Madeline tiba di apartemen bersama Sean. Mereka berdiri di depan pintu apartemen, lampu lorong yang redup menciptakan suasana yang sedikit tegang.
"Kau mau mampir?" tanya Madeline sambil menoleh ke arah Sean. Suaranya terdengar ragu dan gugup."Kenapa harus tanya?" balas Sean dengan senyum tipis di wajahnya. Dia tampak tenang dan santai, seolah-olah memang sudah seharusnya Madeline membiarkan dia masuk.Madeline tampak ragu untuk membuka pintu apartemen. Tangannya berhenti di gagang pintu, tidak yakin apakah harus membukanya atau tidak.Sean kemudian memegang tangan Madeline. "Aku mengganggumu?""Tidak, bukan begitu." Madeline menggeleng cepat. Segera dia tepis pikirannya dan segera memasukkan kode kunci."Ayo masuk." Pintu terbuka, Madeline empersilakan Sean untuk masuk lebih dulu.Sean pun masuk dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sofa berwarna putih yang terlihat agak kotor."Aku akan buatkan minuman untukmu," kata Madeline sambil bergerak menuju dapur kecil di belakang ruangan.Madeline melangkah menuju dapur, untuk membuatkan teh bagi Sean. Dengan gerakan yang terlatih, dia mengambil ketel dan mulai memanaskan air di kompor.Sementara menunggu air mendidih, Madeline menggelung rambutnya yang panjang dan ikal yang dirasa mengganggu karena panas yang ditimbulkan oleh kompor. Dia merasa lebih nyaman setelah rambutnya terikat rapi.Tiba-tiba, perempuan itu merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tangan seorang pria perlahan berada di perutnya. Dia bisa merasakan hangat dan kekuatan dari tangan itu, membuat jantungnya berdetak lebih kencang.Sean yang melakukannya. Dia menempelkan dagu di pundak Madeline dengan lembut, menghirup aroma tubuh Madeline dengan dalam seolah mencoba memahami esensi dari wanita itu melalui aroma tubuhnya.Madeline terdiam sejenak, tidak tahu harus bagaimana reaksi nya. Dia memegang tangan Sean seperti ingin menyingkirkannya tetapi tidak ada tenaga yang keluar dari dirinya, hanya bisa memegang erat-erat."Sean?" Madeline sedikit gemetar. "Apa yang kau lakukan?"Suasana menjadi agak canggung. Madeline memilih untuk diam saja ketika Sean tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya. Mereka berdua berdiri di dapur yang sempit, dengan kondisi ketel yang hampir mendidih.Beberapa detik kemudian, Sean membalik tubuh Madeline hingga mereka saling berhadapan. Mata mereka bertemu dan dalam sekejap suasana menjadi semakin tegang."Hari ini kau kenapa?" tanya Sean dengan nada khawatir.Madeline tergagap mendengar pertanyaan itu. "Apa maksudmu?" balasnya sambil mencoba untuk bersikap santai. "Aku baik-baik saja," lanjut Madeline, berusaha meyakinkan Sean bahwa dia benar-benar baik-baik saja."Tidak, aku rasa ada yang berbeda denganmu," ujar Sean tanpa melepas tatapan dari Madeline. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari sikap kekasihnya hari ini."Mungkin aku cuma kelelahan karena ada banyak naskah yang harus aku kerjakan," alasan Madeline sambil mengalihkan pandangannya dari mata Sean.Sean kemudian memegang wajah Madeline dengan lembut dan mengatakan, "Hari ini bahkan kau tidak ramah dengan semua orang. Kau berbeda.""Itu cuma perasaanmu," balas Madeline sambil berusaha menutupi perasaannya. Dia tahu bahwa dia sedang mencoba menipu dirinya sendiri dan juga Sean, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain itu.Tidak mungkin Madeline mengakui bahwa dia merasa bersalah karena semalam telah bercinta dengan kakaknya Sean. Rasa bersalah itu seperti belenggu yang terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa tidak nyaman dan gelisah.Madeline mendorong Sean perlahan, berusaha menciptakan jarak antara mereka. "Aku akan buatkan teh," ucapnya sambil berbalik menuju kompor.Namun Sean kembali menahan Madeline. Dengan tangan kirinya, dia mematikan kompor yang masih menyala. Api yang tadinya merah dan panas seketika padam, meninggalkan suasana