 LOGIN
LOGINSaat mereka 17 tahun dan masih sekolah, mereka pergi berkemping bersama anak-anak sekolah lainnya. Mereka kemping dekat sungai. Ketika itu Hanif sedang bermain di dekat sungai. Tba-tiba saja air sungai meluap tanpa adanya hujan. Hanif yang tidak pandai berenang terseret oleh arus yang kuat.
Arif yang melihat kejadian itu segera melompat ke sungai ingin menyelamatkan Hanif. Arif berusaha sekuat tenaga berenang untuk meraih Hanif yang terombang-ambing di bawa arus sungai. Para guru dan teman-teman yang lain berteriak ketakutan melihat Hanif yang sudah terlihat lemas. Hanif tidak sanggup bertahan lagi di bawah kuatnya arus sungai. Untung saja Arif berhasil menyelamatkan Hanif. Hanif segera diberikan pertolongan pertama. Setelah itu dia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setelah kejadian itu, Hanif berjanji kepada Arif akan mengabulkan permintaan Arif apapun itu sebagai balasan karena telah menyelamatkan nyawanya. Dia sudah berhutang nyawa kepada Arif. Jika Arif tidak menyelamatkan dia, maka dia tinggal nama saja. Arif saat itu tidak meminta apapun. Dia akan meminta jika ada yang sangat mendesak, sekarang adalah waktu yang sangat tepat untuk menagih janji itu. "Jadi, apa yang kamu inginkan?" tanya Hanif. "Hanif, aku minta maaf sebelumnya. Aku tahu kamu sudah menikah dan mempunyai istri," ujar Arif tidak enak dan tidak mempunyai pilihan lain. "Apa maksud kamu?" "Aku tahu kalau permintaan aku ini akan membuat rumah tangga kamu goyah," sambung Arif. "Apa maksud kamu. Aku sama sekali tidak paham Arif?" "Hanif, permintaan aku adalah kamu menikahi istriku, Laila," ujar Arif dengan berat. Arif meneteskan air mata. Dia juga tidak mau meninggalkan Laila. Namun tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Dia sudah punya firasat kalau umurnya tidak panjang lagi. "Kamu jangan gila!" teriak Hanif tidak terima. Permintaan Arif tidak masuk akal. Bagaimana dia menikahi istri sahabatnya sendiri. Apalagi mereka masih dalam status suami istri. "Hanif, usia aku tidak akan lama lagi. Penyakit aku sangat parah. Sebelum aku pergi, aku ingin ada yang menjaga istri aku. Aku yakin kami bisa menjaga Laila dengan baik," ujar Arif menahan rasa sakit. "Tidak, kamu pasti bisa sembuh," tolak Hanif tidak mau kehilangan Arif. "Tidak Hanif, dokter sudah bilang, peluang aku hidup sangat kecil." "Aku tidak akan mendengarkan omongan kamu. Anggap saja aku tidak dengar permintaan kamu hari ini." "Apa kamu mau mengingkari janji kamu?" tuntut Arif. "Apa permintaan kamu tidak ada yang lain? Aku sudah menikah Arif," sahut Hanif dengan berat. "Hanya itu permintaan terakhir aku. Aku tahu kamu adalah laki-laki yang baik. Kamu bisa menjaga istri kamu dengan baik. Jadi kamu juga bisa menjaga Laila dengan baik." "Arif …." "Dengarkan aku, waktu aku sudah tidak banyak lagi," potong Arif. Hanif berhenti berbicara. Dia tahu Arif memaksa diri untuk berbicara. Nafasnya mulai berat dan terputus-putus. Dia tidak mau membuang waktu Arif yang berharga. "Setelah aku meninggal dan masa iddah istri aku selesai, aku ingin saat itu kamu langsung menikah dengannya. Kamu tahu kan, aku dulu berasal dari keluarga yang miskin. Aku merintis usaha yang bersama kamu dari nol." Hanif dan Arif telah bekerja sama sejak dulu. Mereka sama-sama berpatungan membangun usaha bersama sampai sesukses sekarang. Hanif