Panggilan tak terjawab dari sang suami membuat Shofia uring-uringan sepanjang perjalanan. Ia yang terpaksa pulang sebelum melakukan serangkaian terapi, karena mendapat telephon dari Jihan bahwa abah tadi malam drop dan harus dilariakan ke rumah sakit.
Shofia pikir Ustaz Subhan sudah berada di sana, ternyata sampai tadi subuh telephon juga chatnya tak kunjung mendapat respon. Padahal biasanya jika penyakit jantung abah ambuh, suaminya yang berada di garda terdepan untuk merekomendasikan perawatan terbaik.
Hingga ia melakukan check in di bandara internasional Singapura, nomor sang suami masih tak bisa dihbungi. Jihan mengatakan jika kemungkinan Ustaz Subhan sama sekali belum mengetahui kondisi abah.
Selama berada dalam pesawat, pikiran Shofia benar-benar tidak tenang. Satu sisi ia khawatir dengan penyebab jantung abah kambuh. Sisi lain ia juga merasakan cemburu, karena tak biasanya sang suami menonaktifkan HP selama itu.
Mungkinkah sang suami tengah menghab
“Kok nggak diangkat, Mas?” Shofia melirik sang Suami.“Nanti saja, nggak baik angkat telephon saat berkendara,” kilahnya. Ia memasukkan kembali penda pipih itu ke dalam saku.Perjalanan yang biasanya diisi dengan banyak diskusi mendadak terasa sepi sunyi. Shofia memandang lurus ke arah jalanan. Ia bukan wanita sepolos itu, Shofia tahu jika panggilan tadi dari Kiyada.Sesampai di Rumah Sakit, keduanya berjalan bersisian dalam diam. Menaiki lift menuju lantai tiga kamar rawat Abah, Ustaz Subhan berinisiatif untuk menggenggam telapak tangan Shofia.Shofia tak menerima atau menolak genggaman sang suami yang begitu pas di telapak tangannya.“Kak Shofi.” Jihan Menghentikan langkah mereka tepat setelah keluar dari lift. Mengetahui Ustaz Subhan tengah menggandeng kakaknya, Jihan melirik sinis laki-laki tersebut.“Bagaimana kondisi Abahh, Dek?” Shofia bertanya khawatir.“Kondisinya sudah me
Suara azan Asar dari telephon genggam membangunkan Shofia yang tengah terlelap.“Mas, Jihan udah datang. Aku mau pulang dulu.” Shofia berucap serak ketika melihat kedatangan sang adik. Perlahan ia bangkit dari posisnya berbaring.“Kak Shofi pulang aja, biar aku yang jaga Abah. Nanti juga akan ada Syifa nemenin aku.” Kali ini suara Jihan terdengar lebih lembut, karena ia sadar tengah berada di kamar Abah.Shofia mengangguk. Kemudian pamit kepada Abah yang kondisinya sudah lebih stabil.Abah memeluk putri sulungnya cukup lama. Seolah sedang mentransfer kekuatan pada wanita yang rela memilih jalan diduakan tersebut.“Kak Shofi pulang sama siapa?” Jihan bertanya dengan nada sarkas begitu sang kakak menjauhkan tubuh dari Abah.Shofia terdiam. Ia masih gengsi untuk meminta antar pada sang suami.“Pulang sama saya.” Ustaz Subhan dengan sigap menjawab, seolah ia mengerti kegundahan S
Berjalan melewati koridor rumah sakit, Kiyada tiada henti membaca salawat dan istighfar dalam hati. Baru saja Ustaz Subhan bersikap manis padanya, kini ia harus siap jika kembali diabaikan. Sebab sampai kapanpun posisinya tetaplah sebagai yang ke dua.“Di sana, Mbak, ruangannya Abah.” Syifa menunjuk ruangan yang terletak nomor dua dari ujung.Kiyada mengangguk, mengikuti langkah Syifa. Gadis belia itu masih tampak canggung terhadapnya. Begitu langkahnya sampai di depan pintu, dari dalam Kiyada mendengar suara yang tak asing di telinganya.“Di dalam ada siapa?” Kiyada bertanya lirih pada Syifa.“Mungkin santrinya Abah. Tadi Ning Jihan bilang mau ada santri alumni yang mau jenguk Abah.”Mendengar penuturan Syifa, entah mengapa perasaan Kiyada menjadi tidak tenang. Namun, tidak mungkin juga ia berbalik arah, sementara pintu telah dibukakan oleh Syifa.“Assalamualaikum,” ucap Syifa dan Kiyada bersa
Sungguh Kiyada seperti terjebak dalam sebuah labirin yang cukup menguras hati dan emosi. Tersesat dalam sebuah rasa yang tak pernah terencana. Ingin Kiyada juga bergelayut manja seperti Ustazah Shofia. Namun, siapakah ia. Hanya pemeran figuran yang dipakai saat pemeran utama tak ada.Tak ingin berpapasan dengan Ustaz Subhan dan Ustazah Shofia, Kiyada memilih keluar melalui pintu belakang Rumah Sakit. Kebetulan ia sudah tak asing dengan lorong-lorong di sini. Sebab ibu beberapa kali juga di rawat di tempat ini.“Kamu mau kemana?” Lagi-lagi Farhan mengikutinya.Kiyada mengembuskan napas kasar. Dari jarak sekian meter Ustaz Subhan dan Ustazah Shofia terlihat semakin mendekati lobi.“Motor aku tadi parkir di bagian belakang, Kak,” kilah Kiyada. Dengan tergesa ia menuju lorong yang terhubung ke arah bagian belakang.Farhan memilih lewat pintu depan. Meski hatinya ingin menemani Kiyada, tetapi pernyataan Kiyada yang mengatakan telah
