Compartir

Bab 2. Teman lama

last update Última actualización: 2025-10-16 18:51:34

Nur menatap kepergian Hanif dari teras rumah. Setelah mobil itu menghilang, dia memegang jantungnya. Jantung dia entah kenapa berdegup kencang. Seolah dia akan kehilangan Hanif.

"Ada apa ini? Kenapa jantung aku berdetak seperti ini. Semoga tidak terjadi apa-apa sama Mas Hanif ya Allah. Ya Allah, tolong lindungi suami hamba dimanapun dia berada."

***

Nur sudah tiba di kediaman orang tuanya. Rumah orangtua Nur tidak jauh dari rumah milik mereka. Hanya perlu naik mobil sekitar 1 jam saja. Mereka seng buat rumah yang tidak terlalu jauh. Jadi sewaktu-waktu bisa mudah untuk berkunjung.

"Assalamualaikum," salam Nur berdiri di depan rumah.

"Waalaikumsalam, sebentar ya" sahut Halimah, ibunya Nur dari dalam rumah.

"Nur, ternyata kamu. Kamu sendirian? Ke mana Hanif?" tanya Halimah membuka pintu rumah.

"Nur pergi sendirian Bu," jawab Nur.

"Kamu sendiri, kenapa tidak berbarengan sama suami kamu."

"Bu, mas Hanif pergi menemui temannya hari ini. Temannya sedang sakit dan berada di luar kota. Mas Hanif baru dapat kabar beberapa hari yang lalu," terang Nur.

"Temannya siapa? Apa kamu kenal?"

"Kata mas Hanif orang yang pernah menyelamatkan dia dulu."

"Semoga temannya Hanif baik-baik saja. Ayo masuk dulu," ajak Hakimah.

Mereka dari tadi berbicara di depan pintu. Halimah sampai lupa menyuruh anaknya masuk terlebih dahulu.

"Apa Bapak tidak ada di rumah Bu? Suasananya sangat sepi," tanya Nur masuk ke dalam rumah.

"Bapak kamu sudah pergi sama teman-temannya."

"Emmm," gumam Nur.

"Kenapa wajah kamu lesu seperti ini?"

Halimah memegang tangan putrinya dengan lembut. Dia menuntun Nur untuk duduk di sofa sederhana milik mereka. Mereka merupakan keluarga yang sederhana. Itu pun sudah banyak dirombak ketika perusahaan milik Hanif sudah berkembang.

"Ada apa sayang, ayo cerita sama Ibu," pinta Halimah.

Halimah tahu anaknya sedang ada masalah. Dia adalah orang yang telah melahirkan Nur. Setiap gerakan Nur bisa dia baca. Nur sangat dekat dengan dia dari kecil. Apalagi dia anak tunggal.

"Bu, entah kenapa hati Nur hari ini sangat gelisah," cerita Nur.

"Gelisah kenapa sayang?"

"Nur juga tidak tahu Bu. Seakan-akan Nur akan kehilangan mas Hanif. Hari ini Nur berat membiarkan mas Hanif pergi. Nur ingin sekali melarang mas Hanif pergi. Nur tidak bisa Bu."

"Nur jangan ngomong seperti itu. Itu tidak baik. Kalau suami kamu pergi, kamu berdoa yang baik-baik untuk nya. Semoga dia pulang dengan selamat. Dia pergi dalam niat baik menjenguk temannya yang sakit," tegur Halimah.

"Iya Bu, Nur tahu. Tapi …."

Nur berhenti berkata. Rasanya berat hanya untuk bercerita.

"Tapi apa lagi?"

"Nur takut kalau Mas Hanif menikah lagi."

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?" tanya Halimah menautkan kedua keningnya. Dia belum tahu arah pembicaraan Nur.

"Nur takut kalau mas Hanif akan bosan sama Nur. Nur belum bisa menjadi seorang istri yang sempurna untuk mas Hanif. Nur belum bisa memberikan keturunan untuk mas Hanif," cerita Nur dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Apa Hanif pernah bilang seperti itu?" tanya Halimah dengan suara lemah lembut.

Sekarang anaknya butuh perhatian dan ingin didengarkan. Oleh karena itu dia memilih mengikuti pembahasan Nur dengan tangannya menghapus air mata dari pipi Nur.

"Tidak Bu. Bahkan mas Hanif tidak mempermasalahkan anak."

"Terus kenapa kamu mengungkit masalah ini?"

"Nur hanya takut saja, Bu."

"Apa kamu butuh teman Nur? Kamu lebih baik malam ini menginap saja di rumah Ibu. Kamu tinggal bersama Ibu dan Ayah malam ini. Kamu akan berpikiran aneh kalau tinggal sendiri. Itu hanya pikiran negatif kamu saja sayang. Semuanya akan baik-baik saja," bujuk Halimah menenangkan Nur.

"Baik Bu."

Halimah percaya jika itu hanya halusinasi yang diciptakan dari pikiran orang yang banyak pikiran. Orang yang memiliki banyak beban cenderung berpikir negatif. Mereka membutuhkan orang agar bisa tenang.

