Kiyada memang telah lama mengagumi sosok laki-laki di hadapannya. Namun, sedikitpun tak pernah terpikir untuk menjadi istri ke duanya. Bagi Kiyada Ustaz Subhan adalah sosok laki-laki saleh idaman kaum hawa.
Bagaimana tidak, wajah menawan sedikit ketimuran, juga ditunjang dengan samudra ilmu yang begitu luas. Sangat serasi dengan Ustazah Shofia. Wanita dengan tubuh tinggi semampai, dan jejak karir di bidang akademi yang patut diperhitungkan.
“Kalau Ustaz tidak rida saya ke kampus, maka saya tidak akan berangkat.”
“Pergilah jika memang itu sangat penting bagi pendidikan kamu.”
Jawaban Ustaz Subhan membuat Kiyada bimbang. Ia sangat ingin merawat sang suami yang tengah sakit di rumah. Namun, dirinya juga takut jika tiba-tiba ada panggilan dari Ustazah Shofia, lalu ia kembali diabaikan.
“Berkas itu bisa diserahkan besok, saya akan merawat Ustaz saja,” pungkas Kiyada pada akhirnya.
Ustaz Subhan tersenyum lebar. “Kemarilah.” Laki-laki itu menepuk tempat tidur di sisinya.
Kiyada mengikuti instruksi sang suami. Perlahan ia menaiki ranjang, duduk di sisi Ustaz Subhan yang seketika menonaktifkan telephon genggamnya.
Sepasang suami istri tersebut masih sama-sama bungkam. Dada Kiyada berdebar, menanti sikap yang akan ditunjukkan Ustaz Subhan. Melihat laki-laki tersebut mematikan HP saja sudah membuat Kiyada bahagia tiada terkira. Berarti tak akan ada panggilan masuk dari Ustazah Shofia.
“Maaf jika sikap saya belum bisa hangat sama kamu. Bahkan saya belum bisa menjadi suami yang adil hingga saat ini.” Ustaz Subhan menghela napas panjang.
Ada rasa haru yang seketika menyergap hati Kiyada. Ia hanya tertunduk, tak tahu harus memberi respon seperti apa atas ucapan sang suami.
“Kamu mau kan membantu saya untuk bisa bersikap adil?” Kini tangan Ustaz Subhan menggenggam lembut jemari Kiyada, tubuhnya juga turut menghadap sang istri.
“Saya tidak tahu pasti adil itu seperti apa, Ustaz,” ucap Kiyada lirih. Ia sama sekali tak memiliki keberanian untuk membalas tatapan Ustaz Subhan.
Di luar sang mentari mulai menampakkan sinarnya. Menyelinap di balik rimbun dedaunan yang tumbuh menjulang. Mengintip sepasang anak adam yang mencoba untuk saling membuka hati. Membangun mahligai yang masih seumur jagung.
Sebab walau tanpa rasa cinta, janji suci itu telah terucap. Kepada Allah Sang Pemilik skenario terindah mereka memasrahkan segalanya.
***
Dering ponsel Kiyada berbunyi nyaring. Ia menatap sang suami yang tengah terlelap di sampingnya. Menggeser sedikit posisi duduknya, Kiyada segera meraih telephon di nakas.
“Assalamualaikum.” Kiyada berjalan menjauhi ranjang, tak ingin Ustaz Subhan terbangun karena suaranya.
.....“Harus sekarang, ya?” .....“Baiklah, aku akan berangkat secepatnya.” Kiyada tertunduk lesu.
Baru saja ia akan menjalin kedekatan dengan Ustaz Subhan, panggilan dari temannya mengharuskan ia berangkat ke kampus sekarang juga. Kiyada bimbang, ia ragu untuk membangunkan sang suami. Namun, dirinya juga tak ingin pergi tanpa mendapatkan izin dari laki-laki yang kini bertanggung jawab atas hidupnya.
Pada akhirnya Kiyada memilih tetap berangkat ke kampus, dengan mengirim pesan singkat ke nomor sang suami. Semoga saja Ustaz Subhan tidak marah dengan keputusannya yang sepihak.
Jarak dari rumah ke kampus memerlukan waktu sekitar dua jam jika perjalanan lancar. Sempat terpikir untuk mencari indekos, tapi Kiyada sadar jika kini ada kewajiban yang harus dijalankan.
Beruntung kini Kiyada telah diberikan motor yang jauh lebih layak oleh Ustaz Subhan. Sehingga ia tak perlu khawatir mogok di tengah jalan seperti dulu. Motor matic yang dikendarai Kiyada melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan kota yang mulai ramai.
Dalam perjalanan Kiyada terus saja terbayang Ustaz Subhan. Ia merasa bersalah telah meninggalkan suaminya tersebut dalam kondisi sakit. Namun, kabar yang ia baca di grup mengatakan bahwa ini adalah hari terakhir pengumpulan berkas kelengkapan pendaftaran.
