Home / Romansa / Maduku Sayang / 5. Siapa Kamu?

Share

5. Siapa Kamu?

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2021-09-26 17:26:22

“Kamu merasa hebat karena mempermalukan Vidia?”

“Jangan kamu kira dengan melakukan hal ini akan menjadikan dirimu satu-satunya. Ferdila bilang kamu itu mandul, lalu kenapa mengaku hamil?”

“Apa jangan-jangan kamu hamil dari lelaki lain?”

“Anda siapa?!” tanya Yuni. Rahangnya mengeras.

“Aku sepupu Vidia. Kamu sendiri siapa?”

“Sahabat Ardina dan asal kamu tahu, Ardina tidak mandul!”

“Ferdila juga mengaku pada temannya kalau Ardina memberi izin poligami karena terbaring lemah. Lelaki model apa itu?” tambah Yuni.

“Yun, kamu tidak bisa ikut campur dalam urusan rumah tanggaku,” sela Ferdila.

“Lalu, apa sepupu Vidia bisa ikut campur?” timpalku.

Genta meminta semua tamu undangan untuk pulang saja karena banyak dari mereka yang menyalakan kamera. Meski harus penuh paksaan akhirnya mereka pulang juga. Di pernikahan ini tidak ada orangtua pengantin yang hadir.

“Shella itu masih sepupuku, sementara kamu bukan keluarga Ardina.” Vidia kembali membuka suara membuat Yuni terkekeh pelan.

Yuni melangkah hingga jaraknya dengan Vidia semakin dekat. “Kamu ingin bermain-main dengan aku, Vid?”

“Dan kamu, Shella! Jangan membuat prasangka kalau Ardina hamil dari lelaki lain. Lihat sepupu kamu, dia hamil dari suami orang!” Suara Yuni kian meninggi. Aku bisa menebak emosinya sudah meluap sampai ubun-ubun.

“Anj*ng!”

“Memang kentara kalau sepupu. Sama-sama bisa ngeluarin binatang dari mulutnya.” Yuni tersenyum sinis, lalu menatap pada Ferdila.

Baru saja dia ingin mengeluarkan kata-kata pedas, Ferdila malah menyeretku kasar keluar dari gedung. Aku meronta berulang kali untuk dilepas, tetapi percuma.

“Puas kamu permalukan suami sendiri? Ini yang kamu inginkan, bukan?!”

Aku membuang wajah sekilas. “Harusnya aku yang nanya, ini yang kamu inginkan?!”

“Apa pun yang kamu lakukan, Vidia tetap akan tinggal di rumah dalam kamar utama denganku.”

“Oke, aku akan menerima Gembel itu dengan senang hati.” 

Ferdila menautkan kedua alis. “Kamu kata Vidia itu gembel?”

“Bukti dia gembel adalah harus merebut suami orang supaya ada yang menafkahi dan memberinya tempat tinggal. Aku salah?”

Napas Ferdila berembus kasar. Tidak usah bertanya, sudah ketebak dia akan merasa pusing. Namun, aku masih penasaran tentang hal yang akan menjadikan malam pertamanya tidak berlalu indah.

***

“Gak singgah dulu, Yun?” 

“Boleh, deh,” jawab Yuni, kemudian turun dari mobil.

Kami melangkah beriringan berakhir duduk di sofa. Banyak hal yang mengusik perhatian dan harus terjawab hari ini.

“Yun, hal yang bakal hancurin malam pertama mereka apa?”

“Kemarin aku lihat Vidia dipeluk laki-laki, tentu aku foto. Nah, foto itu masukin ke kado yang satunya lagi serta surat penolakan Vidia untuk Ferdila dulu. Kebetulan masih tersimpan.”

“Laki-laki?”

“Iya, kecuali Vidia pandai ngelak. Mungkin Ferdi akan percaya.”

Air mata jatuh membasahi pipi. Meski sudah tahu kenyataan dan ada alasan kuat untuk pergi, tetap saja masih ada benih cinta. Selama ini dia terlalu baik dan perhatian sehingga aku rindu.

Namun, rindu kali ini lebih menyesakkan dada. Yuni mendekat dan membawaku dalam pelukannya. “Aku tahu bagaimana terlukanya kamu, Din.”

“Jika nanti kami cerai, apa aku akan menemukan pengganti yang lebih baik?”

“Asal kamu yakin saja, Din.”

Aku melepas pelukan dan menghapus jejak di pipi ketika mendengar suara dari dalam dapur. Yuni memberi isyarat dengan mata, kami melangkah pelan.

Rasanya tidak mungkin ada orang lain di rumah ini karena terkunci rapat. Pencuri pun kalau ada, biasanya datang malam hari. Ini masih terhitung siang. 

“Ada orang gak?” tanyaku setelah semakin dekat ke dapur. Yuni memang melangkah di depanku.

“Gak ada. Cuma beberapa sendok jatuh.”