***

Perjalanan Hanif menuju ke rumah sakit yang ditempati oleh Arif membutuhkan waktu selama 4 jam. Dia mengendarai mobil dengan kecepatan normal. Dia tidak mau membawa terburu-buru sehingga menyebabkan kecelakaan. Kecelakaan tidak hanya merugikan dia, tapi juga bisa merugikan orang lain.

Setelah menempuh waktu 4 jam, akhirnya Hanif tiba di rumah sakit. Dia segera keluar dari mobil dan menuju ke ruangan milik Arif.

Hanif sudah berada di depan pintu. Tanganya dengan pelan mengetuk pintu rawat.

Hanif menatap seorang perempuan yang membuka kamar. Perempuan yang lebih muda dibandingkan istrinya.

Hanif sudah berusia 31 tahun. Sedangkan Nur berusia 29 tahun.

"Siapa ya?" tanya Laila/ perempuan yang dilihat oleh Hanif.

"Apa benar ini kamar rawatnya Arif?" tanya Hanif.

"Iya benar. Apa Tuan ini Pak Hanif?"

"Iya, saya Hanif," sahut Hanif.

"Silahkan masuk Pak. Suami saya sudah menunggu Bapak dari kemarin," ujar Laila.

Laila mempersilahkan Hanif masuk ke dalam ruangan. Setelah Hanif masuk, Laila menutup pintu kembali.

Hanif menatap Arif dengan sangat terkejut. Tubuh Arif sudah sangat kurus sekali. Wajahnya juga sangat pucat. Berbagai alat medis ada di tubuhnya untuk menopang hidupnya.

"Arif, kenapa kamu jadi seperti itu?" tanya Hanif sedih melihat keadaan Arif.

"Kamu jangan seperti itu. Aku baik-baik saja," sahut Arif memaksa tertawa kecil.

"Baik-baik saja bagaimana? Apa kamu lihat kondisi kamu sekarang? Kenapa kamu tidak ngomong sama aku lebih awal Arif. Apa kamu tidak menganggap aku sahabat kamu lagi?" tanya Hanif menyerbu Arif.

"Laila, kamu bisa keluar sebentar? Mas ingin berbicara berdua sama Hanif," pinta Arif menatap istrinya.

"Baiklah Mas. Nanti kalau apa-apa panggil saja. Laila akan menunggu di luar," balas Laila.

Laila berjalan ke arah luar. Suaminya sudah menunggu kedatangan Hanif sejak beberapa hari yang lalu. Suaminya setiap bangun selalu menanyakan keberadaan Hanif

Laila sebisa mungkin menjawab pertanyaan Arif. Dia berpikir kalau suaminya sedang rindu kepada teman baiknya.

"Arif, kenapa selama ini kamu tidak menghubungi aku."

"Aku tidak mau merepotkan kamu. Tapi ujung-ujungnya aku harus merepotkan kamu juga," sahut Arif.

"Apa maksud kamu?"

"Hanif, bukannya kamu dulu pernah berjanji akan mengabulkan satu permintaan aku apapun itu?" tanya Arif mengungkit masa lalu.

"Ya, mana mungkin aku akan melupakan janji itu," sahut Hanif.

Hanif tidak akan pernah lupa apa yang telah dilakukan Arif kepada dirinya. Seandainya dulu Arif tidak menyelamatkannya, dia sudah tidak ada sekarang.

Bersambung ….

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Madu Di Kamar Tamu   Bab 5. Penolakan Laila

    Hanif pulang ke hotel yang tidak jauh dari rumah Laila. Kakinya berjalan lesu ke arah pintu kamar. Setelah berada di kamar, dia duduk di kasur memandang ke arah jendela. Menyajikan panorama malam yang sangat indah. Bertolak belakang dengan suasana hatinya malam ini."Nur, maafkan Mas. Mas harap kamu mau mengerti keadaan Mas. Mas tidak akan pernah bisa bertemu kamu kalau tidak ada Arif. Apapun yang terjadi, Mas tidak mau kehilangan kamu. Kamu bagian terpenting dalam hidup Mas," gumam Hanif memikirkan keadaan Nur.Hanif sepintas membayangkan hubungannya dengan Nur selama ini. Hubungan mereka dibilang cukup baik. Jarang sekali ada perselisihan pendapat.Hanif memutuskan untuk mandi dulu sebelum tidur. Sekalian menenangkan pikiran yang masih kusut.Setelah mandi dia segera menghadap Ilahi. Memohon petunjuk dan minta dimudahkan segala urusannya.***Pada keesokan harinya, Hanif menemui Laila sesuai dengan janjinya. Dia harus bicara langsung kepada Laila. Dia tidak mau terlalu lama meningga

