แชร์

Mencium Aroma Lain di Sofa

ผู้เขียน: Yurriansan
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-10-23 20:27:46

Madeline tiba di apartemen bersama Sean. Mereka berdiri di depan pintu apartemen, lampu lorong yang redup menciptakan suasana yang sedikit tegang.

"Kau mau mampir?" tanya Madeline sambil menoleh ke arah Sean. Suaranya terdengar ragu dan gugup.

"Kenapa harus tanya?" balas Sean dengan senyum tipis di wajahnya. Dia tampak tenang dan santai, seolah-olah memang sudah seharusnya Madeline membiarkan dia masuk.

Madeline tampak ragu untuk membuka pintu apartemen. Tangannya berhenti di gagang pintu, tidak yakin apakah harus membukanya atau tidak.

Sean kemudian memegang tangan Madeline. "Aku mengganggumu?"

"Tidak, bukan begitu." Madeline menggeleng cepat. Segera dia tepis pikirannya dan segera memasukkan kode kunci.

"Ayo masuk." Pintu terbuka, Madeline empersilakan Sean untuk masuk lebih dulu.

Sean pun masuk dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sofa berwarna putih yang terlihat agak kotor.

"Aku akan buatkan minuman untukmu," kata Madeline sambil bergerak menuju dapur kecil di belakang ruangan.

Madeline melangkah menuju dapur, untuk membuatkan teh bagi Sean. Dengan gerakan yang terlatih, dia mengambil ketel dan mulai memanaskan air di kompor.

Sementara menunggu air mendidih, Madeline menggelung rambutnya yang panjang dan ikal yang dirasa mengganggu karena panas yang ditimbulkan oleh kompor. Dia merasa lebih nyaman setelah rambutnya terikat rapi.

Tiba-tiba, perempuan itu merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tangan seorang pria perlahan berada di perutnya. Dia bisa merasakan hangat dan kekuatan dari tangan itu, membuat jantungnya berdetak lebih kencang.

Sean yang melakukannya. Dia menempelkan dagu di pundak Madeline dengan lembut, menghirup aroma tubuh Madeline dengan dalam seolah mencoba memahami esensi dari wanita itu melalui aroma tubuhnya.

Madeline terdiam sejenak, tidak tahu harus bagaimana reaksi nya. Dia memegang tangan Sean seperti ingin menyingkirkannya tetapi tidak ada tenaga yang keluar dari dirinya, hanya bisa memegang erat-erat.

"Sean?" Madeline sedikit gemetar. "Apa yang kau lakukan?"

Suasana menjadi agak canggung. Madeline memilih untuk diam saja ketika Sean tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya. Mereka berdua berdiri di dapur yang sempit, dengan kondisi ketel yang hampir mendidih.

Beberapa detik kemudian, Sean membalik tubuh Madeline hingga mereka saling berhadapan. Mata mereka bertemu dan dalam sekejap suasana menjadi semakin tegang.

"Hari ini kau kenapa?" tanya Sean dengan nada khawatir.

Madeline tergagap mendengar pertanyaan itu. "Apa maksudmu?" balasnya sambil mencoba untuk bersikap santai. "Aku baik-baik saja," lanjut Madeline, berusaha meyakinkan Sean bahwa dia benar-benar baik-baik saja.

"Tidak, aku rasa ada yang berbeda denganmu," ujar Sean tanpa melepas tatapan dari Madeline. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari sikap kekasihnya hari ini.

"Mungkin aku cuma kelelahan karena ada banyak naskah yang harus aku kerjakan," alasan Madeline sambil mengalihkan pandangannya dari mata Sean.

Sean kemudian memegang wajah Madeline dengan lembut dan mengatakan, "Hari ini bahkan kau tidak ramah dengan semua orang. Kau berbeda."

"Itu cuma perasaanmu," balas Madeline sambil berusaha menutupi perasaannya. Dia tahu bahwa dia sedang mencoba menipu dirinya sendiri dan juga Sean, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain itu.