Keadaan bangsal di lantai tiga tengah sepi. Hanya ada dua orang perawat yang langsung sigap menghampiri Shofia yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Mereka memberi instruksi pada Ustaz Subhan untuk membawa istrinya ke ruang pemeriksaan. Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Ustaz Subhan saat menunggu dokter memeriksa keadaan Shofia. Sejak awal kedatangan sang istri, Ustaz Subhan sudah memiliki firasat jika ada yang disembunyikan oleh Shofia. Wanita itu tidak seceria dan seaktif biasanya. Wajahnya tampak lebih pucat meski tertutupi make up. Tubuhnya yang dulu cukup berisi terlihat semakin kurus. Bahkan meskipun ingin, dirinya tak berani meminta jatah pada Shofia. “Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” Begitu dokter keluar dari ruang pemeriksaan, Ustaz Subhan dengan sigap menghampiri. “Sepertinya istri Anda butuh pemeriksaan lebih lanjut. Saya menangkap ada gejala penyakit yang cukup kronis pada tubuhnya.” Penjelasan dokter muda berhijab tersebut me
Kiyada sengaja tidak langsung pulang ke rumah. Ia ingin sekalian salat Magrib di masjid depan rumah sakit. Kebetulan tadi ia sempat berbincang juga dengan salah satu suster yang pernah merawat sang ibu.Saat hendak mengambil motor di parkiran, Kiyada kembali disajikan kemesraan sang suami dengan istri pertamanya. Sesuatu yang tak pernah didapatkannya dari Ustaz Subhan. Meski telah dua kali melakukan hubungan suami istri, tetapi sikap Ustaz Subhan masih kerap kaku kepadanya.Wanita itu memilih bersembunyi di balik tiang parkir. Hatinya sakit, tentu saja. Namun, Kiyada sadar di mana posisinya saat ini. Pesan yang Kiyada harapkan dari sang suami tak kunjung muncul di notifikasi. Paling tidak, hanya sekadar pamit jika mau bermalam di rumah istri pertama.Setelah mobil pajero hitam itu benar-benar lenyap dari pandangan, barulah Kiyada berani melangkah menuju parkiran motornya berada. Pujian salawat dari masjid besar di seberang jalan telah berkumandang. Ia tak ingin
Sesampai di depan rumah, Ustaz Subhan sengaja tidak membangunkan Shofia yang tengah tertidur pulas di dalam mobil. Dengan gagahnya di gendong tubuh semampai sang istri ala bridal style hingga masuk ke kamar mereka. Kemudian dengan penuh kasih sayang Ustaz Subhan meletakkan Shofia sampai menemukan posisi ternyaman. Wajah itu tempak menyimpan sebuah kelelahan. Namun, aura kecantikannya tak pernah luntur di mata Ustaz Subhan. “Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dari aku, Sayang.” Ustaz Subhan bermonolog di depan sang istri yang tengah larut dalam mimpi. Diperhatikannya lagi secara intens wajah Shofia yang tampak sedikit pucat, juga pipi yang semakin tirus. Bahkan, mata indah itu juga tampak cekung. Setelah memastikan Shofia benar-benar terlelap, barulah Ustaz Subhan pergi ke depan. Malam ini memang harusnya ia berada bersama Shofia, kerena semenjak menikah lagi belum pernah sekalipun Ustaz Subhan berbagi giliran dengan istri pertamanya. N
Kiyada tak memiliki keberanian untuk sekadar melihat ke jendela ruang tamu. Jantungnya berdetak kencang. Berbagai bayangan muncul silih berganti seiring pintu yang masih diketuk tanpa jeda.“Assalamualaikum.”Terdengar suara seorang laki-laki dari balik pintu ruang tamu. Kiyada tercekat, ia merasa pendengarannya sudah terganggu. Tak mungkin itu suara yang sama dengan yang didengar saat di ruangan Kyai Zuhair tadi.Beberapa menit kemudian tak lagi terdengar suara ketukan pintu. Kiyada memberanikan diri mendekati jendela ruang tamu. Disingkapnya sedikit gorden kusam yang menutupi kaca itu. Seorang laki-laki dengan jaket hitam berdiri membelakangi pintu.Meski hanya dari belakang, Kiyada tahu siapa itu. Dengan jantung yang masih berdebar Kiyada membuka daun pintu. Hati kecilnya mengatakan jika sesuatu kurang baik telah menimpa laki-laki yang pernah mengisi sudut hatinya.“Kak Farhan?” Kiyada berucap lirih saat ses