Satu minggu begitu cepat. Ini adalah waktunya aku memberikan jawaban. Apakah aku siap? Ya Robb, beri aku kekuatan. Semoga jawabanku tak menyakiti hati orang lain. Ting... Satu notifikasi pesan masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Om Damar. Pasti beliau akan mengancamku lagi. [Om tunggu di rumah Febi. Ingat Rom, perusahaan kamu menjadi taruhannya. ]Aku menghembuskan nafas kasar. Lagi dan lagi beliau menggunakan kekuasaan untuk mengancamku. Perusahaan menjadi alasan kuat beliau yakin aku akan menyetujui permintaan gilanya. Mobil melesat membelah keramaian jalanan ibu kota. Ini adalah jam istirahat, banyak karyawan pergi untuk membeli makan. Meski tak semacet pagi atau sore. Namun tetap saja banyak kendaraan berlalu lalang. Kriingg... Ponsel di dalam saku jas menjerit-jarit. Segera aku ambil benda pipih berwarna hitam itu. Ah, panggilan dari Om Damar. Malas, ku diamkan saja hingga benda pipih itu membisu dengan sendirinya. Lagi ponsel itu bernyanyi kembali. Kutepikan kendaraan roda
Astaga, tak pernahkah mereka berpikir di posisiku? Yang lebih egois aku atau mereka? Seenak jidatnya mengatakan aku egois. Padahal kenyataannya merekalah orang-orang egois itu. "Febi masih sangat mencintaimu, Rom. Dia begitu menyesal telah meninggalkanmu," ucap Tante Viona lagi. Aku masih diam, tak menjawab perkataan mereka. Biar ku tahu lebih banyak apa yang akan mereka bicarakan. "Bagaimana, Romi?" tanya Om Fajar. Kutelan saliva dengan susah payah. Rasanya mulut ini tak mampu berkata-kata. Tapi apapun yang terjadi aku harus bersikap tegas. Aku tak mau dipermainkan oleh mereka. "Maaf sebelumnya Om dan Tante." Wajah mereka bertiga langung masam kala kata maaf keluar dari mulutku. "Maksud kamu apa?" tanya Om Fajar dengan wajah merah padam menahan amarah. "Bukan maksud saya menolak permintaan Om atau pun tante. Saya tidak bisa menerima tawaran yang kalian berikan. Saya sudah tak mencintai Febi. Untuk janin yang ia kandung juga bukan darah daging saya. Harusnya ayah janin itu yang
Aku masih berdiri di depan pagar kayu. Melihat indahnya bunga mawar dan melati yang bermekaran. Bahkan kupu-kupu berterbangan menghisap sari-sarinya. Astaga, kenapa aku justru berdiri di depan rumah ini? Rumah yang baru kumasuki satu kali. Apa lebih baik jika aku pulang saja. Tapi kok kepalang tanggung. Bagaimana jika Bu Halimah sudah terlanjur melihatku. Rasanya tak sopan jika aku pergi begitu saja. Melangkah mendekati pintu, tak lupa aku bawa bolu gulung yang tadi sempat kubeli. Ada rasa ragu kala tangan ingin menyentuh pintu. Hingga beberapa saat aku kembali terdiam di depan pintu. "Assalamu'alaikum," ucapku sambil mengetuk pintu. Hening, tak ada jawaban dari dalam sana. Atau jangan-jangan Bu Halimah sedang tidak ada di rumah? Ah, harusnya aku tak ke sini. Kupegang knop pintu, hingga tanpa sengaja pintu kayu itu terbuka dengan sendirinya. Kalau Bu Halimah pergi bukankah pintu harus di kunci. Atau jangan-jangan beliau sedang di belakang. "Assalamu'alaikum," ucapku lagi. Lagi
"Meeting hari ini selesai. Saya minta laporan untuk setiap devisi. Terima kasih.""Baik, Pak," jawab mereka serempak. Satu persatu pimpinan tiap devisi meninggalkan ruang meeting. Kini hanya tinggal aku dan Dila yang masih berada dalam ruangan yang luas dengan nuansa putih ini. "Bapak kenapa sih? Meeting kok tidak konsentrasi. Untung saya cekatan," ucap Dila sambil membereskan berkas di atas meja. Ibu hamil di hadapanku ini memanyunkan bibir. Wajahnya begitu kesal. Itu semua karena aku tak konsentrasi dalam meeting hari ini. Beruntung dia sigap membantu mengingatkan jika aku salah bicara. "Maaf Dil, saya sedang banyak masalah.""Profesional dong Pak," sindirnya. Kata-katanya sungguh menampar diriku. Aku yang selalu mengucapkan kata profesional kepada pagawaiku namun aku sendiri yang tidak profesional. Benar mengucapkan lebih mudah dibandingkan melakukan. Dari sini aku semakin berpikir untuk bisa bersikap profesional tapi masalah yang menimpaku membuat kepala pusing tidak karuan.
