“Berbuat baiklah pada Vidia. Dia cinta pertamaku sekaligus calon adik madu kamu.”
Aku diam seribu kata, merasa hancur bagai disambar petir.
“Perlakuanku padamu, tergantung perlakuan kamu padanya,” tambah Ferdila. Perempuan yang bernama Vidia tersenyum tipis padaku.
“Fer.” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku sekarang. Dadaku seketika sesak mendapati kenyataan sepahit ini.
“Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Kalau kamu keberatan, silakan ajukan permintaan cerai.”
“Kenapa?” tanyaku. Suara benar-benar lemah.
“Agar orangtua kita tidak menyalahkan Vidia. Kamu tahu? Vidia sangat berharga, Din.”
Setelah mengucapkan itu, Ferdila menggandeng tangan Vidia masuk rumah. Mereka duduk di kursi tamu, mengobrol begitu hangat.
Aku menutup rapat pintu utama, kemudian berlari kecil masuk kamar. Kutenggelamkan wajah di tepi ranjang sambil terus merutuki nasib.
“Tuhan, kenapa aku selemah ini?” lirihku.
Ferdila bilang perempuan itu sangat berharga bahkan seolah tidak peduli jika aku meminta cerai. Padahal dia pernah cerita bahwa Vidia menolak mentah-mentah saat Ferdila mengutarakan rasa bahkan dia dipermalukan.
Sekarang kenapa ceritanya berbeda?
Dulu dia merasa sakit hati dan menganggap Vidia sampah, sementara aku adalah permata berharga. Apa mungkin waktu yang menukar posisi kami?
Aku akui, siapa pun yang melihat Vidia akan terpesona karena kecantikan yang nyaris sempurna. Hidung mancung, bibir tipis dan rambut pirang. Jika melihat sekilas dia lebih mirip orang Inggris.
“Tidak, semua harus jelas sekarang. Ferdila tidak boleh seenaknya mencari adik madu untukku,” gumamku, lalu bangkit dan melangkah ke luar.
Mereka masih mengobrol hangat bahkan Ferdila terlihat sangat bahagia. Tatapan dinginnya saat menjelaskan tentang perempuan itu tadi kini berubah hangat.
Aku penasaran kenapa mereka bisa bersama padahal kemarin-kemarin kami tidak pernah beradu mulut. Pernikahan sudah tiga tahun apakah tidak cukup untuk saling membangun cinta lebih megah?
“Fer, aku mau bicara sebentar,” ucapku setelah sampai. Di kamar tadi hati terasa panas dan ada keinginan memaki, tetapi di hadapan Ferdila aku seketika lemah.
“Di sini saja.”
“Aku mau kita bicara empat mata, tanpa Vidia. Apalagi dia masih belum menjadi istri kamu, Fer.”
Ferdila mengembus napas kasar, lalu melangkah ke kamar. Aku mengikuti dengan perasaan gundah. Hati kalang kabut mencari jawaban yang tepat agar tidak terluka begitu dalam.
Sesampainya di kamar, aku langsung duduk di tepi ranjang sementara Ferdila berdiri dengan melipat kedua tangan di depan dada. “Mau bicara apa?”
“Aku mau tahu alasan kamu mencari adik madu.”
“Alasannya terlalu banyak, Din.” Ferdila menjawab singkat, tetapi mampu membuatku menertawakan diri sendiri.
Mungkin maksud Ferdila salah satunya dari segi fisik. Mereka berdua sama-sama putih dan tinggi, sedangkan aku pendek dan tidak secantik Vidia.
“Salah satunya saja.” Aku melipat bibir setelah mengucapkan kalimat itu.
“Pertama, kamu mandul. Ke dua, Vidia cinta pertamaku. Ke tiga, dia lebih memuaskan mata ketika memandang. Cukup?”
Air mata jatuh tanpa permisi. Ferdila langsung meninggalkan kamar, tangan kanannya membanting pintu begitu keras. Malang nian nasib perempuan yang harus merelakan suaminya dimiliki perempuan lain.
