Pov RomiAku duduk sambil menghitung laba restoran hari kemarin. Mungkin setelah dzuhur aku akan pergi ke bank untuk menyetorkan uang ini. Karena tak ada kerjaan sering kali uang ku setor sendiri ke bank. Bibir merekah kala melihat tumpukan lembar merah dan biru di atas meja. Rasanya aku masih belum percaya jika kini tengah mengelola restoran. Angan masih berkelana saat aku masih duduk di meja direktur utama. Memimpin perusahaan ternama. Bolak-balik antar negara itu hal biasa. Ya, itu dulu saat perusahaan masih milik kami.Sempat terpuruk dan putus asa. Bagaimana tidak,ini bisnis yang sangat asing bagiku. Namun papa dan mama selalu mendukung dan mendoakanku hingga aku di titik ini.Ada hikmah dibalik setiap musibah, seperti saat ini.Mungkin Allah ingin aku belajar bisnis lebih banyak lagi. Kini aku bergelut dalam dunia kuliner. Dunia bisnis yang tak pernah terbayangkan di anganku. Bisnis kuliner masakan khas solo bukan hanya untuk meraih untung tapi juga melestarikan kuliner nusant
Rasa penasaran membuatku membuka aplikasi berwarna biru itu. Mataku membulat sempurna kala melihat sebuah video yang muncul di beranda. "Astagfirullah," ucapku lirih. "Kenapa, Rom?" Mama penasaran melihat ekspresi wajahku yang berubah. Segera ku berikan ponselku padanya. "Astagfirullahal'azim ...." Mama mengelus dada saat melihat sebuah video Febi yang menolak dan memaki seorang bayi. Aku yakin itu adalah anaknya. Anak yang di sembunyikan oleh siapapun. Tapi kenapa ada video seperti ini? "Ini adalah konsekuensi dari tindakan Febi. Semua orang akan menuai buah yang mereka tanam. Entah itu baik atau buruk. Seperti yang tengah Febi rasakan. Hanya saja mama tak habis pikir, kenapa Febi tega kepada darah dagingnya." Mama menyerahkan kembali ponselku. "Astagfirullah ...," ucap mama sambil mengelus dadanya. Sebagai seorang ibu dia pasti sedih dengan tindakan Febi. Memaki bayi yang baru saja ia lahirkan. Apa dia tak merasakan susahnya melahirkan. Sebuah proses yang mempertaruhkan nyawa
Intan dusuk di tepi ranjang. Senyum mengembang hingga tergambar jelas lesung pipi di wajahnya. Intan memang memiliki dua lesung pipi, kanan dan kiri. Akan terlihat jelas juka wanita yang memakai setelan baju tidur lengan panjang berwarna biru itu tersenyum. Ucapan Romi dan Lisa kembali terngiang di telinganya. Membuatnya berbinar bahagia. Tak ada rasa yang lebih bahagia dibanding cinta kita tak bertepuk sebelah tangan. Itu yang kini tengah di rasakan Intan. Cinta yang berusaha ia pendam seorang diri. Namun hari ini lelaki yang berhasil mencuri hatinya berusaha membuka hati. Ya, karena hati Romi masih terpatri satu nama, yaitu Anita. Melupakan seseorang yang kita cintai tidaklah mudah. Namun tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Itu diyakini oleh wanita yang biasa memakai hijab menjuntai dengan cadar sebagai penutup wajah. Intan tak berpikir panjang, menghapus nama Anita tak semudah yang ia bayangkan. Rasa bahagia menutup pikiran, menjadikan ia lalai jika cinta
Intan diam, ucapan ibu memang benar. Seseorang yang saling mencintai saja bisa kalah saat badai menerjang. Lalu bagaimana dengan rumah tangganya yang tak memiliki rasa cinta dari seorang imam. Bukankah suami adalah pemimpin rumah tangga? 'Namun bukankah cinta bisa datang dengan berjalannya waktu?' batin Intan memberontak. "Mas Romi akan belajar mencintai Intan, bu. Bukankah orang bilang cinta tumbuh karena terbiasa. Cinta tumbuh karena saling bertemu," ucap Intan pelan. "Ibu tahu nak Romi anak yang sholeh dan berhati baik. Dia begitu menghormati orang tua. Tapi ibu takut, kamu akan terluka karena hidup dengan lelaki yang tidak mencintaimu."Sebagai orang tua alasan Halimah memang benar. Selama ini dia hidup bahagia dengan ayah Intan karena saling mencintai satu sama lain. Halimah takut rumah tangga yang dibangun tanpa cinta akan karam di terjang badai. "Mas Romi lelaki baik bu, Intan yakin dia akan menjadi imam yang bertanggung jawab." Intan menggenggam kedua tangan Halimah. Menco
