Share

Bab 13

Author: Lucy Finston
Saat Amelia terbangun, hari sudah sore. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah langit-langit kamar yang familier. Ini adalah kamar di rumah mereka. Sudah berapa lama sejak terakhir kali dia kembali ke sini ....

Sejak Yovana menjadi anak angkat Keluarga Adhinanta, Derren sepertinya lebih sering tinggal di rumah lama Keluarga Adhinanta dan tidak pernah kembali ke tempat ini lagi. Demi bisa merawat Martin, Amelia pun memilih tinggal di sanatorium. Vila Lertes yang berukuran besar itu terasa sepi dan dingin.

Amelia coba menggerakkan tubuhnya, tetapi seketika terperanjat karena rasa sakit. Seluruh badannya seperti habis dilindas mobil. Rasanya nyeri luar biasa. Pinggangnya terasa lemas hingga dia tak sanggup berdiri tegak.

Derren memang selalu mempunyai energi yang luar biasa, sementara dirinya sudah benar-benar kehabisan tenaga.

Amelia berjuang bangkit dari ranjang, mengenakan pakaian bersih, dan bersiap untuk pergi. Tadi malam, Derren sama sekali tidak menggunakan pengaman sehingga dia menjadi sedikit khawatir.

Tampaknya Derren sudah benar-benar bertekad agar dia hamil. Padahal dengan kondisi tubuh Amelia sekarang, hamil adalah sesuatu yang sangat mustahil dan juga sangat berbahaya.

Dengan diam-diam, Amelia menuruni tangga. Ketika dia melihat Tuti yang sedang sibuk di ruang makan, hatinya cukup terkejut.

Tuti adalah pembantu lama yang sudah merawat Derren sejak kecil dan sangat mengenal dirinya juga. Hanya saja setelah Yovana datang, seingatnya Tuti pun ikut pindah ke rumah lama ....

Ketika melihat Amelia, Tuti sangat gembira. Wajahnya terlihat penuh senyuman ketika menyapa, "Nyonya Amelia, kamu sudah bangun? Makanan ini semua disiapkan atas perintah Tuan Derren. Semuanya adalah makanan kesukaanmu."

Amelia merasa matanya panas dan nyaris berlinang air mata, tetapi dia memaksa diri untuk tetap bersikap tegas. Dia membalas, "Nggak perlu repot-repot, Bi Tuti. Aku akan pergi sekarang."

Tuti melirik sekilas ke arah halaman, lalu buru-buru mengelap tangannya dan menyusul Amelia dengan cemas. Dia memberi tahu, "Tuan Derren berpesan khusus agar aku menjagamu baik-baik. Dia bilang akan langsung pulang begitu selesai kerja."

Saat Amelia melihat ke halaman dan mendapati para pengawal berdiri di pintu depan dan belakang, dia merasa ada yang tidak beres. Wajah Tuti yang gugup juga memperkuat kecurigaannya. Derren sepertinya memang berniat menahannya di sini. Amelia pun bertanya, "Dia akan kembali ke sini?"

Tuti menjawab sambil mengangguk, "Tuan Derren memang selalu tinggal di sini. Kadang-kadang di akhir pekan, dia baru kembali ke rumah lama."

Mendengar itu, Amelia sontak tertegun. Derren ternyata masih tinggal di sini?

Setelah semalam yang begitu melelahkan, Amelia sama sekali tidak punya nafsu makan. Dia makan dengan pikiran melayang sambil terus memperhatikan situasi di pintu dan halaman. Dia tidak bisa hanya menunggu pasrah.

Dulu, halaman rumah ini begitu sunyi dan kosong. Namun sekarang, ada tiga hingga lima pengawal Keluarga Adhinanta di sana. Baik pintu depan maupun belakang, semuanya dijaga sangat ketat.

Dari apa yang terlihat, Derren memang tidak berniat membiarkannya pergi. Amelia pun mengambil ponselnya, membuka percakapan dengan Camila, dan cepat-cepat mengetik pesan.

[ Aku baik-baik saja kok. Sekarang, aku lagi di Vila Lertes. Untuk sementara, aku nggak bisa keluar. Aku akan cari cara untuk mengatasinya. ]

Setelah makan malam, hari pun mulai gelap. Sampai sekarang Derren belum juga pulang, tetapi para pengawal tetap berjaga di sana.

Amelia tidak ingin terus-menerus diawasi oleh begitu banyak mata. Dia berencana mencoba masuk ke ruang kerja. Sebab, ruangan itu dikunci dengan sidik jari dan para pembantu tidak punya akses ke sana.

Amelia meletakkan tangan putih halusnya ke pemindai sidik jari pintu ruang kerja. Seiring terdengarnya suara, pintu berhasil terbuka.

Setelah terkejut sebentar, Amelia pun melangkah masuk. Ruangan itu gelap gulita, tetapi aroma kayu yang akrab segera menyergap indra penciumannya. Itu adalah aroma khas dari tubuh Derren.

Amelia lalu meraba dinding untuk mencari saklar dan menyalakan lampu ruang kerja. Cahaya terang langsung memenuhi seluruh ruangan. Tata letak ruang kerja masih seperti dulu.

Di atas sofa kulit cokelat kemerahan itu, Amelia dan Derren pernah menghabiskan banyak sore untuk membaca buku masing-masing.

Di samping jendela besar, ada kuda-kuda lukis pribadi Amelia yang sudah lama kosong dan berdiri sendiri. Begitu berbalik, Amelia melihat sesuatu di dinding di atas meja kerja. Itu adalah tempat yang dulu tergantung lukisan besar. Namun, kini malah ditutupi kain beludru merah.

Amelia seakan-akan tertarik sehingga berjalan ke arahnya. Kain beludru itu seperti menyembunyikan rahasia yang tak bisa diucapkan.

