Aku menarik napas panjang, lalu perlahan menghembuskannya. Aku melakukannya sebelum bertemu dengan ibu. Beliau pasti sedang ada di dapur, menyiapkan sarapan yang sudah aku masak sejak subuh. Rutinitas yang selalu beliau kerjakan setiap pagi.Setelah merasa sudah siap bertemu dengan ibu, aku pun melangkahkan kaki ke arah dapur."Kamu sudah selesai bersiap, Ra?" tanya ibu begitu melihatku masuk ke dapur, dengan senyum menghiasi wajah tuanya.Aku mengangguk menanggapi pertanyaan ibu. Ah, senyum itu. Senyum yang aku tahu sedang ibu paksakan untuk menutupi kesedihannya dariku. Hatiku malah sakit melihat ibu tersenyum seperti itu, padahal aku tahu kalau beliau sedang memendam kesedihan. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku pasti tidak akan membawa ibu ikut bersamaku agar beliau tidak perlu bersedih hati."Duduklah, Ra. Ibu sudah selesai menyiapkan sarapannya," ucap ibu lagi membuatku tersadar dari lamunan.Aku pun langsung duduk dan memulai sarapan dalam diam. Aku masih belum bisa mengelu
Sudah dua minggu berlalu sejak kehadiran Linda di ruang kerja Pak Alif, dan sejak itu pula aku melihatnya selalu datang menemui Pak Alif. Bahkan dia selalu datang setiap hari, walaupun waktunya selalu tidak tentu. Kadang bisa siang kadang bisa sore.Hari ini pun dia juga datang di jam makan siang, entah apa hubungan mereka hingga Linda mendatangi Pak Alif setiap hari, aku juga tidak tahu. Dan aku pun tidak mau tahu apapun tentang Linda. Tapi yang aku syukuri adalah dia selalu datang sendiri, tanpa Mas Hilman tentunya.Aku sudah mulai terbiasa melihat Linda wara wiri di sekitarku. Mungkin aku juga sudah kebal dengan kehadirannya, atau mungkin karena aku sudah bertekad keluar dari penderitaanku. Entahlah. Yang pasti sekarang aku tidak terpengaruh dengan kehadiran Linda. Tidak seperti di awal-awal pertemuanku dengannya.Walau mungkin terkadang aku masih merasa enggan untuk melihat wajah maduku itu. Apa aku bisa menyebutnya maduku, sementara dia saja tidak tahu kalau aku adalah istri pert
"Hai, Ra."Aku menoleh, menatap suara orang yang menyapaku. Lalu, aku mengangguk sembari tersenyum sopan ketika netraku menemukan Pak Alif yang telah menyapaku, bahkan dia sudah berada di sampingku.Aku sedang duduk di depan restoran, menunggu ojek pesananku datang. Jika biasanya aku selalu berangkat dan pulang bersama dengan Mila, tapi tidak dengan hari ini. Hari ini Mila sedang ijin, dia berada di rumah saudaranya yang sedang hajatan."Kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi."Saya sedang menunggu ojek, Pak," jawabku."Mila kemana? Biasanya kamu selalu barengan sama dia?""Mila tadi ijin, Pak," jawabku lagi."Oh," sahut Pak Alif, lalu dia terdiam sejenak sembari menatapku dengan pandangan aneh, "boleh aku duduk di sini?" tanya Pak Alif lagi, membuatku mengernyitkan kening. Heran, kenapa Pak Alif mau duduk di sini bersamaku. Sedangkan dia tidak perlu menunggu ojek sepertiku. Karena Pak Alif tinggal di bagian lantai atas restoran. Aku pun belum pernah menginjakkan kaki di lantai terse
Langit nampak menggelap karena mendung, angin pun sudah berhembus dengan kencangnya sejak tadi. Aku sedang duduk di teras rumah, menikmati secangkir kopi hitam. Minuman yang dulu tidak pernah aku sukai, tapi semenjak pindah kemari, aku jadi menyukainya. Rasa pahit kopinya, mengingatkanku akan pahitnya hidupku setelah mengetahui pengkhianatan Mas Hilman.Hari ini aku sedang libur, jadi aku sedang menikmati waktu soreku dengan bersantai di depan rumah. Sedangkan ibu, sedang ada di kamar mandi. Katanya setelah selesai dari kamar mandi, beliau akan menyusulku ke depan. Sekalian membawakan camilan untuk kami santap sembari bersantai bersama.Aku kembali menyesap kopi yang masih mengeluarkan asapnya. Setelahnya, aku meletakkan kembali cangkir yang berisi kopi tersebut di atas meja.Sembari menunggu ibu, aku memainkan ponsel. Bertukar pesan dengan Mila yang masih ada di tempat kerja. Dan dari Mila aku mengetahui jika Linda dan Mas Hilman kembali mengunjungi Pak Alif, sama seperti biasanya.S
