Share

Siasat Licik Wanita yang Kecewa

"Aku akan membawamu ke klinik." Cressida membantu Darren berjalan. Dia memanggil pengawas kuda untuk mengurus Brown dan juga Chloe.

Ben, dokter yang ditugaskan di klinik itu cukup terkejut saat melihat Darren masuk ke ruangannya dengan bantuan Cressida. 

"Darren, apa yang terjadi?" tanya dokter yang cukup mengenal Darren sebagai seorang penunggang kuda profesional dan mengetahui bahwa dia sangat terampil dalam olahraganya.

"Dia cedera." Cressida yang menjelaskan.

"Bagaimana bisa?" Ben bertanya kembali.

"Tentu saja bisa." Cressida yang masih mewakili  Darren untuk menjawab. "Hari ini dia mau jadi pahlawan bagi seorang gadis."

Darren mencebik. "Mulutku tidak cedera. Masih bisa dipakai untuk bicara.  Jadi, kau tidak perlu mewakiliku untuk menjawab pertanyaan Ben!"

Wah, sepertinya mereka sedang bertengkar. 

"Mari aku periksa." Ben meminta Darren agar duduk dan dia akan memeriksa cedera tangan pada pria itu.

Ben melakukan serangkaian pemeriksaan awal pada Darren. Dia memeriksa gerakan sendi dan kekuatan ototnya serta mencari tanda-tanda pembengkakan atau hematoma. 

"Kau mau rontgen?" tanya Ben. "Kita perlu mengetahui tingkat keparahan cederamu."

 "Tidak usah." Darren menolak. "Aku hanya butuh dikompres air dingin saja."

Sementara Darren mendapatkan perawatan medis, Madeline dan Sean sedang duduk di gazebo yang terletak di sisi arena latihan berkuda. Sean bilang di sana termasuk tempat favoritnya untuk beristirahat dan menikmati minuman dingin setelah sesi latihan yang panas.

Madeline memperhatikan pemandangan langsung ke arena latihan, sehingga mereka bisa menonton para penunggang lainnya berlatih sambil menikmati minuman mereka. Suasana yang tenang dan embusan angin sepoi-sepoi membuat dia setuju kalau ini tempat terbaik.

"Bagaimana tubuhmu?" Sean bertanya.

Madeline membalas dengan senyuman lebar. "Aku baik-baik saja. Jangan mencemaskanku."

"Aku minta maaf soal Green. Aku kesulitan mengendalikannya tadi."

Madeline dengan tenang menenangkan Sean, "Aku baik-baik saja, jangan khawatir dan aku tidak menyalahkanmu."

Sean mengukir senyum di bibirnya. Madeline itu benar-benar cantik dan sangat pengertian. Hati Sean berbunga-bunga dan pria itu ingin sekali mengajak Madeline untuk melakukan satu hal yang manis.

Madeline memejamkan mata saat Sean mungkin saja akan mencium bibirnya. Tanpa disadari, perempuan itu benar-benar tegang. Tangannya terkepal seakan dia sedang melakukan penolakan pada Sean.

Tiba-tiba, getaran ringan dari ponsel Sean mengubah suasana. Dia membuka pesan singkat yang baru saja diterimanya. Pesannya mengabarkan bahwa Darren dalam kondisi baik-baik saja.

Sean segera membagikan informasi tersebut kepada Madeline, "Kakakku juga baik-baik saja."

Madeline tampak acuh tak acuh dengan berita tersebut. Dia hanya mengangguk pelan dan kemudian menatap ke arah yang lain tanpa menunjukkan ekspresi kekhawatiran atau simpati.

Melihat reaksi Madeline yang tidak biasa itu, Sean merasa ada sesuatu yang aneh. Biasanya Madeline akan lebih peduli pada siapa pun yang dekat dengannya. Apalagi, Darren itu sudah menyelamatkannya. Apakah dia tidak mau lebih peduli padanya?

Dengan rasa penasaran yang membara, Sean bertanya kepada Madeline, "Ada apa denganmu, Madeline? Mengapa sikapmu terhadap Darren begitu acuh?"

Madeline menatap Sean sejenak sebelum menjawab dengan nada datar, "Tidak ada apa-apa."

Namun jawaban Madeline tidak cukup meyakinkan Sean. Ada sesuatu dalam nada suaranya dan ekspresi wajahnya yang membuatnya merasa bahwa ada lebih banyak cerita di balik sikap cuek Madeline tersebut.

"Madeline," ucap Sean dengan serius. "Aku tahu ada sesuatu yang tidak kau sembunyikan. Kau dan Darren bertengkar?"