hening di dapur kecil itu."Sean?" Madeline semakin bingung dengan sikapnya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara menghadapi situasi ini.Tiba-tiba saja, tanpa ada peringatan atau pertanda apa pun, Sean mencium bibir Madeline. Ciuman itu datang begitu cepat sehingga Madeline tidak sempat bereaksi atau menolaknya. Semua menjadi begitu rumit dan sulit dipahami dalam hitungan detik saja.Belum merasa cukup, Sean menarik Madeline dan mengajaknya ke sofa. Madeline masih dalam keadaan bingung, tetapi dia tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tiba-tiba saja, Sean mendorongnya perlahan hingga berbaring di sofa.Sean mulai mencium Madeline dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Mulai dari kecupan ringan di bibir yang seperti menyentuh permukaan air tenang, hingga mereka saling bertukar napas dalam ritme yang sama.Madeline hampir menyebut nama Sean, tetapi bibirnya terkatup lagi dengan lumatan lembut kekasihnya itu.Keintiman mereka semakin dalam, seiring dengan berjalannya waktu. Bibir mereka saling bertemu dan bercengkerama dalam harmoni yang sempurna, seperti dua orang yang tengah menari.Madeline membiarkan semua ini terjadi. Dia merasa seolah-olah sedang terbawa arus kuat dari sungai cinta yang tidak bisa ditahan lagi.Namun, tiba-tiba saja bayangan Darren muncul di pikiran Madeline. Kenangan tentang Darren membuat jantungnya berdetak kencang dan pikirannya menjadi kacau.Saat ciuman mereka semakin membara dan intensitasnya semakin meningkat, Madeline mendorong Sean cukup kuat supaya dia menjauh dari dirinya."Hentikan!" Madeline menjauh saat dia mengambil napas.Sean, dengan bibirnya yang masih basah dari ciuman tadi, cukup terkejut dengan reaksi Madeline. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi dan mengapa Madeline tiba-tiba berubah sikap.Madeline sendiri merasa syok dengan aksinya barusan. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba untuk menenangkan diri dan merangkai kata-kata dalam pikirannya."Maaf, Sean," ucap Madeline sambil menurunkan tangannya dari wajah "aku tidak bermaksud untuk merusak suasana hatimu."Sean hanya bisa menghela napas panjang. Dia kecewa dengan sikap kekasihnya ini."Aku akan pulang," ujar Sean sambil berdiri dari sofa "kapan-kapan saja kita minum teh bersama."Mendengar itu, Madeline bangun dengan cepat. "Tidak, Sean." Wanita itu menahan lengan Sean "jangan marah denganku."Sean sudah sadar kalau ada yang salah dengan sikap kekasihnya ini. Sesuatu yang berbeda dan dia ingin tahu apa itu."Kalau begitu jujur denganku, Mady!" pinta Sean sambil menatap mata Madeline dengan serius. Dia ingin mendapatkan jawaban jujur dari wanita di depannya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Katakan ada apa denganmu hari ini?""Tidak ada apa-apa." Madeline tetap tidak bisa mengatakannya.Sean menarik sebelah sudut bibirnya, membentuk senyum sinis yang penuh arti. "Kalau begitu, memang kau berbohong," kata Sean dengan nada datar penuh penekanan.Madeline mengerutkan alis, matanya memandang ke segala arah seolah mencari jalan keluar dari situasi ini. Saat dia belum bisa menemukan jawaban yang pas, masih ada 'kejutan' lagi dari Sean."Aku mencium aroma lain di sofamu!" ujar Sean tiba-tiba.Madeline terkejut mendengar pengakuan Sean. Matanya membulat, alisnya terangkat tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh dahi. Mulutnya sedikit terbuka, seolah dia ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Tubuhnya menjadi kaku dan jantungnya berdetak kencang seperti drum yang dipukul dengan keras.Madeline duduk termenung sendiri setelah Sean pergi. Dia menyadari kalau ada pria yang datang ke sini. Lantas apakah Sean juga bisa mereka kalau aroma tubuh yang tertinggal ini adalah aroma tubuhnya Darren?"Apa yang harus aku lakukan?" Madeline bergumam sendiri. Dia tidak masalah kalau Sean benar marah dan meninggalkannya. Namun, yang sudah-sudah pria itu bisa bersikap begitu baik. Ini yang membuat Madeline akan semakin merasa bersalah. Bagaimana dia harus menjelaskannya nanti jika Sean mau memaafkan? Haruskah dia mengatakannya langsung dan membiarkan hati laki-laki itu hancur lalu hubungan mereka ini berakhir?Tidak. Madeline rasa itu bukan ide baik. Sebaiknya Madeline menunggu waktu yang tepat untuk bisa menjelaskan. Pasti akan ada kesempatan untuknya dan dia akan pilih momen di mana itu tidak akan menghancurkan perasaan Sean.