  • Madu Di Kamar Tamu   Bab 4. Pemakaman Arif

    "Hanif, tolong jaga mereka untuk aku dengan baik," pinta Arif sambil tersenyum. "Mereka? Apa maksud kamu?" tanya Hanis bingung dengan perkataan Arif. "Argh!" teriak Arif dengan badan tersentak."Mas!" teriak Laila lebih keras."Arif!"Alat medis berbunyi dengan deras. Kesadaran Arif tiba-tiba menurun. Sebentar lagi dia beneran akan pergi."Mas!""Kamu tunggu di sini. Saya akan memanggilkan dokter," ujar Hanif panik."Ha-Hanif, ja-jangan pergi," cegah Arif dengan suara terbata-bata."Arif, kamu membutuhkan pertolongan dokter," sahut Hanif."Hanif, tolong antar aku ya. Aku mau pergi," pinta Arif dengan air mata yang menetes."Mas!" ucap Laila dengan tubuh lemas mendengar perkataan Arif.Hanif tidak jadi pergi mencari dokter. Dia tahu sang sahabat sedang menghadapi sakaratul maut. Langkahnya mendekat dan berdiri di samping Arif.Arif meraih ingin tangan Hanif dengan tangan kanannya. Tangannya meraba-raba mencari tangan Hanif secara tidak beraturan. Tubuhnya sudah sangat tidak bertenaga

  • Madu Di Kamar Tamu   Bab 3. Permintaan Arif

    Saat mereka 17 tahun dan masih sekolah, mereka pergi berkemping bersama anak-anak sekolah lainnya. Mereka kemping dekat sungai. Ketika itu Hanif sedang bermain di dekat sungai. Tba-tiba saja air sungai meluap tanpa adanya hujan. Hanif yang tidak pandai berenang terseret oleh arus yang kuat. Arif yang melihat kejadian itu segera melompat ke sungai ingin menyelamatkan Hanif. Arif berusaha sekuat tenaga berenang untuk meraih Hanif yang terombang-ambing di bawa arus sungai.Para guru dan teman-teman yang lain berteriak ketakutan melihat Hanif yang sudah terlihat lemas. Hanif tidak sanggup bertahan lagi di bawah kuatnya arus sungai. Untung saja Arif berhasil menyelamatkan Hanif. Hanif segera diberikan pertolongan pertama. Setelah itu dia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setelah kejadian itu, Hanif berjanji kepada Arif akan mengabulkan permintaan Arif apapun itu sebagai balasan karena telah menyelamatkan nyawanya. Dia sudah berhutang nyawa kepada Arif. Jika Arif tidak menyelam

  • Madu Di Kamar Tamu   Bab 2. Teman lama

    Nur menatap kepergian Hanif dari teras rumah. Setelah mobil itu menghilang, dia memegang jantungnya. Jantung dia entah kenapa berdegup kencang. Seolah dia akan kehilangan Hanif."Ada apa ini? Kenapa jantung aku berdetak seperti ini. Semoga tidak terjadi apa-apa sama Mas Hanif ya Allah. Ya Allah, tolong lindungi suami hamba dimanapun dia berada."***Nur sudah tiba di kediaman orang tuanya. Rumah orangtua Nur tidak jauh dari rumah milik mereka. Hanya perlu naik mobil sekitar 1 jam saja. Mereka seng buat rumah yang tidak terlalu jauh. Jadi sewaktu-waktu bisa mudah untuk berkunjung."Assalamualaikum," salam Nur berdiri di depan rumah."Waalaikumsalam, sebentar ya" sahut Halimah, ibunya Nur dari dalam rumah."Nur, ternyata kamu. Kamu sendirian? Ke mana Hanif?" tanya Halimah membuka pintu rumah. "Nur pergi sendirian Bu," jawab Nur. "Kamu sendiri, kenapa tidak berbarengan sama suami kamu.""Bu, mas Hanif pergi menemui temannya hari ini. Temannya sedang sakit dan berada di luar kota. Mas

  • Madu Di Kamar Tamu   Bab 1. Pamitan Pergi

    Nur Humairah baru saja selesai mandi dan mengambil wudhu. Perempuan yang biasa dipanggil dengan Nur ini menatap sang suami yang masih tertidur di atas kasur. Nur berjalan mendekat ke arah Hanif, suaminya. Dia menutup tangan menggunakan mukena yang sudah ada di tubuhnya. Supaya kulit tangannya tidak bersentuhan dengan Hanif. Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Sebentar lagi akan memasuki waktu salat Subuh. Nur dan Hanif biasa melakukan salat bersama di waktu Subuh dan Magrib atau saat mereka berada di dalam rumah saat memasuki waktu salat. "Mas, bangun Mas," ujar Nur menepuk selimut yang membungkus tubuh Hanif. Hanif tidak merespon. Dia masih terlelap dalam tidurnya. Kemarin dia banyak kerjaan dan tidur cukup telat. Sehingga tubuhnya membutuhkan banyak istirahat. "Mas bangun. Ini sudah mau subuh. Nanti kita telat salat Subuh," panggil Nur untuk kedua kalinya. Nur dengan setia membangunkan Hanif dengan lembut. Saat Hanif membalikkan badan, dia segera berdiri. Takut kalau air wudh

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status