Share

5. Siapa Kamu?

“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?”

“Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?”

“Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?”

“Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras.

“Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?”

“Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!”

“Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni.

“Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila.

“Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku.

Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir.

“Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga Ardina.” Vidia kembali membuka suara membuat Yuni terkekeh pelan.

Yuni melangkah hingga jaraknya dengan Vidia semakin dekat. “Kamu ingin bermain-main dengan aku, Vid?”

“Dan kamu, Shella! Jangan membuat prasangka kalau Ardina hamil dari lelaki lain. Lihat sepupu kamu, dia hamil dari suami orang!” Suara Yuni kian meninggi. Aku bisa menebak emosinya sudah meluap sampai ubun-ubun.

“Anj*ng!”

“Memang kentara kalau sepupu. Sama-sama bisa ngeluarin binatang dari mulutnya.” Yuni tersenyum sinis, lalu menatap pada Ferdila.

Baru saja dia ingin mengeluarkan kata-kata pedas, Ferdila malah menyeretku kasar keluar dari gedung. Aku meronta berulang kali untuk dilepas, tetapi percuma.

“Puas kamu permalukan suami sendiri? Ini yang kamu inginkan, bukan?!”

Aku membuang wajah sekilas. “Harusnya aku yang nanya, ini yang kamu inginkan?!”

“Apa pun yang kamu lakukan, Vidia tetap akan tinggal di rumah dalam kamar utama denganku.”

“Oke, aku akan menerima Gembel itu dengan senang hati.” 

Ferdila menautkan kedua alis. “Kamu kata Vidia itu gembel?”

“Bukti dia gembel adalah harus merebut suami orang supaya ada yang menafkahi dan memberinya tempat tinggal. Aku salah?”

Napas Ferdila berembus kasar. Tidak usah bertanya, sudah ketebak dia akan merasa pusing. Namun, aku masih penasaran tentang hal yang akan menjadikan malam pertamanya tidak berlalu indah.

***

“Gak singgah dulu, Yun?” 

“Boleh, deh,” jawab Yuni, kemudian turun dari mobil.

Kami melangkah beriringan berakhir duduk di sofa. Banyak hal yang mengusik perhatian dan harus terjawab hari ini.

“Yun, hal yang bakal hancurin malam pertama mereka apa?”

“Kemarin aku lihat Vidia dipeluk laki-laki, tentu aku foto. Nah, foto itu masukin ke kado yang satunya lagi serta surat penolakan Vidia untuk Ferdila dulu. Kebetulan masih tersimpan.”

“Laki-laki?”

“Iya, kecuali Vidia pandai ngelak. Mungkin Ferdi akan percaya.”

Air mata jatuh membasahi pipi. Meski sudah tahu kenyataan dan ada alasan kuat untuk pergi, tetap saja masih ada benih cinta. Selama ini dia terlalu baik dan perhatian sehingga aku rindu.

Namun, rindu kali ini lebih menyesakkan dada. Yuni mendekat dan membawaku dalam pelukannya. “Aku tahu bagaimana terlukanya kamu, Din.”

“Jika nanti kami cerai, apa aku akan menemukan pengganti yang lebih baik?”

“Asal kamu yakin saja, Din.”

Aku melepas pelukan dan menghapus jejak di pipi ketika mendengar suara dari dalam dapur. Yuni memberi isyarat dengan mata, kami melangkah pelan.

Rasanya tidak mungkin ada orang lain di rumah ini karena terkunci rapat. Pencuri pun kalau ada, biasanya datang malam hari. Ini masih terhitung siang. 

“Ada orang gak?” tanyaku setelah semakin dekat ke dapur. Yuni memang melangkah di depanku.

“Gak ada. Cuma beberapa sendok jatuh.”

“Sendok?” Aku merasa ada yang aneh, sendok tidak mungkin jatuh karena selalu diletakkan dalam lemari.

Yuni memunguti sendok itu dan meletakkan dalam wastafel. 

“Din!”