Madeline tampak tidak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut. Dia menggeleng pelan dan berkata, "Sean, aku sudah bilang tidak ada apa-apa. Jangan membahas ini lagi."

"Oke, aku tidak akan membahas ini lagi." Sean akan tutup mulut meski  rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. 

"Kau mau mengantarku pulang?" Madeline sudah tidak tahan berada di sini entah itu karena dia menyadari kalau Cressida tidak suka dengan keberadaannya atau tentang perasaannya yang tidak nyaman melihat Darren cedera seperti itu  tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali hanya dia bersikap acuh tak acuh.

"Oke, aku akan mengantarmu pulang." Sean, tidak ingin memaksa Madeline membicarakan hal yang jelas-jelas dia tidak ingin bahas. Meski rasa penasarannya belum terpuaskan, dia harus menghormati keinginan kekasihnya itu. 

"Aku akan bilang dulu dengan Cressida."

Madeline mengangguk saja.

Sean mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Cressida, 'Cres, aku akan mengantar Madeline. Tolong jaga Darren."

Cressida membaca pesan tersebut, tetap tidak membalasnya. Dia tidak terlalu peduli dengan kepergian Sean atau Madeline. Malah sebenarnya bagus kalau Madeline pergi. Dia menguras perhatian Darren.

"Madeline sudah pulang bersama Sean." Cressida memasukkan ponsel dan dia menyampaikan informasi tadi seolah menyuruh Darren jangan berharap lagi Madeline masih di sini.

Ekspresi Darren berubah seketika. Wajahnya  muram dan dia jelas tidak menyukainya. "Baguslah!" Dia hanya mendesis. 

Cressida merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Aku harap, tidak ada apa-apa di antara kalian." Cressida menunjuk Darren. "Setidaknya, kau harus ingat kalau Madeline itu kekasih adikmu."

"Kau bisa tutup mulut!" Darren sangat emosi. "Kalau sudah selesai bicara sebaiknya pergilah!"

Cressida menatap Darren dengan pandangan tajam. Dia tahu bahwa Darren sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Jangan bohongi aku, Darren," ucapnya dengan nada suara yang lebih keras dari biasanya. "Aku bisa melihat ada sesuatu yang salah di antara kalian!"

Darren tetap diam.  "Itu bukan urusanmu!"

Meski merasa tidak dihargai, Cressida tahu bahwa dia harus menjaga sikapnya. Sebagai seorang gadis dari keluarga kelas atas yang terhormat, marah dan kehilangan kendali bukanlah pilihan.

Dia berdiri dengan anggun, menarik napas dalam-dalam untuk menutupi kekecewaannya. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu!"

Cressida kemudian memanggil pelayannya dengan sebuah bel kecil yang selalu dia bawa. Julian segera muncul, membungkuk hormat dan berkata, "Ya, Nona Cressida?"

"Siapkan mobil, aku akan pulang." Cressida ketus.

"Segera, Nona," balas Julian sambil membungkuk lagi. Pria itu kemudian bergerak cepat dan efisien untuk menyiapkan mobil.

Rolls-Royce Phantom ada di depan Cressida. Sebuah simbol kemewahan dan kelas atas yang dimiliki gadis itu. Dia akan menikmati perjalanan super mewah dalam mobil berinterior kulit putih yang murni dan detail kayu mahoni di bagian dalamnya. Seandainya saja Madeline masih berada di sini, sudah pasti Cressida akan punya kesempatan untuk mengejeknya.

Julian membuka pintu belakang mobil bagi Cressida. Dia memegang tangga kecil lipat yang selalu disimpan di bagasi mobil untuk membantu Cressida naik ke dalam mobil tanpa kesulitan.

Setelah Cressida duduk dengan nyaman di jok belakang yang empuk, Julian menutup pintu dengan hati-hati. Dia kemudian berjalan menuju kursi pengemudi dan memastikan bahwa semua sudah siap sebelum memulai perjalanan.

Sebelum mereka melaju keluar dari arena berkuda tersebut, Julian melihat sekilas ke arah cermin belakang untuk memastikan bahwa Cressida sudah siap untuk pulang. Ketika dia mendapatkan anggukan persetujuan dari majikannya itu, Julian menghidupkan mobil tersebut dan mereka pun mulai meninggalkan arena berkuda tersebut menuju rumah mewah milik keluarga Cressida.

"Julian!" Cressida berujar tanpa menatap sopirnya 

"Ya, Nona."

"Aku mau kau cari orang untuk mengikuti Madeline!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status