“Sendok?” Aku merasa ada yang aneh, sendok tidak mungkin jatuh karena selalu diletakkan dalam lemari.

Yuni memunguti sendok itu dan meletakkan dalam wastafel. 

“Din!”

“Astagfirullah, apa?” Aku kaget karena suara Yuni yang seperti meriam. Meledak begitu saja.

“Ini.” Dia menyerahkan secarik kertas. Aku gegas membacanya. Ternyata sebuah perintah untuk berbuat baik pada Vidia Maida.

“Dari siapa?”

“Aku gak tahu, Yun.”

“Coba baca!”

“Kamu harus baik pada Vidia Maida atau nyawamu menjadi taruhannya.”

Yuni menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. “Tadi dalam perjalanan pulang, kamu cerita ada orang yang menelepon, 'kan? Bisa jadi pengirim kertas itu orang yang sama.”

Aku memutar otak, kemudian sedikit bergidik ngeri saat membayangkan diteror orang lain atau mungkin berakhir tragis. Tidak mungkin juga bisa berbuat baik pada perempuan yang telah merebut Ferdila. 

Lelaki itu memang nekat, dia bahkan tidak peduli tentang tanggapan orangtua jika sudah tahu. Apa mungkin jawaban yang diberikan pada Genta juga akan dilontarkan kembali untuk orangtua?

“Laki-laki bangs*t!”

“Istigfar, Din. Kita bisa punya cara lain. Tenangkan hati kamu, oke?”

Aku menutup wajah dengan telapak tangan sambil melonggarkan dada yang terasa sesak. 

“Sudah?” tanya Yuni setelah beberapa menit berlalu. Aku mengangguk.

“Kamu harus baik pada Vidia demi keselamatanmu sendiri. Untuk cara balas dendam biar aku pikirkan nanti. Tugasmu harus berbuat baik dan jangan lupa untuk berusaha menarik perhatian Ferdi meski kamu tidak menginginkannya lagi,” bisiknya.

“Kenapa begitu?”

“Kita harus mundur beberapa langkah agar bisa melompat lebih jauh.” Yuni tersenyum.

“Ngomong-ngomong, apa Ferdila akan mengira aku hamil beneran?” tanyaku saat ingat kejadian di gedung tadi. 

“Kalau nanya, diam saja. Beberapa bulan nanti baru ngaku abis keguguran. Pintar-pintar kamu saja.”

Aku menggigit bibir mengelus perut. Dulu sebelum ada Vidia, aku mendambakan anak dari Ferdila. Namun, kini tidak bahkan sama sekali tidak.

Stres rasanya memikul luka seperti ini.

Jika ujian tentang harta, mungkin aku sanggup bertahan. Kalau hadirnya perempuan kedua, siapa yang mampu bertahan apalagi suami tidak bersikap adil.

Dia sangat condong pada Vidia sehingga melupakan istri pertama yang selalu mendukungnya selama ini. Jika pun nanti Ferdi memintaku melayaninya, khawatir dia melampiaskan saja jika Vidia menolak saat itu.

Bukan berprasangka buruk, hanya saja jijik rasanya mengetahui suamiku telah berzina.

“Aku pulang dulu, Din. Kamu baik-baik di sini.”

“Oke. Hati-hati, ya!” balasku sambil melangkah mengikuti Yuni.

Tidak lama, mobilnya sudah benar-benar pergi. Baru saja aku ingin melangkah masuk rumah, panggilan telepon mengusik perhatian. Dari nomor yang sama saat itu.

“Halo?”

“Aku yang mengirimnya. Bagaimana? Sudah dipertimbangkan?”

“Apa?”

“Nyawa itu tidak bisa dibeli. Sekali dia melayang, tidak bisa kembali lagi.”

“Kamu siapa?”

“Kalau kamu tidak berbuat baik pada Vidia, kamu akan mendapat akibatnya. Aku akan selalu mengawasimu. Percaya atau tidak terserah saja.”

“Apa kamu sama murahannya dengan Vidia?”

“Pel*cur! Set*n! Kamu yang murahan!”

“Aku tahu kamu siapa!” ucapku tegas.

“Biar saja, yang jelas aku bisa mengawasimu.”

“Kamu memasang CCTV di rumah ini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maduku Sayang   144. Kasih Untuk Kekasih

    POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya

  • Maduku Sayang   143. Terungkap Semua

    POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D

  • Maduku Sayang   142. Wajah Baru

    POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V

  • Maduku Sayang   141. Rumah Sakit

    "Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se

  • Maduku Sayang   140. Mulut yang Robek

    Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo

  • Maduku Sayang   139. Klinik Aborsi

    "Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay

  • Maduku Sayang   138. Naik Pitam

    Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena

  • Maduku Sayang   137. Fitnah Venny

    POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m

  • Maduku Sayang   136. Rencana Busuk Vidia

    POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status