Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (17)
****
Aku tiba di rumah Clarissa, dan langsung masuk ke dalam rumahnya.
Kulihat ia sudah menungguku di ruang tengah sambil menonton tv, di temani kue kering yang ada di pangkuannya.
“Yang,” panggilku.
Refleks Clarissa menoleh, disusul olehku yang menelan ludah kasar lantaran melihatnya mengenakan pakaian yang menggoda.
“Sini deh Mas, ngapain kamu berdiri di situ.” Seketika aku kelabakan, buru-buru menghampirinya. Aku jadi teringat, kala Bella menggodaku malam itu.
“Duduk,” instruksinya.
Aku lantas mendudukan diri di sana, lalu menatapnya.
&
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (18)****POV Bella.“Ma, aku barusan lihat Papa.”Aku tersentak kaget mendengar perkataan Isna. Kutatap putriku dalam kebigungan. Genggaman tanganku pada lengan mungilnya tak terasa sudah terlepas.“Papa?”“Iya Ma, aku lihat Papa,” ulangnya dengan mata berbinar.Aku langsung mengedarkan pandangan, bola mataku bergerak mencari sosoknya.Tidak ada Mas Faiz, mungkin Isna salah lihat.“Gak ada Papa di sini, Na,”“Tadi, aku lihat Papa di situ, Ma.”
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (19)****“Kak Fahmi, mana Mama? Kok gak kelihatan?” tanyaku setibanya di dapur.“Palingan ketemu temen arisannya. Nanti juga pulang,” jawab Kak Fahmi.Aku menganggukkan kepala mendengar jawabannya. Nampak Kak Fahmi menuangkan susu kontak ke dalam gelas, lalu menyodorkannya padaku.Alisku saling bertaut, mengisyaratkan sesuatu.“Berikan pada Isna, biasanya panas-panas begini dia suka minum susu.” Mataku mengerjap beberapa kali, melongo dibuatnya. Ini beneran kak Fahmi, Iparku kan. Tahu dari mana dia soal kebiasaan putriku.“Bell, ayo ambil,” serunya.Buru-buru aku mengambi
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (20)****Tak butuh waktu lama, kami tiba di hotel setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit.“Bell, kamu nanti awasi Mama saya. Pastikan, Mama tidak membuat keributan,” tutur Kak Fahmi. Aku menoleh, tiba-tiba saja dia mendekat dan melepas seat belt yang melilitku.“Kamu juga harus kendalikan diri, setelah masalah ini, bukan tidak mungkin Faiz akan balas dendam,” sambungnya lagi. Belum sempat aku menjawab, Kak Fahmi lagi-lagi menyela.“Dan, satu lagi. Soal kejadian tadi siang, saya hanya bercanda.” Selepas itu Kak Fahmi keluar dari dalam mobil. Meninggalkan aku yang mematung di depan.Dia itu kenapa? Aneh. Gerutuku dalam hati.