*Setelah melalui hari yang panjang, Cressida kembali ke rumahnya. Setidaknya, dia tahu di rumahnya yang mewah di pusat kota Manhattan, New York, akan me
Sean memegang setir mobil, termenung cukup lama. Dia memandangi mansion Darren yang megah dari balik kaca mobilnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan dan bagaimana dia harus bertindak.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sean akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menuju mansion tersebut. Langkahnya terasa berat.Begitu masuk ke dalam mansion, seorang wanita berseragam kerja berwarna putih dengan apron hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya menyambut Sean.Dia Josy. Wanita bermata biru cerah dan selalu tampak penuh semangat. Wajahnya tampak awet muda meski kerutan sudah mulai tampak di beberapa bagian wajahnya."Kakakku ada?" tanya Sean."Ada, Tuan Muda," jawab Josy sambil memberikan senyum hormat kepada Sean. Dia kemudian membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat sebelum mempersilakan Sean untuk masuk lebih jauh ke dalam mansion.Darren duduk dengan tenang di ruang santainya yang luas dan nyaman bergaya klasik Eropa, dengan dinding-dindingnya dilapisi
Madeline menemui Sean segera setelah dia menerima telepon. Mereka bertemu di taman kota. Bagi Sean, tempat itu cukup romantis dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan gemerlap di kejauhan. Pohon-pohon besar berdiri tegak, memberikan nuansa hening dan damai. Di malam hari, suasananya menjadi lebih tenang dan indah dengan pemandangan langit malam yang ditaburi bintang. "Maafkan aku, Mady," ujar Sean dengan nada serius. Madeline diam. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena Sean tidak tahu bahwa kekasih yang dipujanya ini telah bercinta dengan kakaknya sendiri.Rasa bersalah mendera Madeline. Dia tidak kuat menyimpan kebohongan ini lagi. Hatinya hancur saat membayangkan betapa sakitnya Sean jika mengetahui semua ini. Sean adalah laki-laki baik. Mencintainya tanpa syarat, dan memberikan segalanya untuk membuatnya bahagia. Dan Madeline? Dia telah mengkhianati cinta mereka dengan cara paling buruk yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu menjadi semakin dingin seiring waktu be
Madeline merasa ketakutan yang begitu mendalam saat laki-laki tersebut semakin memperketat cengkeramannya dan memutar tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar. Dia berteriak dengan maksud memohon agar nyawanya tidak diambil. "Jangan bunuh aku!"Kejutan yang tidak terduga melanda Madeline saat dia melihat wajah pria itu dengan jelas. "D-Darren?" Madeline berkata dengan suara yang gemetar, matanya masih memancarkan ketakutan yang mendalam. "Ini aku, Madeline." Dengan napas tersengal berusaha menenangkan Madeline.Madeline merasakan betapa takutnya dirinya saat itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi dan mengalir deras di pipinya. Dalam keadaan yang rapuh, dia memeluk Darren dengan kuat, seolah mencari perlindungan. Darren dengan lembut mengusap bahu Madeline. "Jangan takut, aku di sini untuk melindungimu." "Aku takut," ucap Madeline dengan suara terputus-putus, masih dalam ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dal