mengurus perusahaan bagian induk. Sedangkan Arif mengurus perusahaan cabang yang ada di kotanya. Sehingga perusahaan itu sebagian milik Arif. "Aku tidak ingin saat aku meninggal, keluarga paman aku mengambil semuanya. Mereka sudah berencana ingin merebut semua harta aku. Aku ingin semua harta itu harus menjadi milik Laila." Hanif sependapat dengan Arif. Semua milik Arif seharusnya menjadi milik Laila. Laila yang telah menemani Arif. Keluarga Arif tidak pernah membantu Arif sama sekali saat dia kesusahan dulu. Sekarang saat tahu Arif sekarat dan meninggalkan banyak harta warisan, mereka akan muncul dan mengaku keluarga hanya demi warisan. "Selain itu, aku ingin ada yang menjaga Laila dengan baik. Dia sudah menemani aku dari dulu. Dia perempuan yang sangat baik dan polos. Dia bisa dengan mudahnya ditipu oleh keluarga aku nanti." Hanif menatap Arif dengan berat. Rasanya ada beban berat di pundaknya. "Hanif, apakah kamu mau berjanji kalau kamu akan menikahi Laila. Jadikan Laila istri kedua kamu," bujuk Arif. "Baiklah, aku janji," sahut Hanif dengan berat. Hanif dalam hati berkali-kali meminta maaf untuk Nur. Dia harus melakukan ini. Tanpa Arif dia tidak akan pernah bertemu dengan Nur. Jadi dia ingin menjaga apa yang ingin dijaga oleh Arif. "Syukurlah kalau begitu. Sekarang aku lega. Apa kamu bisa memanggil Laila," pinta Arif. Suara Arif semakin lama semakin mengecil. Dia berharap bisa bertahan sebentar lagi. Dia ingin berbicara terlebih dahulu dengan Laila sebelum pergi. Hanif berjalan ke arah pintu. Di depan pintu, Laila berjalan mondar mandir. Hati Laila dari tadi tidak tenang. "Laila, Arif memanggil kamu," ujar Hanif. Laila masuk ke dalam kamar dengan cepat. Semakin dia mendekat ke arah Arif, kakinya semakin lemas. Padahal suaminya dari tadi tersenyum ke arahnya. "Mas Arif, Ada apa mencari Laila. Laila ada di sini," ujar Laila memegang tangan Arif. "Laila, Mas ada permintaan terakhir sebelum Mas pergi." "Mas, Mas tidak boleh bicara seperti itu. Mas Arif akan tetap bersama dengan Laila sampai kapanpun," kata Laila tidak terima. "Laila, uhuk … uhuk …." Arif terbatuk beberapa kali. Nafasnya semakin berat. "Mas," ujar Laila panik. "Arif!" "Dengarkan Mas, Laila. Mas tidak akan bertahan lebih lama lagi." "Mas tidak boleh ngomong seperti itu," potong Laila lagi. "Dengarkan Mas, Laila." "Laila tidak mau dengar," tolak Laila tidak mau kehilangan Arif. "Apa kamu mau menjadi istri durhaka? Tidak mau mendengar perkataan suami kamu lagi?" ujar Arif bersikap setegas mungkin. "Bukan seperti itu Mas," sahut Laila melemah. "Laila, Mas tahu kamu istri yang baik. Kamu selalu mendengarkan perkataan Mas. Jadi kali ini tolong dengarkan permintaan Mas." "Apa permintaan Mas?" tanya Laila mengalah. "Mas mau, jika Mas meninggal nanti kamu menikahlah dengan Hanif, teman Mas. Ini adalah permintaan terakhir Mas. Mas ingin kamu baik-baik saja selama Mas pergi. Hanif ini adalah lelaki baik dan bertanggung jawab." "Tapi Mas …." "Hanif juga sudah setuju," potong Arif. Laila menatap ke arah Hanif beberapa detik. Kemudian dia beralih lagi ke arah Arif. "Baiklah Mas," ujar Laila meneteskan air matanya. Jika memang itu adalah permintaan terakhir Arif, dia akan melakukannya. Dia percaya dengan keputusan Arif. Arif lega. Akhirnya ada yang menjaga Laila. Sekarang dia bisa pergi dengan tenang. Bersambung ….