"Lin-da ...." sebut Mas Hilman terbata."Iya, Mas. Ini aku. Jelaskan padaku apa maksud ucapanmu tadi, aku ingin mendengarnya," sahut Linda menatap tajam Mas Hilman."I-ni tidak seperti yang kamu bayangkan, Lin." Mas Hilman masih saja mengelak, tampak tidak mau mengakui semuanya."Lalu?" tanya Linda tampak menunggu jawaban dari Mas Hilman.Aku menyunggingkan senyum sinis, merasa lucu melihat Mas Hilman yang gelagapan menghadapi Linda. Ternyata tidak buruk juga melihat Mas Hilman dan Linda seperti itu. Semoga saja ibu tidak keluar dulu. Aku ingin menikmati pertunjukan ini lebih lama.Jujur aku tidak takut jika Linda mengetahui hubunganku dengan Mas Hilman. Aku malah merasa senang, karena ini akan mempermudahku untuk berpisah dengan Mas Hilman. Mau tidak mau Mas Hilman pasti akan mengabulkan permintaan cerai dariku. Dia pasti tidak bisa terus mempertahankanku di saat Linda sudah mengetahui siapa aku sebenarnya.Mas Hilman terdiam, belum menjawab pertanyaan dari maduku itu. Dia juga tampa
"Hei ... tolong jika ingin menyelesaikan urusan rumah tangga kalian, di rumah kalian sendiri saja. Jangan di sini. Aku merasa terganggu sekali dengan drama yang kalian buat," ucapku jengah sekali melihat mereka berdua sedang berpelukan sejak tadi.Mas Hilman sedari tadi tampak membujuk Linda, menenangkannya yang terus menangis histeris. Aku tersenyum kecut melihat Mas Hilman nampak berusaha keras menenangkan Linda. Maduku itu sedari tadi tidak henti-hentinya menangis. Aku jadi makin muak melihat mereka. Segitu perhatiannya Mas Hilman pada istri keduanya itu."Sudahlah, Mas. Bawa saja istri keduamu itu pergi dari rumah ini. Aku sudah muak mendengar tangis manjanya itu," ucapku lagi.Mas Hilman menatapku, sorot matanya tajam di arahkan padaku, "Kamu tega sekali berbicara seperti itu, Ra. Padahal Linda sedang hamil, bagaimana jika terjadi sesuatu pada kehamilannya? Apa kamu sudah tidak punya hati?"Tidak. Aku memang sudah tidak punya hati. Mangkanya jangan mengharapkanku lagi."Memang ap
"Aku berangkat dulu, Bu," ucapku sembari meraih tangan ibu dan mengecup punggung tangannya."Iya, hati-hati di jalan, Ra," sahut ibu sembari mengelus puncak kepalaku.Aku mengangguk menanggapi ucapan ibu, lalu aku melepaskan tangan ibu dan mulai melangkah setelah mengucapkan salam pada beliau. Hari ini langkahku terasa ringan sekali, seolah aku telah terlepas dari belenggu yang selama ini mengikat langkahku. Aku merasa sangat bebas.Dari kejauhan netraku melihat Mila yang sudah duduk di atas montornya, bersiap untuk berangkat kerja. Tumben sekali dia sudah bersiap. Biasanya, aku yang selalu menunggu dia selesai bersiap. Aku langsung mempercepat langkahku menuju ke arahnya, aku tidak mau membuatnya menunggu lama, padahal aku numpang padanya."Sudah menunggu lama ya, Mil?" tanyaku begitu sampai."Nggak kok, aku juga baru keluar," jawab Mila sembari menyerahkan helm padaku.Aku meraih helm tersebut dan langsung memakainya. Setelah memakai helm aku naik di belakang Mila. Lalu Mila mulai m
"Maukah kamu ikut denganku nanti, Ra?"Aku melebarkan mataku mendengar pertanyaan Pak Alif. Pertanyaannya benar-benar mengejutkanku."Ikut?" tanyaku mencoba memperjelas pertanyaan Pak Alif."Iya, Ra. Ikut denganku menemui ayahku." Jawaban Pak Alif membuatku bingung. "Jika aku ke sana sendiri, aku takut tidak bisa menahan diri, Ra," tambahnya.Aku terdiam, bingung harus bagaimana. Tapi aku juga merasa tidak enak hati jika sampai menolak ajakan Pak Alif. Ingin menolak tapi dia adalah bos di tempatku kerja, ingin mengiyakan tapi aku bukan siapa-siapa bagi Pak Alif, mana mungkin aku ikut pergi menemui ayahnya. Apa kata orang nanti.Duh, aku dilema. Aku menatap Pak Alif yang nampak masih menunggu jawaban dariku. Sorot mata Pak Alif menunjukkan kalau dia berharap aku menerima ajakan darinya. Aku jadi makin dilema.Aku mengalihkan pandanganku pada Pak Alif, lalu aku menghela napas panjang. "Baiklah, Pak. Saya akan ikut Bapak.""Terima kasih banyak, Ra. Nanti kamu bisa pulang lebih cepat dari