"Kenapa harus menangis, Fer? Bukannya senang karena Yuni meninggal dan tidak ada yang membantuku menyingkirkan istrimu itu?"
Ferdila semakin mengeratkan pelukannya. Untuk sesaat aku tidak tega memenjarakan Vidia, tetapi jika membiarkannya hidup tanpa hukuman apakah akan sepadan?
Yuni telah melakukan banyak hal untukku selama dia hidup dan saatnya aku membalas budi. Rasa sakit merebak ke seluruh tubuh, sunyi pun merajai hati dan aku hanya bisa mengembuskan napas kasar berusaha menerima takdir.
"Maafkan aku, Sayang. Aku menyesal," lirih Ferdila. Aku membalikkan badan dan menatap matanya dalam. Tidak ada kebohongan di sana.
"Maafkan aku yang selama ini tidak bisa mengawal perasaan bahkan tidak pernah berlaku adil. Sementara Vidia ada dalam penjara, mari kita buka lembaran baru," lanjutnya lagi.
Aku terenyuh dengan kalimat Ferdila. Detik selanjutnya dia mendaratkan kecupan di kelopak mata yang perlahan tertutup. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasaka
Rupanya suasana sudah sepi. Ke mana mereka semua? Ini tidak mungkin halusinasi. Tiba-tiba aku terkejut saat ada yang memegang bahuku, saat menoleh...."Fer! Kaget tau!" pekikku dengan suara tertahan."Ke mana mereka, Din?""Entah.""Seperti ada yang menyelamatkan kita," bisiknya.Namun, aku tidak mengindahkan kalimat Ferdila barusan. Sekarang karena situasi sudah aman, maka lebih baik menikmati makan malam khusus.Ini adalah saat yang paling aku nantikan. Makan berdua dengan Ferdila sementara madu yang paling aku cintai harus tinggal di balik jeruji besi. Ah, aku tidak ingin tahu tentangnya lagi karena bisa merusak mood.Di meja makan sudah terhidang beberapa lauk. Betapa menyenangkannya melihat tangan Ferdila terulur. Dia ingin menyuapiku seperti dulu semasa jadi pengantin baru.Senyuman merekah indah di bibir. Dan ... ada sesuatu yang menempel ketika aku menutup mata. Nikmat sekali, hingga jantung berdegup lebih cepat dari bi
Aku melirik jam yang sudah menunjuk angka sembilan malam. Tadi sebenarnya ingin menemui Genta, tetapi Ferdila bilang aku harus pulang cepat karena sudah tidak tahan.Entah bagaimana kabar lelaki itu sekarang. Dia sulit dihubungi bahkan via sosial media sekali pun. Suara pintu kamar mandi terbuka, aku segera meletakkan ponsel agar Ferdila tidak curiga.Dia baru saja selesai mandi dan berdiri dalam keadaan bertelanjang dada. Jujur saja sebagai perempuan normal aku harus menelan saliva karena ingin memeluk erat tubuh jangkung yang dadanya bidang itu.Aroma sampo juga sabun merebak cepat. Tiba-tiba rasa ingin semakin menyeruak menggemuruhkan jiwa. Ferdila menarik sudut bibir menghampiriku yang hanya mengenakan kimono tipis.Kami duduk saling berhadapan. Malam belum terlalu larut, haruskah secepat ini bahkan ketika aku masih sempat memikirkan Genta?"Ardina ... kamu sudah siap?""S-siap apa?" tanyaku pura-pura untuk mengulur waktu. Sialnya
Aku menelan saliva ketika mendapat pesan Whats*pp dari nomor tidak dikenal. Pasalnya itu bukan pesan singkat biasa melainkan foto bug*l seorang lelaki bernama Genta.Dia tidur di hotel dengan seorang perempuan yang tubuhnya berbalut selimut. Sayang sekali wajah itu diblurnya, mungkin tidak ingin malu jika sampai viral di media sosial.Namun, ada sesuatu yang aneh. Ketika aku mencoba mengabari Genta perihal foto itu, dia tidak aktif sama sekali. Ada rasa khawatir yang menguasai jiwa."Ardina!"Aku terkejut. Ternyata sejak tadi diam-diam Ferdila menatapku dengan pandangan curiga. "Lagi mikirin apa?""A-anu ... mikirin kerjaan, Fer." Lagi aku harus berbohong karena baru baikan satu jam yang lalu."Memangnya kenapa dengan pekerjaanmu?"Aku berdiri, mematikan ponsel dan mengisi daya. Untung saja memang sedang lobet jadi tidak menambah kecurigaan Ferdila. Dia melipat kedua tangan di depan dada."Itu ... apa bisa kalau aku diminta bos
Setelah kusebutkan nomor ponsel sekaligus yang terhubung ke akun Whats*pp. Sambil menggulung handuk kecil di kepalanya aku mulai bertanya, "Satu hal apa yang kamu inginkan?" Dia tersenyum. "Nanti saja aku sampaikan via Whats*pp karena kita sedang di salon tempatmu bekerja. Kalau ada yang mendengar gimana?" Aku diam, hanya berusaha menuruti kata Namira. Dia berkata seperti itu membuatku berprasangka bahwa permintaannya sedikit berat. Entah kenapa aku tiba-tiba mengingat foto Genta dengan seorang perempuan. Di mana dia sekarang masih belum kuketahui juga. Harap-harap setelah ketemu Ferdila nanti dia membahas dan aku akan berusaha agar dia cerita tentang kantor. Napas memburu, aku berusaha menguasai diri karena masih jam kerja. "Kamu cantik. Sudah menikah?" tanya Namira lagi. "Iya, terimakasih." "Punya anak berapa?" Deg! Pertanyaan seperti inilah yang paling dihindari pasangan yang tidak lagi muda usia pernikahannya terutama sang
