Share

Maduku Sayang
Maduku Sayang
Penulis: Bintu Hasan

1. Berbagi Kasih

“Berbuat baiklah pada Vidia. Dia cinta pertamaku sekaligus calon adik madu kamu.”

Aku diam seribu kata, merasa hancur bagai disambar petir.

“Perlakuanku padamu, tergantung perlakuan kamu padanya,” tambah Ferdila. Perempuan yang bernama Vidia tersenyum tipis padaku.

“Fer.” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sekarang. Dadaku seketika sesak mendapati kenyataan sepahit ini.

“Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Kalau kamu keberatan, silakan ajukan permintaan cerai.”

“Kenapa?” tanyaku. Suara benar-benar lemah.

“Agar orangtua kita tidak menyalahkan Vidia. Kamu tahu? Vidia sangat berharga, Din.”

Setelah mengucapkan itu, Ferdila menggandeng tangan Vidia masuk rumah. Mereka duduk di kursi tamu, mengobrol begitu hangat.

Aku menutup rapat pintu utama, kemudian berlari kecil masuk kamar. Kutenggelamkan wajah di tepi ranjang sambil terus merutuki nasib.

“Tuhan, kenapa aku selemah ini?” lirihku.

Ferdila bilang perempuan itu sangat berharga bahkan seolah tidak peduli jika aku meminta cerai. Padahal dia pernah cerita bahwa Vidia menolak mentah-mentah saat Ferdila mengutarakan rasa bahkan dia dipermalukan.

Sekarang kenapa ceritanya berbeda?

Dulu dia merasa sakit hati dan menganggap Vidia sampah, sementara aku adalah permata berharga. Apa mungkin waktu yang menukar posisi kami?

Aku akui, siapa pun yang melihat Vidia akan terpesona karena kecantikan yang nyaris sempurna. Hidung mancung, bibir tipis dan rambut pirang. Jika melihat sekilas dia lebih mirip orang Inggris.

“Tidak, semua harus jelas sekarang. Ferdila tidak boleh seenaknya mencari adik madu untukku,” gumamku, lalu bangkit dan melangkah ke luar.

Mereka masih mengobrol hangat bahkan Ferdila terlihat sangat bahagia. Tatapan dinginnya saat menjelaskan tentang perempuan itu tadi kini berubah hangat.

Aku penasaran kenapa mereka bisa bersama padahal kemarin-kemarin kami tidak pernah beradu mulut. Pernikahan sudah tiga tahun apakah tidak cukup untuk saling membangun cinta lebih megah?

“Fer, aku mau bicara sebentar,” ucapku setelah sampai. Di kamar tadi hati terasa panas dan ada keinginan memaki, tetapi di hadapan Ferdila aku seketika lemah.

“Di sini saja.”

“Aku mau kita bicara empat mata, tanpa Vidia. Apalagi dia masih belum menjadi istri kamu, Fer.”

Ferdila mengembus napas kasar, lalu melangkah ke kamar. Aku mengikuti dengan perasaan gundah. Hati kalang kabut mencari jawaban yang tepat agar tidak terluka begitu dalam.

Sesampainya di kamar, aku langsung duduk di tepi ranjang sementara Ferdila berdiri dengan melipat kedua tangan di depan dada. “Mau bicara apa?”

“Aku mau tahu alasan kamu mencari adik madu.”

“Alasannya terlalu banyak, Din.” Ferdila menjawab singkat, tetapi mampu membuatku menertawakan diri sendiri.

Mungkin maksud Ferdila salah satunya dari segi fisik. Mereka berdua sama-sama putih dan tinggi, sedangkan aku pendek dan tidak secantik Vidia. 

“Salah satunya saja.” Aku melipat bibir setelah mengucapkan kalimat itu.

“Pertama, kamu mandul. Ke dua, Vidia cinta pertamaku. Ke tiga, dia lebih memuaskan mata ketika memandang. Cukup?”

Air mata jatuh tanpa permisi. Ferdila langsung meninggalkan kamar, tangan kanannya membanting pintu begitu keras. Malang nian nasib perempuan yang harus merelakan suaminya dimiliki perempuan lain.

Aku salah. Mungkin selama ini Ferdila berlaku baik karena kasihan, mungkin juga dia hanya menjadikanku pelampiasan atas luka yang diberi Vidia. Sekarang cintanya sudah terbalas, aku tidak lagi dianggap.

Lelucon apa ini?

“Ferdila!” teriakku histeris kemudian mengambil botol parfum dan melempar pada kaca rias.