Cressida merasa begitu senang ketika melihat Darren memasuki ruangan. Dia segera berdiri dari kursinya, matanya berkilauan dengan antusiasme dan senyuman lebar terpampang di wajahnya.Namun, Darren tidak membalas senyumnya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya tegang dan matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Cressida tidak menaruh curiga mengapa Darren tidak senang melihatnya."Apa yang kau lakukan pada Madeline!" Darren berteriak, suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat Cressida terkejut."Apa?" Cressida menggelengkan kepalanya, tidak mengerti. Dia menatap Darren dengan tatapan bingung."A-ku tidak melakukan apa-apa," jawab Cressida, suaranya gemetar. Dia tidak mengerti mengapa Darren begitu marah padanya. Dia berusaha mencari tahu apa yang dia lakukan salah, tetapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Darren menggenggam sesuatu di tangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka layar ponsel dan menunjukkan sebuah foto kepada Cressida. Foto itu adalah foto seoran
Ellena duduk di sisi tempat tidur putrinya. Dia menatap Cressida yang masih berbaring tak sadarkan diri, hatinya remuk melihat keadaan putrinya. "Cressida, Sayang, kenapa kau melakukan ini?" bisiknya lembut, suaranya serak oleh tangis. Matanya berkaca-kaca, menatap putrinya yang tampak begitu rapuh di atas tempat tidur rumah sakit. Darren juga ada di sana. Dia menatap Cressida, matanya terasa dingin dan tak berperasaan. Anehnya, dia tidak merasa bersalah sama sekali atas percobaan bunuh diri yang dilakukan Cressida. Tidak mau dianggap sebagai monster, Darren dengan ragu-ragu meraih dan menyentuh tangan Cressida yang terbaring lemas. "Putriku hampir memotong nadinya karenamu!" pekik Ellena tiba-tiba menyalahkan Darren atas kejadian ini. "Tega sekali kau mengakhiri hubungan kalian!" Darren hanya bisa menghela napas, mencoba menahan amarah yang mulai membanjiri hatinya. Dia tidak bersalah, tetapi dipojokkan. "Sikap Cressida yang keterlaluan," balas Darren dengan nada datar, mencoba
"Darren, aku dengar kau tidak pernah menemui Cressida selama dia sakit?" Nyonya Sinclair baru kembali dari Hongkong beberapa hari kemudian langsung menuju Darren di kediamannya. Tidak peduli kalau hari sudah larut malam, dia tetap ke sana. Karena wanita itu tahu jika matahari sudah terbit, anaknya akan menjadi manusia paling sibuk yang tidak akan punya waktu untuk ditemui.Malam itu, Darren sebenarnya juga lelah. Sudah seharian penuh dia bekerja dan harus menahan sakit hati sekaligus sakit kepala saat mendengarkan Sean yang mengatakan semua tentang Madeline. Dunia terasa seperti akan menghancurkannya di detik-detik seperti ini.Josy malam itu harus terjaga kembali untuk membuatkan minuman bagi Nyonya Besar tersebut. Ini sebuah kejutan yang tidak menyenangkan. Darren ganya bisa mendengkus menyambut ibunya di ruang tamu."Aku tidak perlu menjenguknya." Jawaban Darren membuat Nyonya Sinclair terkejut. "Darren, kau ini!" Nyonya Sinclair mencoba menahan marahnya. "Jangan sampai ayahmu y
Cahaya lampu yang redup dan suara embusan angin malam dari jendela terbuka semakin menambah suasana menjadi semakin intens. "Mady—" ucap Darren, matanya menatap Madeline dengan tatapan hangat, penuh cinta. Rasa cintanya begitu jelas terpancar dari kedua mata birunya yang dalam."Kau tidak bisa menolakku, Mady," ujar Darren dengan tegas. Matanya menatap Madeline dengan penuh hasrat, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam jiwa perempuan itu. Suaranya berat dan penuh dengan emosi, membuat detak jantung Madeline berlari kencang."Ya … aku tidak bisa menolakmu," ujar Madeline dengan suara lemah. Dia merasa terpaku, tidak bisa melawan godaan Darren. Meski berusaha menolak, tetapi hatinya berbicara sebaliknya. Dia merasa seperti terhipnotis oleh tatapan Darren, tidak mampu melawan."Mady, kau begitu cantik," ujar Darren, matanya memandangi Madeline dengan penuh kekaguman. Dia merasa beruntung bisa bersama Madeline, perempuan yang selalu ada dalam mimpinya."Mady, aku janji akan membahagiakan