Share

Madu Membawa Racun
Madu Membawa Racun
Penulis: ShilaKurnia

Kehilangan Emak

Aku senatiasa berada di sisi Emak sejak fajar menyapa Bumi, menunaikan segala hajatnya, dan mengusap kegelisahan yang tergambar di wajah lelahnya. Lelah menahan sakit dan menahan beratnya suratan takdir yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.

Rasa sakit di perutmu tergambar jelas pada tatapan mata sayu yang tak lagi bercahaya, tanpa perlu bibirmu berkata. Semakin terbukti saat Kau memintaku menjerang air panas lalu memasukkannya ke botol berkali-kali sejak mentari menyapa Jagat.

Kutatap nanar setiap inci wajahmu yang sedang terbaring diatas peraduan. Netra yang selalu memancarkan keteduhan dan kasih sayang itu kini terlihat menghitam, lalu nampak pula cekungan pada setiap kelopaknya, dengan dua bola mata indah yang kini seakan-akan menyembul keluar.

Belum lagi cekungan di bagian pipi, juga bibir yang dulu senantiasa memberikan petuah hidup, kini hanya terkunci rapat dan terlihat pucat pasi tiada berdarah lagi. Sehingga tidaklah mungkin bagiku meninggalkanmu dan membiarkanmu dalam kesunyian diatas peraduan walau hanya sedetik waktu berlalu.

"Aku lapar Mak, Apa tidak ada singkong atau beras yang bisa dimasak, Mak?" tanyaku, sembari menahan genangan air yang siap tumpah di sudut netraku.

"Sini nduk, peluk Emak untuk terakhir kalinya," ucapmu Emak.

Aku memeluk tubuhmu erat, hingga tiada lagi tersisa jarak diantara kita. Kurasakan pula semakin hari ragamu terasa semakin menyusut hingga hanya kulit berbalut tulang. Tubuh ringkihmu selama ini selalu menjadi selimut malamku, tapi entah mengapa malam ini perasaanku berkata lain.

"Cari Bapakmu Nduk, biar Kamu ada yang ngurus kalo Emak meninggal."

"Aku ngga mau kehilangan Emak, cuma Emak yang Lastri punya." Tumpah sudah genangan air yang sedari tadi kutahan di sudut netraku. Aku peluk tubuh malaikatku dengan lebih erat walau tak ada balasan yang berarti karena raganya kini kian melemah.

"Emak mau nyusulin adekmu, nduk."

"Lastri ikut Mak, Pokoknya Lastri Ikut kemanapun Emak pergi." Air mata semakin membanjiri wajahku, Aku meraung-raung sambil memeluk dan menggoyang-goyangkan tubuh Emak.

Tangan Emak bergerak kemudian berusaha mengambil sesuatu di bawah bantalnya lalu menyerahkan nya kepadaku.

Aku menerimanya, dan melihat sebuah foto yang di belakangnya terdapat alamat tempat Abah bekerja.

"Disitu tertulis nama dan Alamat tempat Abahmu bekerja di Jakarta, Kamu ikut Abah ya Nduk, dan kirimin salam dari Emak." Emak kemudian mengusap kepalaku pelan, sementara Aku menangis dan semakin mengeratkan pelukanku.

Lambat laun kurasakan tangan Emak semakin melemah dan dingin, hingga tak ada lagi kurasakan belaian tangannya melainkan hanya tangan dinginnya yang menempel di pundakku.

Aku gemetar, kakiku lemas tiada bertulang dan netraku takut menyaksikan jika apa yang terlintas dalam pikiranku adalah benar terjadi.

Aku paksakan netraku melihat wajah Emak, matanya terpejam erat. Lidahku kelu dan bibirku tak dapat lagi berkata-kata untuk beberapa saat, sampai akhirnya aku berteriak histeris memanggil Emak.

"Emaaak ...! Emaaak ...!" Aku berteriak dan meraung sejadi-jadi nya, memukul dan menggoyang-goyangkan raga yang kini hanya bisa diam tak bergerak. Aku berharap ini hanyalah mimpi atau Emak hanya tertidur sebentar, dan tangan hangatnya akan kembali menghapus air mataku seperti biasanya.

Aku lelah menangis dan akhirnya terduduk lemas di lantai beralas tanah, di dalam gubuk bambu peninggalan nenek, setelah kusadari Emak tak kunjung bangun lagi.

"Assalamualaikum Lastri, kenapa kamu nangis nduk?" tanya Bik Sum, salah seorang tetanggaku  yang masuk kedalam rumah.

"Astaghfirullah, Emakmu kenapa nduk?" tanya-nya pula, lantas menghampiri dan memeriksa Emak.

"Emak tidur Bik, bangunin Bik, Bangunin Emak!" teriakku histeris dan kembali menangis, berusaha melawan kenyataan.

