Share

Aku Hamil

Sudah seminggu Reni berada di rumah orang tuanya, dan Dani sama sekali tidak merajuk untuk menjemputnya, seperti yang selama ini dilakukannya.

Pria itu hanya sesekali menghubungi Reni, itupun hanya sekedar lewat pesan, tak sampai video call.

Reni tak terlalu kaget dengan hal ini. Dia sudah bertekad memantapkan hatinya untuk tidak lagi menangis karena Dani.

Seminggu ini, tidak Reni habiskan hanya untuk berdiam diri. Dengan sisa uang simpanannya, dia berusaha membangun usaha yang bisa diurus oleh adiknya.

Kebetulan Zaki, adik satu-satunya Reni, adalah anak yang terbilang cukup rajin. Meski dia masih duduk di kelas sebelas, tapi bibit-bibit berbisnis sudah mulai kelihatan.

"Dek ...," panggilnya pada Zaki yang tengah menyapu halaman belakang.

Zaki dengan patuh menghampiri kakaknya yang kini berdiri di belakang rumah. Di sana sudah berjejer beberapa kandang yang akan digunakan untuk memelihara kelinci.

"Ini kandangnya udah dateng. Nanti siang gimana kalau kita cari indukan kelinci yang bagus? Kemarin kakak sudah menghubungi salah satu kenalan kakak yang sudah lebih dulu terjun di bidang ini." Zaki terlihat manggut-manggut mendengar penjelasan kakaknya.

"Kamu mau 'kan ngurus kelinci ini? Nanti keuntungannya bisa kita bagi dua. Kakak sudah ada tempat yang akan bersedia menampung kelinci-kelinci itu nantinya."

Reni memang berencana mengembangbiakkan kelinci konsumsi. Dan dia sudah punya gambaran untuk distribusinya.

Setelah beberapa hari memesan, akhirnya kandang itu datang juga.

Sebelumnya Reni telah membicarakan hal ini pada Zaki dan juga orangtuanya. Yang disambut sebuah antusiasme oleh anak muda itu.

"Nanti semua modal dari kakak. Kamu tinggal memberi makan dan membersihkan kandang aja."

"Baik, Kak." Reni sangat senang adiknya itu bukanlah tipe anak bungsu yang malas. Meski anak laki-laki terakhir, Zaki bukanlah anak yang hanya bisa berpangku tangan. Bahkan dia tidak keberatan membantu ibunya melakukan tugas-tugas domestik, seperti menyapu, dan cuci piring.

Lega. Itulah perasaan Reni saat ini. Dia harus bangkit dan membangun usahanya. Ternak kelinci konsumsi keuntungannya sangatlah menggiurkan. Banyak permintaan, tapi bahan bakunya selalu kehabisan. Jadinya sering mendatangkan bahan baku dari daerah lain.

Reni mengambil peluang tersebut. Kalau dia bisa menjadi suplier untuk kedai-kedai sate kelinci itu, bukankah akan menguntungkan baginya?

"Tumben Mas Dani belum jemput, Mbak?" Bahkan Zaki pun merasa aneh dengan kakak iparnya.

'Ada mainan baru, Dek. Jadinya mungkin udah nggak terlalu butuh Mbak.' Hanya saja Reni mengucapkan kalimat itu di dalam hati.

Tak mau orang tuanya tahu tentang apa yang ada di pikirannya. Biarlah bapak dan ibunya tidak tahu tentang kecurigaannya selama ini.

"Ya, Mas Dani lagi lembur-lembur terus, Zak. Mungkin dia capek kalau mesti jemput malem-malem." Terpaksa Reni berbohong untuk menutupi kelakuan suaminya.

Setiap malam wanita itu selalu mengecek keberadaan suaminya. Dan selama seminggu ini, setiap malam suaminya berada di lokasi yang sama dengan saat dia mengeceknya pertama kali.

Miris memang, tapi jika dia menyerah sekarang hanya akan memberi mereka berdua senyum kemenangan.

"Tapi, biasanya juga meski malam-malam, Mas Dani tetep ke sini buat jemput Mbak Reni." Zaki berusaha mengingat-ingat, kakak iparnya itu sering menjemput kakaknya malam-malam, bahkan pernah sampai tempat mereka jam sebelas malam. Tanpa rasa capek, paginya jam lima sudah berangkat kembali. Maklum, Dani masih harus kerja.

"Udah-udah, sana kamu lanjutin aja nyapunya. Nanti kumis kamu nggak tumbuh lho." Reni berusaha mengalihkan perhatian Zaki agar tidak bertanya lagi tentang Dani. Karena dia juga merasa bersalah jika terus-terusan berbohong untuk menutupi aib suaminya.

Reni terpikirkan sebuah ide untuk benar-benar menguji suaminya.