Sesampai di parkiran, segera Kiyada menuju musala tempat ia janji ketemu dengan Fatimah. Teman yang baru dikenalnya saat kemarin bersama-sama melakukan registrasi. Suasana kampus tampak lebih lengang dari biasanya, karena memang jam kuliah belum sepenuhnya aktif. Mengingat pandemi yang terkadang mengharuskan untuk belajar via online.
“Kiyada. Kamu kuliah lagi?” Sebuah suara yang sangat familiar mampir di telinga Kiyada.
Wanita tersebut menoleh demi memastikan indra pendengarannya.
“Kak Farhan?” Jantung Kiyada berdebar kala sepasang mata itu menatapnya dengan keteduhan yang khas.
Angin pagi berembus perlahan. Memisahkan dedaunan kering dari ranting. Meniup lembut ujung jilbab biru muda yang dikenakan Kiyada. Dua pasang mata saling beradu, tatapan yang dulu sempat menjadi candu, kini kembali bertemu.Senyuman laki-laki itu masih sama. Lesung pipi yang menawan, juga deretan geligi rapi yang menjadi penyempurna. Kiyada tertunduk, tak mampu berlama-lama menikmati keindahan yang sudah bukan haknya lagi.“Kamu beneran kuliah di sini lagi? Mau pindah jurusan atau melanjutkan yang kemarin?” Laki-laki pemilik mata teduh tersebut memberondong Kiyada dengan sederet pertanyaan.“Iya, Kak. Aku mau pindah jurusan.” Kiyada tersenyum canggung.Farhan mengangguk beberapa kali. Laki-laki itu kembali tersenyum menatap Kiyada. Sorot matanya menyiratkan sebuah kerinduan yang mendalam.“Mmm ... kalau begitu aku duluan, Kak,” pamit Kiyada, ia tak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi seperti ini.&ld
[Saya titip Mas Subhan, ya. Layani dia sebaik mungkin] Pesan masuk dari Ustazah Shofia tadi pagi kembali terngiang. Sementara laki-laki di hadapan Kiyada masih menatapnya lekat. Seolah tak ingin terlewat setiap gerak gerik Kiyada. “Siapa? Kok nggak diangkat?” Farhan menaikkan satu alisnya. “Aku keluar sebentar, ya, Kak. Di sini terlalu bising,” tukas Kiyada beralasan. Beruntung keadaan cafe sedang benar-benar ramai pengunjung. Farhan mengangguk, mempersilakan Kiyada untuk menerima panggilan tersebut. Mencari tempat yang cukup sepi, Kiyada menekan tombol untuk menghubungi kembali nomor sang suami. Setelah dua kali panggilan tak terjawab, Ustaz Subhan tak lagi mengulangi panggilan telephonnya. Perasaan bersalah menyelemuti hati Kiyada. Ia merasa seperti istri yang sedang selingkuh secara sembunyi-sembunyi. “Assalamualaikum,” ucap Kiyada lirih begitu dering pertama lansung tersambung. “Waalaikumsalam. Kamu masih belu
Dari sudut ruangan lantunan musik Shanna Shannon berjudul Rela mengalun merdu. Terik matahari perlahan tertutup awan kelabu. Suasana yang tercipta mendadak menjadi sendu. Dua insan itu saling terdiam menata debar dalam kalbu. “Selamat, semoga rumah tangga kamu sakinah mawadah warahmah,” ungkap Farhan pada akhirnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin Farhan lontarkan pada Kiyada. Namun, lidahnya tersa kelu. Apalagi saat Farhan melihat air mata itu, seolah pernikahan Kiyada menyimpan sebuah duka. Perihal rumah tangga Kiyada, Farhan sadar jika itu bukan lagi ranahnya. Sekalipun Kiyada adalah wanita yang ia cintai semenjak dua tahun terakhir. Wanita cerdas dengan segala kesederhanaannya. “Maafkan aku, Kak.” Bergetar suara Kiyada saat mengatakannya.“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kiyada. Semua sudah tertulis sesuai skenario terbaik dari Allah.” Memaksakan senyum terukir meski hati begitu getir. Perlahan rintik hujan menyapa bumi. Menciptak
Seorang yang tadi pagi bersama Kiyada di ruang administrasi datang menghampiri. Wanita itu tampak bertanya-tanya dengan keberadaan laki-laki di samping Kiyada.Fatimah tahu arti tatapan laki-laki di hadapan Kiyada. Laki-laki dengan sorot mata tajam dan meneduhkan tersebut terlihat menyimpan sebuah rasa pada Kiyada.“Kamu nggak langsung pulang, Ki?” Fatimah mengerutkan kening.“Eh, iya ini tadi masih ada sedikit urusan sama Kak Farhan,” ujar Kiyada sedikit gelagapan.“Perkenalkan saya Farhan, kakak tingkatnya Kiyada dulu.” Farhan menangkupkan kedua tangan di depan dada.Fatimah hanya mengangguk sekilas. Tanpa perlu dijelaskan, dari gestur Kiyada dan Farhan ia tahu jika dua insan itu ada sesuatu. Sepertinya meraka memiliki hubungan masa lalu yang lebih dari sekadar teman biasa.Laki-laki itu memang tergolong tampan. Bahkan, di antara mahasiswa yang Fatimah temui di kampus ini, Farhan lah yang paling mempeson