Hanif pulang ke hotel yang tidak jauh dari rumah Laila. Kakinya berjalan lesu ke arah pintu kamar. Setelah berada di kamar, dia duduk di kasur memandang ke arah jendela. Menyajikan panorama malam yang sangat indah. Bertolak belakang dengan suasana hatinya malam ini."Nur, maafkan Mas. Mas harap kamu mau mengerti keadaan Mas. Mas tidak akan pernah bisa bertemu kamu kalau tidak ada Arif. Apapun yang terjadi, Mas tidak mau kehilangan kamu. Kamu bagian terpenting dalam hidup Mas," gumam Hanif memikirkan keadaan Nur.Hanif sepintas membayangkan hubungannya dengan Nur selama ini. Hubungan mereka dibilang cukup baik. Jarang sekali ada perselisihan pendapat.Hanif memutuskan untuk mandi dulu sebelum tidur. Sekalian menenangkan pikiran yang masih kusut.Setelah mandi dia segera menghadap Ilahi. Memohon petunjuk dan minta dimudahkan segala urusannya.***Pada keesokan harinya, Hanif menemui Laila sesuai dengan janjinya. Dia harus bicara langsung kepada Laila. Dia tidak mau terlalu lama meningga
"Hanif, tolong jaga mereka untuk aku dengan baik," pinta Arif sambil tersenyum. "Mereka? Apa maksud kamu?" tanya Hanis bingung dengan perkataan Arif. "Argh!" teriak Arif dengan badan tersentak."Mas!" teriak Laila lebih keras."Arif!"Alat medis berbunyi dengan deras. Kesadaran Arif tiba-tiba menurun. Sebentar lagi dia beneran akan pergi."Mas!""Kamu tunggu di sini. Saya akan memanggilkan dokter," ujar Hanif panik."Ha-Hanif, ja-jangan pergi," cegah Arif dengan suara terbata-bata."Arif, kamu membutuhkan pertolongan dokter," sahut Hanif."Hanif, tolong antar aku ya. Aku mau pergi," pinta Arif dengan air mata yang menetes."Mas!" ucap Laila dengan tubuh lemas mendengar perkataan Arif.Hanif tidak jadi pergi mencari dokter. Dia tahu sang sahabat sedang menghadapi sakaratul maut. Langkahnya mendekat dan berdiri di samping Arif.Arif meraih ingin tangan Hanif dengan tangan kanannya. Tangannya meraba-raba mencari tangan Hanif secara tidak beraturan. Tubuhnya sudah sangat tidak bertenaga
Saat mereka 17 tahun dan masih sekolah, mereka pergi berkemping bersama anak-anak sekolah lainnya. Mereka kemping dekat sungai. Ketika itu Hanif sedang bermain di dekat sungai. Tba-tiba saja air sungai meluap tanpa adanya hujan. Hanif yang tidak pandai berenang terseret oleh arus yang kuat. Arif yang melihat kejadian itu segera melompat ke sungai ingin menyelamatkan Hanif. Arif berusaha sekuat tenaga berenang untuk meraih Hanif yang terombang-ambing di bawa arus sungai.Para guru dan teman-teman yang lain berteriak ketakutan melihat Hanif yang sudah terlihat lemas. Hanif tidak sanggup bertahan lagi di bawah kuatnya arus sungai. Untung saja Arif berhasil menyelamatkan Hanif. Hanif segera diberikan pertolongan pertama. Setelah itu dia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setelah kejadian itu, Hanif berjanji kepada Arif akan mengabulkan permintaan Arif apapun itu sebagai balasan karena telah menyelamatkan nyawanya. Dia sudah berhutang nyawa kepada Arif. Jika Arif tidak menyelam
Nur menatap kepergian Hanif dari teras rumah. Setelah mobil itu menghilang, dia memegang jantungnya. Jantung dia entah kenapa berdegup kencang. Seolah dia akan kehilangan Hanif."Ada apa ini? Kenapa jantung aku berdetak seperti ini. Semoga tidak terjadi apa-apa sama Mas Hanif ya Allah. Ya Allah, tolong lindungi suami hamba dimanapun dia berada."***Nur sudah tiba di kediaman orang tuanya. Rumah orangtua Nur tidak jauh dari rumah milik mereka. Hanya perlu naik mobil sekitar 1 jam saja. Mereka seng buat rumah yang tidak terlalu jauh. Jadi sewaktu-waktu bisa mudah untuk berkunjung."Assalamualaikum," salam Nur berdiri di depan rumah."Waalaikumsalam, sebentar ya" sahut Halimah, ibunya Nur dari dalam rumah."Nur, ternyata kamu. Kamu sendirian? Ke mana Hanif?" tanya Halimah membuka pintu rumah. "Nur pergi sendirian Bu," jawab Nur. "Kamu sendiri, kenapa tidak berbarengan sama suami kamu.""Bu, mas Hanif pergi menemui temannya hari ini. Temannya sedang sakit dan berada di luar kota. Mas
Nur Humairah baru saja selesai mandi dan mengambil wudhu. Perempuan yang biasa dipanggil dengan Nur ini menatap sang suami yang masih tertidur di atas kasur. Nur berjalan mendekat ke arah Hanif, suaminya. Dia menutup tangan menggunakan mukena yang sudah ada di tubuhnya. Supaya kulit tangannya tidak bersentuhan dengan Hanif. Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Sebentar lagi akan memasuki waktu salat Subuh. Nur dan Hanif biasa melakukan salat bersama di waktu Subuh dan Magrib atau saat mereka berada di dalam rumah saat memasuki waktu salat. "Mas, bangun Mas," ujar Nur menepuk selimut yang membungkus tubuh Hanif. Hanif tidak merespon. Dia masih terlelap dalam tidurnya. Kemarin dia banyak kerjaan dan tidur cukup telat. Sehingga tubuhnya membutuhkan banyak istirahat. "Mas bangun. Ini sudah mau subuh. Nanti kita telat salat Subuh," panggil Nur untuk kedua kalinya. Nur dengan setia membangunkan Hanif dengan lembut. Saat Hanif membalikkan badan, dia segera berdiri. Takut kalau air wudh