Aku salah. Mungkin selama ini Ferdila berlaku baik karena kasihan, mungkin juga dia hanya menjadikanku pelampiasan atas luka yang diberi Vidia. Sekarang cintanya sudah terbalas, aku tidak lagi dianggap.
Lelucon apa ini?
“Ferdila!” teriakku histeris kemudian mengambil botol parfum dan melempar pada kaca rias.
Hancur, serupa diriku!
Ingin sekali aku seperti perempuan lain yang bisa menjambak rambut calon adik madunya bahkan mempermainkan suami agar merasa kesal dan bersalah. Namun, aku tidak pandai bahkan untuk meluahkan rasa pun tidak mampu.
“Ardina! Kamu apa-apaan?!” bentak Ferdila. Wajahnya memerah.
“Kamu yang apa-apaan? Seharusnya kalau mau cari perempuan lain harus bilang dulu sama aku!” bentakku.
Aku menghapus air mata.
“Mentang-mentang dia cinta pertama kamu?! Mentang-mentang dia jauh lebih cantik?! Apa kamu tidak ingat kalau Vidia pernah menolakmu mentah-mentah?!” Entah keberanian dari mana sehingga aku bisa mengatakan kalimat itu dengan suara tinggi.
“Eh, Din! Kalau Ferdila sudah gak suka sama kamu, diam aja. Gak usah sampai mecahin kaca kayak gini. Mau seperti di sinetron? Iya?!” sela Vidia.
Aku menatap penuh amarah padanya. “Kamu jangan ikut campur, ya, Vid. Ini urusan aku dengan Ferdila. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini!”
“Aku calon istri Ferdila!” balas Vidia dengan bangganya.
Luka semakin membara menguasai seluruh jiwaku. Hati terbakar api cemburu hingga rasanya ingin mengakhiri hidup. Namun, bagiku ini bukan cara terbaik karena tidak berpengaruh pada mereka.
Netraku menatap Ferdila yang mengatup bibirnya rapat. Tidak ada pembelaan di sini. Hatinya mungkin sudah diserahkan penuh untuk Vidia. Lalu, atas dasar apa aku harus mempertahankan rumah tangga ini?
“Bersihkan semua ini! Aku tidak suka melihat sesuatu yang berserakan di sini. Sampah!”
“Jangan mulut kamu, Vid!” teriakku.
“Ardina! Kamu jangan meninggikan suara untuk Vidia!” bentak Ferdila.
Lelaki itu ternyata sudah tenggelam dalam lautan asmara. Aku membuang muka. “Keluar dari kamar ini. Kalian lebih cocok tinggal di istana dengan banyak pembantu, 'kan?”
“Kenapa harus pakai pembantu jika istri bisa membersihkan semuanya.” Ferdila menatap tanpa rasa iba.
“Apa kamu akan rela kalau tangan halus Vidia melakukan pekerjaan rumah, Fer?”
“Kamu, kan, ada.” Vidia tersenyum manis.
Satu tamparan berhasil mendarat di wajah mulus Vidia. Aku seperti mencari nahas karena Ferdila pasti akan memarahiku. Ah, bukan hanya marah, tetapi dia balas menampar.
“Tega menampar istri sendiri karena orang lain?”
“Lusa, Vidia bukan orang lain lagi. Kedudukannya akan sama denganmu. Sejak awal sudah aku beritahu bahwa perlakuanku padamu itu tergantung perlakuan kamu padanya.”
“Suami kepar*t!” teriakku.
Lagi, tamparan berhasil mendarat di pipiku. Sekilas aku melihat Vidia tersenyum, kemudian bergelayut manja di lengan Ferdila. “Fer, kamu bisa tersulut emosi bahkan kena penyakit jantung kalau tetap di sini. Yuk, keluar saja. Aku yakin mood kamu lekas membaik.”