[ Mas, bisa jemput malam ini. Aku sudah kangen.] Meski dengan sedikit ekspresi jijik ketika Reni mengetikkan kalimat itu. Dia ingin tahu, suaminya itu akan lebih memilih bersenang-senang dengan kekasih haramnya itu atau menjemputnya, memadu kasih dengan kekasih halalnya. Meski Reni sendiri tidak terlalu yakin, apakah dia masih baik-baik saja saat disentuh suaminya.

Lama menunggu belum ada jawaban. Reni memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan menunggunya di sana.

[ Maaf, Yank. Hari ini aku lembur mungkin sampai sore. Pastinya nanti malam aku capek banget. Besok aja, ya?] Mungkin inilah definisi sakit tak berdarah. Padahal ini hari Sabtu, biasanya juga libur. Kenapa mendadak lembur sampai malam?

Sudah tak ada lagi air mata yang bisa Reni keluarkan untuk suaminya itu. Dani begitu kentara dengan sikapnya yang mulai cuek dan tak sehangat dulu.

[ Baiklah, Yank. Besok aja. Kasian kamunya.] Wanita itu sudah tak mengharap sebuah balasan lagi dari ujung sana. Segera dia lempar gawainya itu ke tengah kasur.

Sekelebat setan melintas di pikirannya. Bagaimana kalau dia juga membalas kecurangan suaminya itu. Ada satu mantannya yang terus berusaha mendekatinya lagi. Bahkan tidak segan-segan bilang masih menunggunya.

Yudha, mantan pacarnya saat masih duduk di bangku SMA yang sampai saat ini belum menikah. Padahal Yudha bisa dibilang sudah mapan dengan menjadi seorang PNS di salah satu instansi pemerintah. Tapi, jika ditanya kenapa belum menikah, jawabannya pasti karena menunggu Reni.

Padahal Reni sudah berkali-kali bilang padanya untuk melupakan kisah mereka. Toh, itu sudah sangat lama dan hanyalah sebuah cinta monyet, setidaknya itulah yang Reni yakini.

Tapi, kembali Reni berpikir jika membalas perselingkuhan dengan perselingkuhan, apakah jadinya tidak sama saja? Dia jadi tidak lebih baik dari Dani. Malah bisa dibilang sama bejatnya dengan suaminya itu.

"Tidak! Aku tidak serendah itu. Biarkan saja mereka terjebak dalam kubangan dosa, tapi aku tidak mau. Aku harus bersinar untuk membuktikan bahwa pada akhirnya level kami berbeda." Reni segera membuang jauh-jauh pikiran kotornya untuk berselingkuh.

"Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku? Kenapa di bagian sini terasa agak bengkak dan sakit, ya?" lirih Reni sembari memegang bagian d*danya.

"Kapan terakhir kali aku mens?" Reni berusaha mengingat-ingat tanggal terakhir periode bulanannya.

"Tidak! Sepertinya aku telat dua minggu." Segera wanita itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Aku harus memastikannya." Dia buru-buru keluar kamar dan mengeluarkan motor bapaknya. Dia harus membeli sesuatu untuk memastikannya.

"Lho, kamu mau ke mana Ren?" Yanti, ibu Reni tampak bingung karena sikap Reni yang tiba-tiba mengeluarkan motor bapaknya itu.

"Oh, Reni ada perlu bentar, Buk. Mau ambil uang buat bayar kelinci nanti." Untung saja Reni punya alasan, jadi Yanti tidak akan terlalu banyak bertanya.

"O ..., nggak minta antar Zaki aja," tawar ibunya.

"Nggak papa, Buk. Sebentar aja."

"Yaudah. Hati-hati kalau gitu."

Reni segera melajukan motor bapaknya itu menuju salah satu apotek paling dekat dengan rumah orang tuanya untuk membeli testpack. Tidak lupa dia mampir ke ATM untuk mengambil uang. Jadi, dia tidak sepenuhnya berbohong pada wanita yang telah melahirkannya itu.

Sesampainya di rumah segera dia berlalu ke kamar mandi untuk membuktikan kecurigaannya.

Dua garis merah. Reni benar-benar terperanjat. Entah dia harus senang atau tidak. Mungkin jika suaminya itu tidak sedang berselingkuh, ini akan menjadi berita paling bahagia bagi keduanya.

Tapi, dengan keadaan seperti ini, hatinya benar-benar terasa sakit. Hanya satu yang pasti, dia bersyukur dengan hadirnya sebuah kehidupan di rahimnya. Dan dia akan tetap mempertahankannya sampai kapanpun.

Hal itu juga sebagai bukti, tidak ada yang salah dengan rahimnya. Hanya saja memang Allah baru memberikan anugerahnya saat ini, saat dia mengetahui bahwa suaminya itu sudah tak setia lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status