Hancur, serupa diriku!

Ingin sekali aku seperti perempuan lain yang bisa menjambak rambut calon adik madunya bahkan mempermainkan suami agar merasa kesal dan bersalah. Namun, aku tidak pandai bahkan untuk meluahkan rasa pun tidak mampu.

“Ardina! Kamu apa-apaan?!” bentak Ferdila. Wajahnya memerah.

“Kamu yang apa-apaan? Seharusnya kalau mau cari perempuan lain harus bilang dulu sama aku!” bentakku.

Aku menghapus air mata.

“Mentang-mentang dia cinta pertama kamu?! Mentang-mentang dia jauh lebih cantik?! Apa kamu tidak ingat kalau Vidia pernah menolakmu mentah-mentah?!” Entah keberanian dari mana sehingga aku bisa mengatakan kalimat itu dengan suara tinggi.

“Eh, Din! Kalau Ferdila sudah gak suka sama kamu, diam aja. Gak usah sampai mecahin kaca kayak gini. Mau seperti di sinetron? Iya?!” sela Vidia.

Aku menatap penuh amarah padanya. “Kamu jangan ikut campur, ya, Vid. Ini urusan aku dengan Ferdila. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini!”

“Aku calon istri Ferdila!” balas Vidia dengan bangganya.

Luka semakin membara menguasai seluruh jiwaku. Hati terbakar api cemburu hingga rasanya ingin mengakhiri hidup. Namun, bagiku ini bukan cara terbaik karena tidak berpengaruh pada mereka.

Netraku menatap Ferdila yang mengatup bibirnya rapat. Tidak ada pembelaan di sini. Hatinya mungkin sudah diserahkan penuh untuk Vidia. Lalu, atas dasar apa aku harus mempertahankan rumah tangga ini?

“Bersihkan semua ini! Aku tidak suka melihat sesuatu yang berserakan di sini. Sampah!”

“Jangan mulut kamu, Vid!” teriakku.

“Ardina! Kamu jangan meninggikan suara untuk Vidia!” bentak Ferdila.

Lelaki itu ternyata sudah tenggelam dalam lautan asmara. Aku membuang muka. “Keluar dari kamar ini. Kalian lebih cocok tinggal di istana dengan banyak pembantu, 'kan?”

“Kenapa harus pakai pembantu jika istri bisa membersihkan semuanya.” Ferdila menatap tanpa rasa iba.

“Apa kamu akan rela kalau tangan halus Vidia melakukan pekerjaan rumah, Fer?”

“Kamu, kan, ada.” Vidia tersenyum manis.

Satu tamparan berhasil mendarat di wajah mulus Vidia. Aku seperti mencari nahas karena Ferdila pasti akan memarahiku. Ah, bukan hanya marah, tetapi dia balas menampar.

“Tega menampar istri sendiri karena orang lain?”

“Lusa, Vidia bukan orang lain lagi. Kedudukannya akan sama denganmu. Sejak awal sudah aku beritahu bahwa perlakuanku padamu itu tergantung perlakuan kamu padanya.”

“Suami kepar*t!” teriakku.

Lagi, tamparan berhasil mendarat di pipiku. Sekilas aku melihat Vidia tersenyum, kemudian bergelayut manja di lengan Ferdila. “Fer, kamu bisa tersulut emosi bahkan kena penyakit jantung kalau tetap di sini. Yuk, keluar saja. Aku yakin mood kamu lekas membaik.”

Mereka berdua keluar, sementara aku melangkah mundur dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Miris sekali kehidupan sekarang, sangat berbanding jauh dengan hari sebelumnya. Aku penasaran, sudah berapa lama mereka menjalin hubungan.

“Suatu hari aku akan balas perlakuan kalian. Mungkin hari ini karena terlampau sakit menjadikanku lemah. Namun, semua akan berlalu.”

“Kamu terlalu meremehkanku, Fer. Kamu bahkan tidak segan menampar istrimu di depan Vidia. Tunggu dan lihat saja siapa yang akan mengemis nanti.”

“Aku akan bermain dengan cantik sehingga kamu mengira kalau ikhlas itu hadir. Kamu akan menyesal dengan ketidaktahuanmu.”

Aku terus bermonolog sambil memikirkan cara agar bisa keluar dari kehidupan yang teramat menyedihkan ini. “Mungkin Yuni tahu solusinya.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sadar diri dan ukur kemampuan mu. klu kamu g bisa mengolah otak mu biar sedikut lebih pintar maka jamu pantas jd babu utk suami dan madu mu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status