Mereka berdua keluar, sementara aku melangkah mundur dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Miris sekali kehidupan sekarang, sangat berbanding jauh dengan hari sebelumnya. Aku penasaran, sudah berapa lama mereka menjalin hubungan.
“Suatu hari aku akan balas perlakuan kalian. Mungkin hari ini karena terlampau sakit menjadikanku lemah. Namun, semua akan berlalu.”
“Kamu terlalu meremehkanku, Fer. Kamu bahkan tidak segan menampar istrimu di depan Vidia. Tunggu dan lihat saja siapa yang akan mengemis nanti.”
“Aku akan bermain dengan cantik sehingga kamu mengira kalau ikhlas itu hadir. Kamu akan menyesal dengan ketidaktahuanmu.”
Aku terus bermonolog sambil memikirkan cara agar bisa keluar dari kehidupan yang teramat menyedihkan ini. “Mungkin Yuni tahu solusinya.”
Aku meraih ponsel dan mengirim pesan untuk Yuni. Untung saja hari ini libur sehingga tidak harus menunggunya pulang dari kantor. Dia memang tergolong dewasa dan pandai mengambil sikap terlebih saat dalam urusan percintaan. Tersakiti berulang kali menjadikannya sangat berpengalaman. Yuni juga teman SMA Ferdila dan Vidia dulu. Mungkin dia tahu kelemahan mereka atau salah satunya saja. Satu jam berlalu, dia sudah sampai. Aku harus menghilangkan pikiran tentang kemesraan Ferdila dahulu. Kami duduk saling berhadapan. “Ada masalah apa, Din? Tumben banget kamu memintaku datang hari libur. Biasanya jalan-jalan sama Ferdi.” “Itu dulu, Yun. Ferdi sudah punya perempuan lain. Kamu pasti gak nyangka siapa perempuan itu.” Aku menjawab setelah menarik napas panjang berulang kali. “What?!” “Iya, perempuan itu bernama Vidia.” “Vidia Maida?!” Yuni terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Aku hanya bisa mengangguk membenarkannya. “
“Iya, Vidia itu terkenal licik. Aneh saja, kenapa Ferdila malah jatuh cinta mati padanya.” “Licik gimana?” “Haduh, banyak. Bahkan sejak SD dia sudah pandai membully orang. Vidia itu mata duitan, Din.” Jantungku berdegup kencang. Sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menyampaikan pada Ferdila juga tidak mungkin karena hanya akan mendapat amarahnya. Hati yang sudah dikuasai orang lain itu susah untuk kembali. *** Hari sudah malam. Sejak sore tadi aku tidak ada kesibukan. Ingin keluar mencari Ferdila juga tidak mungkin karena tidak tahu alamat rumah Vidia. Jam sudah menunjuk angka sembilan, aku mendengar suara orang dari luar. Saat membuka pintu, rupanya Ferdila kembali. Hanya saja di sampingnya berdiri seorang perempuan. Tidak usah ditanya itu siapa, sudah pasti adalah Vidia. “Fer, kamu bawa Vidia pulang ke sini? Apa kata tetangga?” tanyaku setelah keluar kamar. “Tidak usah pus
Panggilan telepon terputus sepihak. Aku menarik napas dalam berulang kali agar air mata tidak jatuh membasahi pipi. Nomor tidak dikenal itu entah milik siapa. Ingin menelepon balik, ternyata sudah diblokir duluan. Lantai aku bersihkan, setelah itu melangkah masuk kamar dan membanting kasar pintu. Untuk berbaring saja jijik rasanya mengingat mereka tidur di kamar ini tadi malam. Aku membuka lemari dan mengambil semua pakaianku untuk dipindahkan ke kamar tamu. Tidak apa mengalah untuk saat ini, suatu hari kita akan tahu siapa yang mengemis untuk bertahan. Besok suamiku akan menikah dengan pacar yang dia anggap lebih baik dari istrinya. Semoga saja dia bahagia agar tidak menangis darah. Aku harus hadir untuk memberi hadiah paling terbaik sehingga mereka tidak akan pernah melupakannya. Malam telah tiba, angin berembus memaksaku berselimutkan rindu. Tak ingin menyimpan sesak sendirian, aku menelepon Yuni. “Ada apa, Din?” “Besok Ferdila nika