Namira : Aku ingin kamu bekerja sama denganku. Tidak usah disembunyikan lagi, aku perempuan bayaran. Tidak mudah untuk bisa tidur denganku. Apa kamu mau membantuku mencarikan lelaki yang mampu membayar sepuluh juta untuk satu jam pelayanan?Namira yang cantik ternyata kupu-kupu malam. Bagaimana mungkin aku mencarikan lelaki untuknya sementara tidak ada pengalaman sama sekali. Lagi, ada balasan.Namira : Dan jika menemukan lelaki itu, kamu tidak boleh menyebut namaku. Bilang saja kamu yang ingin ditiduri.Aku : Tidak, aku tidak mau!Namira : Kalau begitu, aku tidur dengan suamimu saja.Sejenak aku tertawa renyah. Perempuan jala*g yang tidak tahu malu. Mana mungkin aku akan menyerahkan Ferdila tidur denganmu meski tidak menutup kemungkinan dia mau-mau saja. Dengan bayaran sepuluh juta satu jam, bagaimana jika sampai tiga jam?Uang sebanyak itu lebih baik untuk modal usaha atau disimpan. Hanya lelaku bodoh yang mau menghabiskan uang sebanyak it
Jam weeker berbunyi nyaring. Aku terperanjat dengan napas memburu. Dengan gerak cepat aku meraih ponsel dan mengecek jam. Sudah pukul sebelas siang.Entah kenapa aku sepulas ini. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. Aku sampai khawatir Namira benar bekerja sama dengan Shella.Mengingat kejadian dalam mimpi ada sesuatu di akun Facebo*k. Tanpa mengulur waktu lagi aku membuka aplikasi itu dan mencari kabar hari ini.Mulut seketika menganga karena banyak berita tentang kematian seorang lelaki berinisial G di gudang kosong dekat salon tempatku bekerja. Kabarnya dia gantung diri, tetapi ada bekas luka di sekitar wajahnya.Aku menelan saliva sambil terus berusaha memperbaiki perasaan. Lebih baik hari ini absen bekerja dulu untuk memastiakan siapa lelaki itu. Ferdila sudah pergi ke kantor jadi tidak usah meminta izin. Toh, dia juga tidak akan menduga aku pergi ke lain tempat."Tuhan, kenapa aku yang merasa diteror padahal Vidia yang melakukan kesalahan?
Sesampainya di rumah aku tidak langsung merebahkan diri karena penasaran dengan surat tadi. Pintu rumah juga jendela sudah aku kunci rapat agar ketika ada yang datang ke sini mengira rumah ini kosong.Dengan tangan gemetar aku membuka surat itu, kemudian membacanya perlahan."Ardina, aku harap kamu bisa menemukan surat ini. Sebenarnya aku bukan bunuh diri, tetapi dipaksa. Orang yang terlibat adalah Shella, Namira juga Vidia. Perempuan itu memang di penjara, tetapi masih gigih menyuruh Shella melanjutkan misi mereka. Bukan hanya aku juga Yuni, kamu pun bisa menjadi target."Aku menarik napas panjang berusaha menguasai diri, kemudian kembali menatap surat itu. Sebuah tulisan yang sedikit hancur karena tangan yang menulisnya mungkin saja gemetaran."Tentang foto itu, sebenarnya dikirim oleh Shella. Perempuan yang ada di sampingku adalah Namira. Mereka akan menjebakmu juga, hati-hati. Aku ikhlas mati karena sudah disuntikkan virus HIV ke dalam tubuhku.
Dingin begitu menusuk kalbu. Hujan sudah berhenti dan menyisakan genangan di jalan. Aku mengekori Ferdila setelah selesai membayar pesanan tadi.Mobil membawa kami membelah jalan menuju rumah. Debar-debar dalam dada seakan saling berkejaran, mobil seakan melaju lambat melebihi siput.Hening. Sunyi. Sepi. Gamang.Aku terus melirik ke jam tangan, perasaan mulai tidak enak. Semoga saja surat itu masih ada. Kalau saja hilang, aku memang bisa melacak CCTV, tetapi bagaimana jika lampu sengaja dia matikan atau masuk menggunakan topeng?Berkali-kali aku mengusap wajah gusar sementara Ferdila fokus menyetir. Mobil sudah masuk ke pelataran rumah, saat rem diinjak aku melompat ke luar dan berlari cepat ke arah pintu."Fer, pintu rumah terbuka!" teriakku.Mendengar itu Ferdila bergegas melangkah. Dia memandang tidak percaya. Lampu rumah masih dalam keadaan menyala dan saat melangkah masuk dengan langkah hati-hati, tidak ada yang bersepah layaknya