Amelia pun dengan hati-hati menarik kain tersebut. Begitu melihat apa yang ada di baliknya, Amelia langsung melepas kain itu lagi dan hampir saja berteriak. Wajahnya sontak pucat pasi. Apa yang dilihatnya membuat penglihatannya kabur dan telinganya berdengung.

Di papan itu, tertempel banyak dokumen dan foto. Tepat di tengah, ada sebuah foto yang sangat jelas. Itu adalah jasad yang hangus terbakar!

Tanpa perlu melihat lebih lama, Amelia langsung bisa tahu bahwa itu adalah ibu Derren, Farah. Dulu, Farah mengalami kebakaran di sebuah gudang tua di pelabuhan dan kasus itu dikategorikan sebagai kecelakaan. Di masa kecilnya, Derren membutuhkan waktu lama untuk keluar dari trauma itu.

Dengan tangan gemetar, Amelia menutupi mulutnya. Matanya dipenuhi ketakutan, hingga pupilnya bergetar hebat. Kemudian dia menemukan bahwa di sebelah foto itu, ada sepucuk surat.

Tulisan tangan yang halus dan elegan di surat tersebut sangat dikenalnya. Itu adalah tulisan ibunya, Diana!

[ Ayah, aku yang bersalah pada Farah. Hidupku sudah nggak lama lagi. Aku pergi dulu. Tolong jangan salahkan aku. Aku nggak bisa lagi menjaga Amelia. Cuma berharap dia bisa hidup dengan berani, penuh harapan, dan damai sampai akhir hayatnya. ]

[ Semoga dengan kematianku, semua kebencian ini berakhir di sini dan nggak perlu diwariskan ke generasi selanjutnya. Ayah, tolong maafkan aku. ]

Amelia terhuyung ke belakang. Pinggangnya membentur sudut meja, tetapi dia sama sekali tidak merasa sakit. Kata-kata "aku yang bersalah pada Farah" terasa sangat menusuk di hatinya. Ini adalah surat wasiat dari ibunya untuk kakeknya dan belum pernah dilihatnya sebelumnya.

Amelia merasa darah di seluruh tubuhnya berhenti mengalir. Jantungnya pun terasa begitu nyeri dan sesak.

Sejak kecil, Martin selalu bilang bahwa ibunya meninggal karena sakit. Berhubung ibunya sahabatan dengan Farah, Amelia pun dititipkan ke Keluarga Adhinanta.

Kini, Derren terus-menerus menuduh bahwa ibunya adalah pelaku yang menyebabkan kematian Farah. Hanya saja, Amelia tidak pernah percaya.

Saat ini mata Amelia sudah dipenuhi air mata, tetapi dia masih memaksa diri untuk melihat semua yang tertempel di papan itu satu per satu. Ada surat kematian, catatan kasus, transaksi keuangan, bukti-bukti penting ....

Semua itu mengarah pada satu kesimpulan bahwa ibunya, Diana, adalah pelaku sebenarnya di balik peristiwa tragis itu!

Sepasang kaki Amelia melemas, lalu dia jatuh terduduk di atas karpet berbulu yang lembut dengan putus asa. Dia tak bisa menjelaskan semua ini. Jangan-jangan, ibunya benar-benar adalah pembunuh Farah?

Lampu-lampu kota mulai menyala. Sebuah mobil hitam Rolls-Royce Cullinan perlahan memasuki garasi Vila Lertes. Dari kejauhan, Derren sudah melihat bahwa lampu di ruang kerjanya menyala. Di seluruh vila ini, satu-satunya orang yang bisa masuk ke sana hanya Amelia.

Derren cukup penasaran, apakah wanita itu sudah melihat kejutan yang dia siapkan? Ekspresinya terkesan gelap dan kejam, tetapi di sudut bibirnya terukir senyum yang nyaris seperti kehilangan akal. Dia membatin, 'Amelia, nggak peduli orang lain bilang apa, lebih baik kamu lihat langsung sendiri.'

Dengan langkah besar, Derren berjalan memasuki rumah lalu langsung naik ke atas dan menuju ruang kerja.

Mendengar langkah kaki di depan pintu, napas Amelia menjadi kacau dan dadanya sesak oleh kepanikan. Segera setelah itu, gagang pintu diputar keras!

Derren berdiri di ambang pintu. Bak malaikat maut, dia menunduk untuk memandang wanita yang gemetar ketakutan di dalam ruang kerja. Amelia berpegangan pada sudut meja untuk berdiri dengan panik, lalu tanpa sadar mundur ke belakang.

Seperti pemburu yang berpengalaman, Derren melangkah santai masuk ke dalam. Pintu ruang kerja yang berat lalu tertutup rapat di belakangnya.

Tubuh kurus Amelia terus gemetar. Dia terdesak hingga seluruh tubuhnya menempel ke dinding. Penampilannya saat ini sangat mirip dengan kelinci yang ketakutan. Matanya juga memerah karena panik.

Di ruangan sempit itu, Amelia tidak punya tempat untuk melarikan diri. Derren mendekat perlahan. Bak pemburu yang tenang, dia menyaksikan buruannya berjuang dalam perangkap. Pria itu lalu bertanya, "Amelia, apa kamu suka kejutan ini?"

Amelia tak bisa berkata apa pun. Napasnya tercekat karena tak ada jalan mundur lagi. Rambut panjang hitamnya ditarik keras oleh pria itu, lalu Derren menyeretnya ke papan kayu yang penuh dokumen tersebut. Dia bertanya, "Nggak mau bicara? Kalau begitu, lihat baik-baik sekali lagi."
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
NURILAH Ila
bagus ceritanya membuat saya merasa terbuai dengan alur ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status