Tidak mungkin Madeline mengakui bahwa dia merasa bersalah karena semalam telah bercinta dengan kakaknya Sean. Rasa bersalah itu seperti belenggu yang terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa tidak nyaman dan gelisah.

Madeline mendorong Sean perlahan, berusaha menciptakan jarak antara mereka. "Aku akan buatkan teh," ucapnya sambil berbalik menuju kompor.

Namun Sean kembali menahan Madeline. Dengan tangan kirinya, dia mematikan kompor yang masih menyala. Api yang tadinya merah dan panas seketika padam, meninggalkan suasana hening di dapur kecil itu.

"Sean?" Madeline semakin bingung dengan sikapnya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara menghadapi situasi ini.

Tiba-tiba saja, tanpa ada peringatan atau pertanda apa pun, Sean mencium bibir Madeline. Ciuman itu datang begitu cepat sehingga Madeline tidak sempat bereaksi atau menolaknya. Semua menjadi begitu rumit dan sulit dipahami dalam hitungan detik saja.

Belum merasa cukup, Sean menarik Madeline dan mengajaknya ke sofa. Madeline masih dalam keadaan bingung, tetapi dia tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tiba-tiba saja, Sean mendorongnya perlahan hingga berbaring di sofa.

Sean mulai mencium Madeline dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Mulai dari kecupan ringan di bibir yang seperti menyentuh permukaan air tenang, hingga mereka saling bertukar napas dalam ritme yang sama.

Madeline hampir menyebut nama Sean, tetapi bibirnya terkatup lagi dengan lumatan lembut kekasihnya itu.

Keintiman mereka semakin dalam, seiring dengan berjalannya waktu. Bibir mereka saling bertemu dan bercengkerama dalam harmoni yang sempurna, seperti dua orang yang tengah menari.

Madeline membiarkan semua ini terjadi. Dia merasa seolah-olah sedang terbawa arus kuat dari sungai cinta yang tidak bisa ditahan lagi.

Namun, tiba-tiba saja bayangan Darren muncul di pikiran Madeline. Kenangan tentang Darren membuat jantungnya berdetak kencang dan pikirannya menjadi kacau.

Saat ciuman mereka semakin membara dan intensitasnya semakin meningkat, Madeline mendorong Sean cukup kuat supaya dia menjauh dari dirinya.

"Hentikan!" Madeline menjauh saat dia mengambil napas.

Sean, dengan bibirnya yang masih basah dari ciuman tadi, cukup terkejut dengan reaksi Madeline. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi dan mengapa Madeline tiba-tiba berubah sikap.

Madeline sendiri merasa syok dengan aksinya barusan. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba untuk menenangkan diri dan merangkai kata-kata dalam pikirannya.

"Maaf, Sean," ucap Madeline sambil menurunkan tangannya dari wajah "aku tidak bermaksud untuk merusak suasana hatimu."

Sean hanya bisa menghela napas panjang. Dia kecewa dengan sikap kekasihnya ini.

"Aku akan pulang," ujar Sean sambil berdiri dari sofa "kapan-kapan saja kita minum teh bersama."

Mendengar itu, Madeline bangun dengan cepat. "Tidak, Sean." Wanita itu menahan lengan Sean "jangan marah denganku."

Sean sudah sadar kalau ada yang salah dengan sikap kekasihnya ini. Sesuatu yang berbeda dan dia ingin tahu apa itu.

"Kalau begitu jujur denganku, Mady!" pinta Sean sambil menatap mata Madeline dengan serius. Dia ingin mendapatkan jawaban jujur dari wanita di depannya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Katakan ada apa denganmu hari ini?"

"Tidak ada apa-apa." Madeline tetap tidak bisa mengatakannya.

Sean menarik sebelah sudut bibirnya, membentuk senyum sinis yang penuh arti. "Kalau begitu, memang kau berbohong," kata Sean dengan nada datar penuh penekanan.