Pov Intan"Romi, aku suka sama sepupu suami kamu Nit."Bagai halilintar yang menyambar pohong hingga membuatnya roboh dan jatuh. Begitu pula diriku. Pengakuan Mbak Indah mampu meluluh lantahkan hatiku.Aku diam, masih tak percaya jika lelaki yang akan dijodohkan denganku adalah lelaki yang justru dicintai oleh sahabatku sendiri. Dilema, satu kata yang mampu menggambarkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kami mencintai lelaki yang sama, dan itu Mas Romi. Sejauh ini Mbak Indah tak pernah menceritakan tentang Mas Romi. Aku pikir kedekatan mereka hanya sebatas teman saja. Ya, karena Mbak Indah jauh lebih dahulu mengenalnya. Tak menyangka jika dia juga menaruh hati pada lelaki yang ku cintai. Aku tak menyalahkan jika Mbak Indah jatuh cinta pada Mas Romi. Karena sejatinya cinta itu tak bisa memilih pada siapa hati ini akan berlabuh. Terlebih Mas Romi sosok pria sholeh dan bertanggung jawab. Tak heran jika banyak wanita yang jatuh hati kepadanya. "Tan, kok diam aja? Beri pelukan ke
Pov IntanLama ku pandangi pesan dari Mbak Anita tanpa ada niat sedikit pun untuk membalasnya. Lebih baik aku segera pulang dan istirahat. Mungkin dengan istirahat bebanku akan sedikit berkurang. Aku melajukan motor dengan hati-hati. Motor berjalan dengan kecepatan 40 km/jam menembus keramaian kota di sore hari. Sepanjang jalan banyak kendaraan yang melaju mendahuluiku. Aku masih melajukan motor dengan kecepatan yang sama. Aku tak ingin berkendara dengan kecepatan tinggi saat pikiran tidak karuan. Aku tak mau merugikan diri sendiri atau pun orang lain. Jarak antara toko dan rumah yang bisa ku tempuh dalam waktu dua puluh menit harus molor menjadi tiga puluh menit karena laju kendaraan yang lambat. Mata membulat sempurna kala melihat sebuah mobil sport terparkir di jalan tepat di depan rumahku. Ku hembuskan nafas kasar. Merutuki diri sendiri, harusnya aku pulang setelah magrib saja. Kalau begini harus bagaimana lagi? Ku matikan mesin motor setelah berada di halaman rumah. Jantung b
Pov RomiAku tak tahu harus bahagia atau sedih. Namun satu yang aku tahu, aku seperti terbebas dari beban yang menempel di pundak. Lega luar biasa. "Apa kamu yakin, Tan? Tante yakin cinta bisa hadir karena saling bersama. Banyak di luar sana pernikahan dimulai tanpa cinta dan berujung bahagia." Mama masih berusaha meyakinkan wanita berhijab menjuntai itu. Binar bahagia di wajah mama kala berangkat kemari sirna saat mendengar penolakan dari wanita yang berusaha ia jodohkan padaku. Aku lirik Intan yang tengah duduk di sebelah tante Halimah. Ia menunduk dengan bulir bening menetes dari sudut netra. Kenapa Intan menangis? Bukankah dia bahagia karena tidak akan menikah dengan lelaki yang tidak mencintainya. "Maafkan Intan tante." Hanya itu yang keluar dari mulut Intan. Dengan berat hati mama menyetujui pernolakan Intan. Raut kekecewaan tergambar jelas di sana. Dan aku sedih melihat itu. Setelah Intan memberikan jawaban kami pun undur diri. Mama melangkah gontai sambil sesekali meng
Pov RomiAku berlari masuk ke rumah. Dalam pikiran hanya ada satu nama, mama. Aku sangat takut terjadi hal yang tak diinginkan terhadap wanita yang telah melahirkanku itu. Rasa bersalah kembali menelusup di hati mengingat aku belum bisa memenuhi permintaannya. Tapi harus bagaimana jika Intan sendiri telah menolak. Walau tak bisa dipungkiri dalam hati sangat bersyukur dengan penolakan itu. Sedikit berlari menaiki anak tangga hingga tak sengaja tangan terbentur pegangan tangga. Sedikit darah keluar dari siku kiriku. Aku tak perdulikan yang terpenting saat ini adalah keadaan mama. Pintu terbuka hingga dengan leluasa aku bisa masuk ke dalam. Mama duduk bersandar dengan bantal sebagai pengganjal punggung. Bik Tuti setia menemani mama yang sudah membuka mata. Aku mendekati wanita yang wajahnya terlihat pucat itu. Ku genggam tangan kanannya. Beliau begitu lemas, wajahnya pun pucat. Aku tak tega melihatnya. "Kita ke rumah sakit ya, ma!" Mama menggeleng dengan tatapan lurus ke depan. "Bi