“Enggak!! Aku gak menguntitmu!!” sergah Aina.
Aina berdecak sambil menatap Fakhri dengan kesal. Padahal tujuannya datang ke sini untuk menemui klien bukan menguntitnya.
“Jadi kamu penasaran dengan istriku?” Fakhri kembali bersuara.
Aina pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan makannya. Dia tidak berminat untuk berkenalan dengan istri kedua suaminya. Sudah cukup dia dihina semalam dan Aina tidak akan membiarkan suaminya terus merundungnya.
“Sayang … sini!!” Tiba-tiba Fakhri berseru dan kini sambil meminta Wulan mendekat. Wulan berdiri berjalan dengan gemulai ke arah Aina.
Wanita cantik berkulit putih bersih bak porselen dengan rambut hitam sepinggang sedang berdiri menatap Aina dengan sinis.
“Jadi ini istri yang sudah selingkuh di belakangmu sampai punya anak, Mas?” ucap Wulan. Fakhri tidak menjawab hanya melihat Aina dengan dingin.
Aina membalas tatapan sinis Wulan kemudian berdiri.
“Iya, benar sekali. Saya Aina dan Anda pasti Wulan. Wanita yang mau menjadi madu dalam pernikahan kami, kan?”
Wulan terbelalak kaget. Sementara Fakhri hanya diam tidak bereaksi.
“Apa katamu??” sergah Wulan.
Matanya membulat sempurna, ia mencondongkan dada dengan gemulai menatap Fakhri seolah meminta Fakhri membelanya. Fakhri menghela napas kemudian melihat Aina dengan tajam.
“Minta maaf, Aina!! Minta maaf padanya!!” titah Fakhri.
Aina terbelalak mendengar ucapan Fakhri. Dia tercengang mendengar suaminya berkata seperti itu. Dia tidak bersalah mengapa harus minta maaf. Bukankah semua yang ia katakan tadi benar.
“Memangnya salah ucapanku tadi? Bukankah benar dia istri keduamu, maduku, Mas?”
Fakhri berdecak, kini tatapannya semakin tajam ke Aina bagai ribuan pisau yang bersamaan menikam. Aina menelan saliva sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak mau!!”
Sontak Fakhri tercengang mendengar jawaban Aina. Wajahnya menegang dengan mata menyalang menatap Aina semakin tajam. Aina balas menatapnya.
“Aku tidak bersalah, untuk apa aku minta maaf?” tambah Aina.
Fakhri terkesima mendengar ucapan Aina. Ia tertawa sengau sambil menggelengkan kepala.
“Tidak bersalah katamu? Ngaca, Aina!! Ngaca!!” Fakhri mendekat hingga berdiri tak berjarak di depannya.
“Kamu yang membuat ini semua terjadi, jadi jangan memutar balik fakta. Kamu mau playing victim. Heh?”
Aina tidak menjawab. Ia sudah tahu akan ke arah mana percakapan suaminya kali ini.
“Wulan memang istri keduaku, tapi setidaknya dia tidak membohongiku seperti kamu. Lagipula dia mantan pacarku. Harusnya aku menikahinya dulu, bukan kamu!!” Kini Fakhri berkata sambil menyentil kening Aina dengan keras.
Aina meringis. Bukan sentilan Fakhri yang membuat Aina kesakitan, tapi ucapan Fakhri yang tajam telah mengiris ulu hatinya. Apa memang begini rasanya menjadi pendusta? Tak pernah bisa mendapat pengampunan apalagi hanya sekedar membela haknya.
“Udah, Mas. Lebih baik kita cari tempat lain saja. Males banget aku ketemu dia.” Wulan bersuara.
Fakhri mengangguk sambil menarik napas panjang. Kemudian tanpa berkata apa-apa, Fakhri mengajak Wulan berlalu pergi meninggalkan kafe tersebut.
Aina terdiam sambil menarik napas panjang. Kedua tangannya terkepal seakan sedang menahan amarah. Untung saja keadaan kafe itu masih sepi. Kalau tidak, dia pasti sangat malu. Aina duduk kembali ke tempatnya, menunduk sambil mencoba menata hatinya yang semakin berantakan.
Apa mungkin selamanya Fakhri tidak akan pernah memaafkannya? Padahal Aina ingin sekali duduk berdua, bicara dari hati ke hati dan menjelaskan semuanya. Namun, jangankah duduk berdua, melihatnya saja Fakhri seakan muak.
Lamunan Aina terinterupsi oleh bunyi dering ponselnya. Aina langsung meraih ponsel di tas dan melihat nomor klien yang menghubunginya tadi tertera di layar.
“Iya, Pak. Saya sudah di posisi,” jawab Aina dengan ramah.
Sebisa mungkin ia mengubah suasana hatinya. Ini proyek pertamanya setelah beberapa saat vakum karena harus menjaga Zafran sakit tempo hari.
“Iya, Bu Aina. Namun, sepertinya saya tidak bisa datang. Jadi biar bos saya langsung yang menemui Anda,” ujar suara di seberang.
Aina tercenung beberapa saat. Memang yang selama ini menghubunginya bukan pemilik perusahan itu. Namun, bagi Aina itu tak masalah. Toh dengan begitu dia bisa lebih mudah berkerja.
“Iya, Pak gak masalah. Saya akan tunggu.”
Aina sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponselnya dan bersiap menunggu siapa saja yang akan datang hari ini menemuinya.
“Aina … .” Sebuah suara memanggil Aina.
Perlahan Aina mendongak, matanya sontak bersiroboh dengan mata berwarna hazel di depannya. Aina mengerjap berulang, tertegun di tempatnya sambil menelan saliva.
“Masih ingat aku, Aina?” Kembali suara itu bertanya.
Aina tidak bersuara, tapi buru-buru menunduk. Bagaimana mungkin dia tidak mengingat pria di depannya ini? Pria yang pernah melalui malam panas bersamanya. Pria yang tanpa sengaja menumpahkan benihnya di rahim Aina. Pria yang selama ini selalu ingin dilupakan Aina.
“Ma—maaf … aku … aku sedang berjanji bertemu klien. Kita tidak seharusnya ---”
“Aku tahu, Aina.”
Alih-alih pergi menuruti keinginan Aina. Pria itu malah duduk di hadapan Aina. Aina terperanjat. Dengan mata membola ia menatap pria manis itu tanpa kedip. Seakan tahu tanya di mata Aina, pria itu kembali bersuara.
“Apa Pak Hasan tidak memberitahu jika aku klien yang kamu maksud itu?”
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,