Madeline mengerutkan alis, matanya memandang ke segala arah seolah mencari jalan keluar dari situasi ini. Saat dia belum bisa menemukan jawaban yang pas, masih ada 'kejutan' lagi dari Sean.

"Aku mencium aroma lain di sofamu!" ujar Sean tiba-tiba.

Madeline terkejut mendengar pengakuan Sean. Matanya membulat, alisnya terangkat tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh dahi. Mulutnya sedikit terbuka, seolah dia ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Tubuhnya menjadi kaku dan jantungnya berdetak kencang seperti drum yang dipukul dengan keras.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Bersatu Kembali

    Darren sontak berdiri dengan ekspresi terkejut. "Sial!" Dia tanpa pamit langsung pergi begitu saja.Lulu menatap kepergian bosnya hingga hilang dari pandangannya. "Kamu ke mana saja, sih? Aku khawatir di sini, tapi kamu malah mengabaikanku!" teriak Crasida di telepon saat Darren mencoba menghubunginya di dalam perjalanan menuju ke Rumah sakit."Maaf, sayang. Aku akan segera ke sana." Darren segera menuju ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia masih memikirkan Michael. Ia tak percaya Michael akan mengalami kecelakaan karena tidak ada tanda-tanda akan terjadi hal buruk. Ia berdoa semoga Michael dalam keadaan baik-baik saja. Setelah terdiam sambil mengemudi beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di Rumah sakit. Darren bergegas menemui Crasida yang telah menunggunya. Ternyata Sean telah lebih dahulu berada di sana. Walau sempat kesal dan masih marah pada adiknya itu, ia tak ingin dulu mengungkit masalah itu. "Bagaimana keadaan putra kita?" "Dia butuh banyak darah.

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Tidak Bisa Diam Lagi

    Madeline memeluk erat putranya, ia enggan meninggalkan mobil karena memikirkan keselamatan putra dan dirinya sementara Sean bergeming tanpa memberikan rasa kasihan padanya. Madeline menunggu beberapa saat untuk memohon agar Sean berubah pikiran, hanya lewat tatapannya yang tak berdaya, tetapi Sean masih sama, tidak peduli padanya. Akhirnya Madeline terpaksa turun dari mobil dan tidak butuh waktu lama Sean benar-benar meninggalkannya di jalan sepi itu.Madeline menangis ketika putranya bertanya, "Mama, apa kita akan menunggu di sini? Dylan takut, Ma." Madeline, mencoba menahan suara isaknya agar dapat menjawab Sean, "Sebentar lagi kita pulang. Kita tunggu taksi dulu, ya? Untuk sementara kita jalan dulu ke tempat yang ramai." "Apa Mama, bisa?" Ia menatap luka di lutut ibunya.Madeline tersenyum, sembari menganggukkan kepala. "Ayo, kita jalan!" Darren kehilangan jejak mobil Sean. Hampir saja ia memutuskan untuk kembali ke rumah, tapi saat melihat seorang perempuan dengan putra kecil

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Menemukannya

    "Om, mau ketemu mama, boleh?" tanya Darren, sambil melirik ke kaca mobil. Dia melihat samar-samar sosok Madeline di sana, sedang bersandar pada bangku mobil. Sikap duduk perempuan itu masih sama, masih melindungi identitasnya. "Mama, lagi sakit, Om. Tidak bisa." "Sebentar saja. Om, cuma mau berkenalan sama mamamu." Setelah berkata, dia langsung menuju ke lain sisi pintu mobil, di mana tempat Madeline duduk. "Tapi kata Om Sean, mama sedang terluka." Ia tidak ingin ibunya diganggu apalagi ia mengira Ibunya kini tengah tidur. Ia juga cemas kalau sikap Sean mungkin sama seperti Crasida yang tidak setuju anaknya berteman dengan sembarangan orang. Ia tidak mau ibunya dimarahi lagi. Meski tadi Darren telah bersikap baik padanya, tapi dia perlu waspada. "Dia lagi tidur, Dar," kata Sean, saat Darren akan mengetuk kaca pintu mobil, tapi Darren tidak peduli, Darren membungkuk melihat kaca. "Aku cuma mau melihatnya. Bisa kamu buka?" "Kami sedang terburu-buru," jawab Sean agak kesal.Darren