“Kamu tidak lupa sama titipan saya ‘kan?” Ustaz Subhan segera menutup kitab yang tengah dibukanya.Kiyada tersentak, kebersamaan dengan Farhan telah melalaikannya dari titipan sang suami. “Maaf, Ustaz, saya lupa. Soalnya tadi takut keburu hujan.” Kiyada tertunduk merasa bersalah.“Iya, nggak apa-apa. Nanti saya bisa beli di toko.” Laki-laki tersebut tersenyum maklum.Sejujurnya bukan hanya perihal lupa pada pesanan Ustaz Subhan yang membuat Kiyada merasa bersalah. Lebih dari itu, kebersamaannya dengan laki-laki lain lah yang membuat dirinya lalai.“Malam ini kamu ada kesibukan?” tanya Ustaz Subhan masih dalam posisi duduknya bersandar pada kepala ranjang.“Tidak ada, Ustaz. Memangnya kanapa?” Kiyada mengerutkan kening.“Saya mau ajak kamu jalan-jalan.”“Kan Ustaz masih sakit.”Jika tak ingat kesehatan Ustaz Subhan yang mengalami demam tadi
Melewati bibir pantai berpasir putih, dua insan itu kini saling bergandengan tangan. Ustaz Subhan sengaja menonaktifkan telephon genggamnya, karena ia benar-benar ingin bersikap adil pada Kiyada.Masalah hati dan perasaan sampai kapan pun tak akan pernah terbagi sama rata. Di antara kedua istrinya, tentulah rasa cinta Ustaz Subhan lebih besar untuk Shofia. Wanita satu-satunya yang berhasil memikat hati semenjak pandangan pertama.Di saat seperti ini, wajah istri pertamanya justru menari-nari di pelupuk mata. Sedang apakah wanita itu kini. Terakhir saat telephon, Shofia mengatakan jika ibunya Kiyada mengalami kemajuan cukup pesat pada kesehatannya.“Ustaz, saya ingin ke kamar mandi.” Sebuah suara renyah menyentak kesadaran Ustaz Subhan.“Eh, iya. Sepertinya di ujung sana ada kamar mandi untuk umum.” Ustaz Subhan terkesiap.Laki-laki tersebut merutuki dirinya sendiri. Harusnya di saat seperti ini ia tak boleh memikirkan
Kiyada tak tahu harus bahagia atau bersedih atas peristiwa yang baru saja ia alami. Kini dirinya telah resmi melepaskan pusaka yang selama ini dijaga kepada laki-laki yang halal. Seseorang yang menikahinya karena mengharapkan keturunan. Kiyada mengelus perutnya yang masih rata. Bagaimana jika ia benar-benar hamil dan tiba-tiba ibu pulang. Beliau pasti kecewa besar terhadapnya. Putri yang selama ini dibesarkan sepenuh jiwa raga harus rela menjadi istri ke dua. Dipandangi wajah yang tengah tertidur pulas di sampingnya. Laki-laki yang beberapa jam lalu telah berhasil membawanya ke puncak nirwana untuk pertama kalinya. Rahang tegas juga bulu-bulu halus itu sempat menyentuh area sensitif Kiyada. Melihat jarum jam yang menunjuk pukul dua dini hari, Kiyada perlahan turun dari ranjang. Ia tak ingin mengganggu tidur lelap sang suami. “Akh.” Kiyada mengadu merasakan nyeri di area bawahnya. Ustaz Subhan segera terjaga begitu mendengar rintihan dari
Panggilan tak terjawab dari sang suami membuat Shofia uring-uringan sepanjang perjalanan. Ia yang terpaksa pulang sebelum melakukan serangkaian terapi, karena mendapat telephon dari Jihan bahwa abah tadi malam drop dan harus dilariakan ke rumah sakit.Shofia pikir Ustaz Subhan sudah berada di sana, ternyata sampai tadi subuh telephon juga chatnya tak kunjung mendapat respon. Padahal biasanya jika penyakit jantung abah ambuh, suaminya yang berada di garda terdepan untuk merekomendasikan perawatan terbaik.Hingga ia melakukan check in di bandara internasional Singapura, nomor sang suami masih tak bisa dihbungi. Jihan mengatakan jika kemungkinan Ustaz Subhan sama sekali belum mengetahui kondisi abah.Selama berada dalam pesawat, pikiran Shofia benar-benar tidak tenang. Satu sisi ia khawatir dengan penyebab jantung abah kambuh. Sisi lain ia juga merasakan cemburu, karena tak biasanya sang suami menonaktifkan HP selama itu.Mungkinkah sang suami tengah menghab