Bik Sum kemudian memelukku "Sabar ya nduk, Ibumu sudah tiada." Ucap Bik Sum pelan, namun terasa bagai suara petir yang menggelegar hingga memekakkan telingaku dan meluruhkan setiap sendiku.

Raga Emak masih di hadapanku namun kini kami terpisah ruang dan waktu, hanya kenangan yang akan membuat Aku merasa tetap berada di sisinya.

Bik Sum kemudian menyuruh suaminya untuk memberitahukan tetangga mengenai Emak yang sudah berpulang ke pangkuan Ilahi.

Tetangga sekitar akhirnya mulai berdatangan, ada yang mengurus Emak yang sudah meninggal, ada pula yang berusaha menghiburku dan menyuapiku makan.

Melihat mayat Emak terbujur kaku di depanku membuatku menjadi tak ingin makan, padahal dari pagi kutahan perihnya perutku karena tak ada sebutir pun nasi yang nasi yang masuk untuk mengganjalnya.

Andai mereka tahu, saat ini ragaku tidak lagi membutuhkan makanan, karena seluruh jiwaku kini telah terbang, hingga ragaku kosong dan menyisakan luka yang terus menganga tanpa dapat terobati.

Bagaimana Aku hendak melanjutkan hidup jika Tuhan telah mengambil pelitaku, rasanya ingin terbang ke dimensi lain dimana terdapat ibu dan adikku disana. Dunia ini terlalu kejam untuk makhkuk kecil sepertiku.

Saat ini usiaku baru enam tahun, Adikku meninggal satu tahun yang lalu akibat gizi buruk.

Makanan yang jarang tersedia di rumah membuat Asi Emak kering, dan mengharuskan Heru adikku makan bubur nasi tanpa lauk sejak berumur tiga bulan.

Emak adalah pendatang, sehingga tidak mempunyai keluarga di kampung ini. Nenek dan Kakek dari Abahku juga sudah lama meninggal, bahkan sebelum Aku lahir. Sungguh malang nasib kami, karena keluarga yang lain janganlah lagi hendak bertanya, bahkan melihat kami pun mereka seperti jijik.

Abah pergi ke Jakarta karena dibujuk oleh Pakde. Pakde mengatakan ada lowongan untuk menjadi pekerja bangunan di Jakarta, dan Abah akan tinggal di mess bersama teman Pakde. Dengan dalih ingin memperbaiki ekonomi dan janji akan menjemput kami setelah sukses, akhirnya Emak mengizinkan Abah berangkat sebulan setelah Heru lahir.

Emak yang ditinggalkan Abah tanpa kabar, tidaklah mempunyai keterampilan. Akhirnya Beliau menjadi buruh cuci jika ada tetangga yang membutuhkan.

Jarang sekali Emak dapat membelikan susu untuk Heru, hingga tak jarang Adikku minum air tajin, air teh atau pun kadang air yang dicampur dengan sedikit gula.

Lama-Kelamaan badan Heru semakin kurus dan perutnya semakin membuncit. Saat usianya lima bulan, Heru seperti kesulitaan saat hendak buang air besar dan Ia selalu rewel.

Emak kesana-kemari mendatangi keluarga Abah untuk mencari pinjaman agar dapat membawa Heru ke Rumah Sakit, sedangkan Aku dirumah menjaga adikku yang masih terbaring dan terus menangis.

Terdengar suara seseorang membuka pintu, Aku bahagia menyambut Emak pulang ke rumah. Tapi yang kulihat Emak sangat menyedihkan, matanya sembab dan wajahnya kacau. Tak lama datanglah Paklekku, Adik dari Abahku masuk kerumah.

"Jangan berani-berani lagi Kamu diam-diam datang menemui Istriku untuk meminjam uang, untuk makan saja susah apalagi mau bayar hutang kalo jika dipinjamkan uang." Paklek kemudian pergi, setelah melemparkan uang sepuluh ribu ke wajah Emak.

Emak masih terus terduduk sambil menagis, sementara tangisan Heru semakin melemah. Aku yang belum mengerti keadaan pun ikut menangis sambil memeluk Emak.

Dengan langkah tertatih Emak pergi ke dapur mengambil minyak kelapa untuk diolesi ke daun jarak, kemudian memanggangnya di atas bara Api sisa merebus Air tadi pagi. Emak menggendong Heru, menciuminya dan membalurkan minyak kelapa keseluruh tubuh Heru lalu meletakan daun jarak diatas perutnya.

Heru tak lagi menangis, hanya suara sesenggukan yang masih terdengar olehku. kemudian Emak memberikan lagi Air teh hangat untuk mengganjal rasa lapar dari perut Adikku.

Tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar. Aku langsung berlari dan menghambur ke ruang tamu, berharap itu Abah yang datang untuk menjemput dan membawa kami ke Jakarta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status