“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?” “Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?” “Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?” “Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras. “Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?” “Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!” “Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni. “Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila. “Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku. Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir. “Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga
“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.” “Lalu?” “Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?” “Kamu mengancamku?” “Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?” Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas. Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan. Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut! Aku : Gimana? Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya. Aku : Terimakasih. *** Tepat hari s
Aku Vidia Maida. Perempuan yang lahir di Indonesia, tetapi memiliki wajah dan postur serupa Inggris. Tidak mengherankan karena orangtuaku masih asli London. Usiaku kini tidak lagi muda, saatnya mencari lelaki yang bisa memberiku kehidupan layak meski ibu bukan orang miskin. Sebenarnya ayah dan ibu memintaku memanggil mereka 'mom and dad' hanya saja itu terlalu berlebihan karena ini di Indonesia. Ayah Ketua Gengster. Dia sudah sering keluar masuk penjara dengan berbagai kasus. Ibu pun seperti tidak peduli dan menghabiskan waktunya di luar. Tidak jarang dia membawa pulang lelaki dan mabuk bersama. Kami non muslim, tentu pakaian mini tidak menjadi masalah. Aku yang muak melihat mereka memilih tinggal di apartemen. Bertemu dengan Ferdila adalah sesuatu yang sangat kebetulan. Aku merasa takjub melihat perubahan yang ada padanya. Bukan hanya masalah harta, tetapi juga fisik dan rupa yang menawan. Siapa pun akan jatuh hati. Aku sengaja menggoda lelak
Aku mengetuk pintu setelah mendengar Vidia memekik. Meski dia hanya bisa melukai hati, tetapi aku bukan manusia yang tidak berperasaan. Khawatir tentu menjalar terutama pada bayi dalam kandungannya.Dia darah daging Ferdila dan tidak pantas disalahkan.“Ada apa?” tanya Vidia setelah pintu dibuka.“Aku dengar kamu teriak, kenapa?”“Gak apa-apa. Perlu bantuan?”“Oh, tidak usah. Semua sudah beres.”“Istirahatlah.”Aku mengangguk. Entah kerasukan apa, tatapan Vidia hangat bahkan kalimatnya terdengar tulus. Namun, seperti yang selalu Yuni sampaikan bahwa jangan sampai terlena pada senyum dan sikap hangat musuh.Dalam kamar aku melakukan panggilan telepon dengan Yuni. Kami basa-basi sebentar, kemudian mulai membahas inti masalah saat dia bertanya perkembangan.“Sepertinya Vidia percaya aku mau jadi temannya. Dia sering senyum-senyum sendiri, mungkin mengejek dal
“Sabar, Vid. Mungkin kamu salah masukin bumbu.” Aku berkata pelan, padahal sebenarnya ingin menampar. Namun, demi menjalankan misi, lebih baik bertingkah lugu.“Iya, sejak tadi aku duduk di ruang tengah, gak pernah sekali pun Ardina ke luar kamar,” sambung Ferdila.Aku tersenyum dalam hati. Dia tidak tahu kalau beberapa bumbu sudah tertukar tempatnya termasuk garam, terigu dan gula. Vidia tidak sejeli itu ternyata.“Kamu kalau gak bisa masak, bilang! Jangan sok-sokan mau ngasih aku masakan buatanmu yang rasanya amburadul gini!” Ferdila melempar sendok.“Fer, sabar. Jangan marah pada Vidia. Kemarahan gak akan menyelesaikan masalah. Biar aku pesan makanan saja.” Aku kembali bersuara lembut.“Anj*ng! Memang aku gak pantas jadi pembantu. Lain kali Ardina saja yang masak. Dia lebih cocok!”Ferdila menampar Vidia. “Jadi perempuan jangan suka ngomong sekasar itu. Mudah banget keluari