Kupasang telinga setajam mungkin tak lupa kunyalakan perekam suara. Aku tak mau nantinya di kira fitrah karena tak memiliki barang bukti. Jaman sekarang memang harus pintar apalagi bila berhadapan dengan manusia bermulut ular seperti mereka. "Febi malu ma, perut sudah membuncit tapi masih belum punya suami. Sialan si Marsel sudah hamili Febi tapi malah kabur.""Sabar Feb, tak ada Marsel Romi pun jadi.""Mama yakin kan rencana kita akan berhasil?""Yakin sayang. Mulai sekarang kamu harus lebih pintar bersandiwara. Buat Romi merasa tak tega dan iba. Dengan ini dia pasti menerima tawaran untuk menikah dengan kamu. Mama tahu persis Romi itu orangnya baik dan mudah merasa kasihan. Tak tega lah dia melihat kamu depresi hingga nyaris bunuh diri.""Hahaha... Mama benar, dulu saja dia mudah kubohongi. Sejak mulai berhubungan dengan dia aku sudah memiliki selingkuhan. Bodohnya Romi yang tak tahu dan percaya padaku. Meski akhirnya dia juga tahu. Tapi butuh waktu yang lama untuk dia mengetahui k
Aku mengatur napas yang kian sesak. Cobaan tak henti-hentinya melandaku. Dari kehilangan pujaan hati kini prusahaan di ambang kehancuran. Ya Robb, apakah ada kesalahan di masa lalu hingga Engkau menurunkan cobaan bertubi-tubi padaku? Ini semua tak adil untukku Ya Allah. "Astagfirullah," ucapku pelan. Ampuni hamba Ya Allah karena telah berburuk sangka kepada-Mu. Sungguh Engkaulah zat yang tahu mana yang baik untuk hambanya. Bukankah Allah memberi cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya. Hal ini tertuang dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat terakhir.لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاArtinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S Al Baqarah ayat 286)."Pak Romi, baik-baik saja kan?" Dila sudah berdiri di depanku. Sejak kapan dia di sini? "Kamu dari tadi?""Iya Pak. Bapak saja yang tidak memperhatikan padahal saya sudah mengetuk pintu berkali-kali.""Maaf Dil, saya tidak tahu.""Tidak apa-apa, Pak. Hanya saja em...." Dila
Pov Intan. Berlari kecil menuruni anak tangga. Di dalam kepalaku hanya ada ibu. Bagaimana kondisinya? Apa tekanan darahnya naik lagi? Ya Allah selamatkan ibuku, hanya dia yang ku punya saat ini. "Mbak Intan mau kemana?" Ina sedikit bingung dengan tingkahku yang tergesa-gesa. "Mau ke rumah sakit, In. Tolong lanjutkan pekerjaan di lantai atas. Alamat reseller dan konsumen sudah ada di buku. Sudah aku pilah tinggal membungkus saja.""Siapa yang sakit mbak?""Ibuku, In. Bantu doa ya. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ku tinggalkan Ina dengan dua karyawan lainnya. Dalam hati merutuki kebodohanku,harusnya ku angkat telepon Mas Romi lebih awal bukan justru berburuk sangka kepadanya. Maafkan aku Ya Robb telah suudzon pada lelaki yang pernah dekat dengan atasanku itu. Mengambil benda pipih di dalam saku gamis. Jariku menari di layar ponsel untuk memesan taxi online. Sudah lima menit menunggu tapi belum ada driver yang menerima. Ya Allah, bagaimana ini? Sedikit ragu ku pesan ojek online
Pov RomiAku berdiri tepat di depan bangunan bertingkat. Bangunan yang menjadi saksi kerja keras papa hingga menjadi sebesar ini. Kantor masih lenggang saat aku sampai. Hingga satu persatu karyawan mulai berdatangan. Aku memang sengaja datang lebih awal. Setelah mendengar kabar dari Dila kemarin pikiranku semakin tak karuan. Ingin rasanya meminta Dila datang ke rumah tapi urung ku lakukan mengingat ia tengah hamil. Kasihan jika ia kecapekan. Dan sekarang aku sudah di sini. Aku masih terpaku menatap bangunan di hadapan. Rasanya tak sanggup jika bangunan ini harus tutup karena aku tak sanggup membiayai produksi dan gaji karyawan. Hidup itu seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Mungkin roda kehidupanku sedang berada di bawah. Ya Allah, kenapa cobaan ini bertubi-tubi menimpaku? Apa yang harus ku katakan kepada papa dan mama? Aku tak sanggup melihat wajah kecewa kedua orang tuaku. Bagaimana aku menjelaskan semua ini? "Pak Romi," panggilan seseorang menyentakku dari lamunan.