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (21)****Video dilayar LCD mulai di putar, terdengar percakapan Clarissa dengan seorang pria matang di atas ranjang tak hentinya membuat Mas Faiz terkejut.Andai kamu punya riwayat penyakit jantung Mas, sudah pasti, kamu akan luluh ke lantai sambil memegangi dada mu yang dihujani batu. Namun sayangnya, tubuhmu masih kokoh menopang berat beban yang kamu pikul. Meski begitu, tatapan matamu kosong dan linglung. Itu sudah cukup nilai tersendiri bagiku. Miris.“Tenang aja sayang, aku cuman manfaatin dia kok. Kalau nanti hartanya udah aku kuasai. Pasti aku bakalan depak Faiz, secara aku gak akan mau pelihara orang yang hobi selingkuh. Baru aku pepet dikit, dia udah rela ninggalin anak dan bininya,” tutur Clarissa.Jemari Clarissa yang lentik itu sudah merayap ke mana-mana. Mereka berdua kembali menikmati purnama bersama.Waw, kalau di pikir-pikir, Mas Faiz ini p
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (22)****Drama Clarissa belum berakhir, malah kini banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Salah satunya tentang keluarganya.Aku tidak melihat satu pun orang yang mengaku menjadi keluarga mempelai wanita. Dimana keluarga Clarissa? Mohon maaf sebelumnya, apa Clarissa ini anak yatim piatu, atau bagaimana? Apa mungkin orang tuanya tidak mengetahui kalau putrinya menikah? Aargh, entahlah.Dipikir bikin pusing, gak dipikir kok aneh, gimana sih.“Lepaskan aku! Mas tolongin aku. Aku gak mau di penjara, Mas Faiz,” teriak Clarissa, pria yang baru saja mempersuntingnya itu bahkan sudah menjatuhkan talak padanya. Sungguh miris, belum ada sehari mereka menikah, hubungan yang mereka jalani ada di ambang kehancuran.Bagaimana rasanya, Clarissa? Kuharap, lebih sakit dari yang kurasakan ini.“Ayo Ibu ikut kami, jangan mempersulit tugas kami. Ibu bisa jelas
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (23)****POV Faiz.Pernikahanku ini berakhir berantakan, belum ada sehari aku menikahi Clarissa, ia sudah kujatuhi talak. Di sini pula aku di permalukan, di tonton banyak orang. Sialnya, beberapa tamu undangan itu rekan bisnis. Entah apa yang akan terjadi besok dengan perusahaan.Ternyata, semalam Clarissa memadu kasih dengan pria lain di belakangku. Dan, kini ia malah di bawa ke kantor polisi karena telah merencanakan pembunuhan terhadap Bella.Lihatlah, takdir begitu kejam menamparku, sampai aku sendiri tak tahu lagi harus menaruh wajahku di mana. Ini luar biasa memalukan. Serasa duniaku runtuh seketika.“Kamu hancur Iz, tapi ini belum usai.” Ucapan Mama seakan memberiku peringatan bahwa badai yang menerjangku ini belum sepenuhnya reda. Masih ada masalah lain yang menyusul di sana.Setelah membuat kekacauan, Bella beserta keluarganya meninggalkan tempat
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (24)****Keesokan paginya, dengan penampilan yang masih berantakan aku meninggalkan hotel, kemeja yang kupakai ini masih kusut, rambut yang acak-acakan, belum lagi celana hitam yang kukenakan, robek di beberapa bagian, paling parahnya di lutut.Aku menyugar rambut kebelakang, menyentak napas kasar. Berjalan tergesa-gesa menuju parkiran, beruntung mobilku tidak jadi kujual.Andai waktu itu aku menuruti perkataan Clarissa, mungkin hari ini aku sudah luntang-lantung di jalan. Meratapi nasibku yang selalu ketipan sial.“Aku gak mungkin datang ke perusahaan dengan pakaian kusut seperti ini, yang ada aku malah jadi bahan olok-olokkan karyawan,” gerutuku yang kini berdiri di samping mobil.Sebelum membuka pintu mobil, aku sempat merogoh dompetku, entah dorongan dari mana aku mengeluarkan foto yang kusimpan di sana, lalu bersandar pada badan mobil.Kutatap
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (25)****“Papa, Isna mau kembang gula.” Isna merengek sambil menyentuh lenganku.Aku menoleh, lalu melirik ke arah telunjuk Isna. Melihat penjual kembang gula di ujung jalan.“Isna mau itu?” tanyaku memastikan.Binar dimatanya membuatku tak tega menolak.“Iya Pa, Isna mau kembang gula,” ulangnya.Aku lantas merogoh kantong celana, memeriksa apakah ada uang di sana.Beruntung, masih ada selembar uang berwarna merah. Ini pasti cukup untuk membeli jajan Isna.“Isna tunggu di sini, biar Papa yang belikan. Jangan kemana-mana yah Nak.”Aku mengusap lembut rambut Isna, gadis kecilku itu mengangguk patuh.“Siap Pa,” katanya sembari memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.Tanpa pikir ulang, aku turun dari mobil, menutup pintunya pelan, k