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Pertemuan

    Sean menatap wajah Madeline yang masih belum menjawab keinginannya untuk ikut menjemput Dylan ke rumah Michael. Terus terang ia begitu ingin lebih lama bersama perempuan itu dan bila bisa tidak akan terpisah lagi. "Kenapa Mady? Apa aku sudah mengganggumu sampai kamu tidak mau menerima bantuanku?""Tidak sama sekali." Madeline menggeleng lemah, sedikit merasa tidak nyaman dengan perkataan Sean barusan. "Lalu?" Sean mengerutkan keningnya, alisnya hampir bersatu karena merasa perempuan itu telah menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku cuma tidak mau merepotkan kamu saja." Dia tersenyum hambar, berharap Sean tidak memaksanya lagi."Aku bertanggung jawab atas luka yang kau dapatkan itu. Daripada terjadi apa-apa, lebih baik aku antar kamu ke sana." "Tapi, Se--""Eits! Jangan membantah! Aku akan merasa bersalah bila kamu tidak mau menerima bantuanku," potong Sean sambil memelas.Madeline terdiam sejenak sebelum ia menganggukkan kepalanya. Ia menarik napas sedalam-dalamnya untuk mengurangi be

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Mantan

    Sosok lelaki yang tidak asing bagi Madeline.“Itu Sean…” lirih Madeline mengucek matanya merasa penglihatannya tidak baik-baik saja. Benarkah itu Sean? Lelaki bertubuh sempurna dengan balutan kemeja berwarna hitam digulung hingga bagian siku tersebut berjalan mendekati Madeline yang berdiri termenung. Mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Mady,” panggil Sean dengan lembut, dia ingin memastikan wanita di depannya kini Madeline ataukah hanyalah halusinasinya saja. Ternyata matanya masih berfungsi dengan benar, itu beneran Madeline. Lelaki itu melayangkan sebuah senyum yang paling tulus, bibirnya merekah pertanda bahagianya bisa menemukan pujaan hatinya yang menghilang selama ini. Hatinya bersorak bahagia dipertemukan dengan sang penghuni hati. Madeline masih mematung, kakinya terasa berat untuk segera berlari menjauh dari hadapan Sean. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali di saat seperti ini. Keringat tiba-tiba mengucur deras bahkan punggungnya sudah mulai

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Pertemuan Tidak Terduga

    Dilan menatap lama Michael. “Emm, aku harus bilang semuanya kepada ibuku dengan siapa aku berteman, tapi kamu apakah benar ingin berteman denganku?” tanya Dilan bersungguh-sungguh tapi Michel langsung menyambut dengan anggukan kepala yang mantap. “Karena kau adalah orang yang mau membelaku saat Bobby dan teman-temannya nakal,” jawab Michael dengan sejujurnya. Belum sempat Dilan berbicara ternyata di seberang jalan, Madeline telah menunggu kedatangannya. “Aku duluan, besok kita bertemu lagi,” ucap Dilan berlari menemui ibunya. “Halo, Jagoan kecil,” sapa Madeline berjongkok agar mereka sama tingginya. “Hai, Mom, aku tadi kena hukuman dari Miss Neona.” Dilan tidak sabar ingin bercerita dia membuka percakapan tentang hukumannya tadi. “Oh, begitu, kita lanjut cerita di rumah, sekarang pulang dulu.” Bocah kecil sekolah TK tersebut menurut apa kata ibunya. Mereka pulang ke apartemen bersama-sama. Sore harinya. Madeline telah selesai membuat makan makan untuk mereka berdua. Dilan masi

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status