“Astagfirullah, apa?” Aku kaget karena suara Yuni yang seperti meriam. Meledak begitu saja.

“Ini.” Dia menyerahkan secarik kertas. Aku gegas membacanya. Ternyata sebuah perintah untuk berbuat baik pada Vidia Maida.

“Dari siapa?”

“Aku gak tahu, Yun.”

“Coba baca!”

“Kamu harus baik pada Vidia Maida atau nyawamu menjadi taruhannya.”

Yuni menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. “Tadi dalam perjalanan pulang, kamu cerita ada orang yang menelepon, 'kan? Bisa jadi pengirim kertas itu orang yang sama.”

Aku memutar otak, kemudian sedikit bergidik ngeri saat membayangkan diteror orang lain atau mungkin berakhir tragis. Tidak mungkin juga bisa berbuat baik pada perempuan yang telah merebut Ferdila. 

Lelaki itu memang nekat, dia bahkan tidak peduli tentang tanggapan orangtua jika sudah tahu. Apa mungkin jawaban yang diberikan pada Genta juga akan dilontarkan kembali untuk orangtua?

“Laki-laki bangs*t!”

“Istigfar, Din. Kita bisa punya cara lain. Tenangkan hati kamu, oke?”

Aku menutup wajah dengan telapak tangan sambil melonggarkan dada yang terasa sesak. 

“Sudah?” tanya Yuni setelah beberapa menit berlalu. Aku mengangguk.

“Kamu harus baik pada Vidia demi keselamatanmu sendiri. Untuk cara balas dendam biar aku pikirkan nanti. Tugasmu harus berbuat baik dan jangan lupa untuk berusaha menarik perhatian Ferdi meski kamu tidak menginginkannya lagi,” bisiknya.

“Kenapa begitu?”

“Kita harus mundur beberapa langkah agar bisa melompat lebih jauh.” Yuni tersenyum.

“Ngomong-ngomong, apa Ferdila akan mengira aku hamil beneran?” tanyaku saat ingat kejadian di gedung tadi. 

“Kalau nanya, diam saja. Beberapa bulan nanti baru ngaku abis keguguran. Pintar-pintar kamu saja.”

Aku menggigit bibir mengelus perut. Dulu sebelum ada Vidia, aku mendambakan anak dari Ferdila. Namun, kini tidak bahkan sama sekali tidak.

Stres rasanya memikul luka seperti ini.

Jika ujian tentang harta, mungkin aku sanggup bertahan. Kalau hadirnya perempuan kedua, siapa yang mampu bertahan apalagi suami tidak bersikap adil.

Dia sangat condong pada Vidia sehingga melupakan istri pertama yang selalu mendukungnya selama ini. Jika pun nanti Ferdi memintaku melayaninya, khawatir dia melampiaskan saja jika Vidia menolak saat itu.

Bukan berprasangka buruk, hanya saja jijik rasanya mengetahui suamiku telah berzina.

“Aku pulang dulu, Din. Kamu baik-baik di sini.”

“Oke. Hati-hati, ya!” balasku sambil melangkah mengikuti Yuni.

Tidak lama, mobilnya sudah benar-benar pergi. Baru saja aku ingin melangkah masuk rumah, panggilan telepon mengusik perhatian. Dari nomor yang sama saat itu.

“Halo?”

“Aku yang mengirimnya. Bagaimana? Sudah dipertimbangkan?”

“Apa?”

“Nyawa itu tidak bisa dibeli. Sekali dia melayang, tidak bisa kembali lagi.”

“Kamu siapa?”

“Kalau kamu tidak berbuat baik pada Vidia, kamu akan mendapat akibatnya. Aku akan selalu mengawasimu. Percaya atau tidak terserah saja.”

“Apa kamu sama murahannya dengan Vidia?”

“Pel*cur! Set*n! Kamu yang murahan!”

“Aku tahu kamu siapa!” ucapku tegas.

“Biar saja, yang jelas aku bisa mengawasimu.”

“Kamu memasang CCTV di rumah ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status