bertanya, "Ada apa dengan Bu Amelia ...?"

Panggilan sopan Lando terhadap Amelia tampaknya sedikit meredam amarah Derren. Pria itu pun menunduk dan mundur setengah langkah, lalu membalas, "Dia nggak bisa kubangunkan. Selain itu, coba periksa apakah darahnya normal."

Lando memberanikan diri untuk melakukan pemeriksaan pada Amelia. Seperti biasa, dia tidak berani memeriksa terlalu dalam. Rasa cemburu dan hasrat memiliki Derren terhadap Amelia sudah menjadi rahasia umum.

Setelah pemeriksaan selesai, Lando menarik napas lega sebelum menjelaskan, "Bu Amelia baik-baik saja kok. Dia cuma kelelahan, makanya tertidur sangat nyenyak sekarang. Selain itu ...."

Melihat Lando yang ragu-ragu, Derren menimpali sambil mengernyit, "Katakan."

Lando berdeham untuk mencairkan suasana, lalu berucap, "Ehem, kondisi tubuh Bu Amelia sangat lemah. Sebaiknya ... jangan terlalu berlebihan."

Awalnya, Lando pikir Derren akan murka. Akan tetapi, raut wajahnya tetap datar dan tidak menunjukkan emosi. Dia hanya membalas, "Begitu hasil pemeriksaan darah keluar, langsung kirimkan padaku."

Lando tidak berani tinggal lebih lama di sini sehingga segera pergi. Sebelum berangkat tadi, Yovana telah mencegatnya dan memaksanya untuk menukar sampel darah Amelia.

Adik laki-laki Lando baru saja lulus kuliah dan sedang mengikuti masa pelatihan di rumah sakit. Ini adalah masa yang sangat krusial baginya. Yovana memanfaatkan hal tersebut untuk terus mengancamnya.

Lando sempat melawan selama masa itu, tetapi para preman yang menyamar sebagai pasien bermasalah berulang kali membuat keributan. Pada akhirnya, adiknya bahkan hampir cedera dan tidak bisa menjadi dokter. Lando tentu saja ketakutan sehingga akhirnya tak punya pilihan selain mengikuti perintah Yovana.

Begitu sampai di laboratorium, telepon dari Yovana langsung masuk. Kepala Lando sontak terasa sakit. Dia lalu memanggil, "Halo? Bu Yovana."

Sambil menahan amarah yang menggumpal menjadi kebencian, Yovana mengancam dengan suara rendah, "Lakukan sesuai instruksiku. Kalau nggak ... aku nggak jamin jari-jari adikmu masih bisa lengkap."

Lando menggenggam ponsel dengan erat, lalu terpaksa menukar sampel darah Amelia. Dia segera memproses hasilnya dan mengirimkannya kepada Derren.

Pagi-pagi sekali, Derren sudah menghadiri rapat di kantor. Namun sepanjang rapat pagi ini, pikirannya terus melayang ke mana-mana. Sesekali, dia melirik ponselnya dengan tatapan kosong.

Ting ....

Derren membuka email baru dan langsung membacanya. Itu adalah hasil pemeriksaan darah Amelia. Dia membaca dengan sangat cepat. Tatapannya pun makin lama menjadi makin dingin. Akhirnya, tatapannya berhenti pada baris terakhir.

[ Tidak ditemukan kelainan, cuma anemia berat. ]

Aura dingin sontak menyelimuti tubuh Derren. Itu membuat manajer wilayah yang sedang presentasi ketakutan dan langsung berhenti bicara.

Derren lalu bersandar di kursi. Kedua tangannya terlipat, sementara sorot matanya tersembunyi di balik bayangan. Hanya gerakan menggulirkan cincin di jarinya yang menunjukkan kemarahan yang ditahannya.

Ternyata Amelia memang membohonginya. Padahal sedikit lagi ... hampir saja Derren memercayainya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status