Share

6. Cemburu

Penulis: Bintu Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-30 11:36:00

“CCTV?” Perempuan di seberang telepon tertawa. “Bukan.”

“Lalu?”

“Tidak usah takut, aku tidak akan melukaimu jika kamu setuju dengan titah di secarik kertas itu. Bagaimana?”

“Kamu mengancamku?”

“Apa ini terdengar seperti ancaman? Kamu takut?”

Aku memutus panggilan telepon berharap semua hanyalah mimpi. Gemuruh dalam dada begitu mengganggu. Jujur saja, aku takut bahkan untuk memejamkan mata sekilas.

Tidak perlu menunggu waktu lagi, segera aku mengirim sms pada Yuni untuk memberitahu sekaligus mencari solusi. Sepuluh menit berlalu baru ada balasan.

Yuni : Kamu harus kuat sebagaimana posisimu sebagai istri pertama. Jangan khawatir pada ancaman bahkan jika kamu harus mati, setidaknya bukan sebagai pengecut!

Aku : Gimana?

Yuni : Pura-pura terima Vidia dan balas perbuatan mereka diam-diam. Namun, kamu harus ingat sesuatu, dia tidak boleh curiga kamu pelakunya.

Aku : Terimakasih.

***

Tepat hari sabtu, pengantin baru sudah kembali ke rumah. Selama tiga hari ini aku sudah latihan beberapa kali untuk tidak menangis meski gemuruh dalam dada terus mengusik.

“Ardina!” panggil Ferdila.

Gegas aku membuka pintu. “Ada apa?”

“Kamu sibuk gak hari ini? Kalau tidak, boleh temani Vidia jalan-jalan?”

“Kenapa bukan kamu?” tanyaku penasaran. Apalagi sejak mereka sampai, sempat terdengar teriakan Vidia dalam kamar.

“Malas. Kamu saja.”

“Ogah! Memang aku bodyguard apa?” Kubanting pintu kamar kasar.

Langkah Ferdila terdengar menjauh, aku kembali membuka pintu perlahan agar tidak ketahuan. Dia masuk kamar dan menutup rapat. 

Tidak ingin tenggelam dalam teka-teki, kaki melangkah mendekat dan memasang telinga baik-baik.

“Kamu masih gak percaya sama aku, Fer?”

“Gimana aku mau percaya kalau jelas ada bukti kamu pelukan sama laki-laki.”

“Harus berapa kali aku bilang itu jebakan?!”

“Jebakan apa, Vid? Kamu terlihat menikmati gitu!”

Aku tersenyum, kemudian mengambil sapu pura-pura membersihkan. Lebih baik seperti ini agar dikira ikhlas dan bodoh, kelak akan ke luar sebagai pemenang.

Menang bukan berarti harus kembali bersama Ferdila. Akan tetapi, menang adalah ketika mereka merasakan luka yang lebih menyakitkan.

Kembali kuedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah khawatir ada CCTV yang mengintai. Namun, sepertinya benar tidak ada. Perempuan itu hanya mengancam saja.

Baiklah, dia mengancam dan akan aku langgar aturan yang dibuatnya.

“Buatkan aku kopi, Din!” titah Ferdila.

Aku menoleh padanya. “Oke, tunggu sebentar!”

Ini saatnya untuk memulai permainan. Aku yakin mereka tidak akan mengira siapa pelakunya. 

Di dapur aku meraih cangkir putih dan menuangkan air panas, terakhir melarutkan kopi dan gula dengan takaran yang selalu Ferdi sukai.

“Sekalian untukku!” titah Vidia, kemudian menghisap rokok.

“Baiklah.” Aku tersenyum manis.

Lima menit berlalu, aku melangkah ke luar dengan baki berisi tiga cangkir kopi untuk kami nikmati bersama. Rupanya mereka tidak sedang mengobrol melainkan sibuk pada ponselnya.

“Kamu gak campur racun ke minuman ini, 'kan?” tanya Vidia ketika aku mengempas bokong ke sofa di ruang tengah.

“Suudzon kamu, Vid.”

“Aku gak percaya sama kamu. Biasanya perempuan sakit hati itu akan balas dendam. Tukar minuman kita!”

“Oke, kalau itu maumu,” jawabku singkat. Memang benar bahwa salah satu dari tiga cangkir kopi telah kutaburi sesuatu.

Vidia meneguk kopi kemudian menyemburkan pada Ferdila.

“Anj*ng! Kamu pikir aku apa dikasih kopi asin kayak gini?!”

“Pertama, aku bukan anj*ng. Ke dua, aku memang suka yang asin. Ke tiga, itu minumanku hanya saja kamu nekat menukarnya.”

Ferdila meneguk kopinya. “Ini pas.”

“Siapa tahu dua cangkir ini asin,” balas Vidia.

Ferdila meraih cangkir di depanku, lalu meneguknya. “Ini lebih enak.”

“Jadi, gimana? Apa aku yang salah?”

“Sengaja, ya?”

“Vid, aku ini sudah baik menerima kamu sebagai istri kedua Ferdila. Membuatkan kopi untukmu juga. Lantas, kenapa menuduh yang tidak-tidak bahkan mengataiku anj*ng?” Aku berusaha melembutkan suara.

Vidia melempar cangkir hingga pecah, kemudian melangkah masuk dapur.

“Vid! Bersihkan ini!” teriak Ferdila.

“Memangnya aku pembantu? Dina, kan, ada!”

“Vidia!”

Aku memegang bahu Ferdila. “Gak apa-apa, biar aku yang bersihkan nanti.”

Suamiku tersenyum, di matanya masih ada binar cinta. Akan tetapi, sungguh aku muak melihat senyum itu. Ingin rasanya menyiram Ferdi dengan air panas hingga kulitnya terkelupas.

Aku mendengar langkah Vidia mendekat, gegas kucium pipi Ferdila lama. Untung saja dia tidak menghindar. Saat netraku dengan perempuan berambut pirang itu bertemu, hati merasa menang.

Bagaimana tidak, dia menampilkan raut wajah cemburu.

***

“Ini baru permulaan, Vid. Kelak kamu akan tahu bahwa istri pertama tidak selalu lemah, perempuan lugu tidak selalu mampu bersabar.” Aku bermonolog sambil menatap cermin rias.

Ketukan pintu membuatku tersentak. Aku merapikan rambut, memakai wewangian kemudian membukanya.

“Fer?”

“Boleh tidur di sini?” Pertanyaan itu sebenarnya membuatku jijik mengingat dia lelaki pezina. Hanya saja demi membuat Vidia panas, aku akan mengizinkan.

“Boleh, silakan masuk!” 

Ferdila tersenyum, kemudian merebahkan diri di tempat tidur yang sudah harum semerbak. Lelaki itu memberi isyarat agar aku mendekat.

“Kangen,” lirih Ferdila sambil memelukku erat.

Aku tertawa dalam hati. Entah kenapa aku sangat yakin kalau Vidia ada di balik pintu. Baiklah, tidak mengapa meladeni lelaki yang masih berstatus suamiku.

“Aku juga kangen sama kamu, Ferdila Sayang,” balasku dengan suara keras.

“Kenapa teriak?”

“Gak apa-apa, senang banget soalnya.”

“Malam minggu yang indah. Haruskah kita?”

“Kamu mau bercinta denganku, Fer? Aduh, aku lagi sakit perut soalnya. Lagian kalau baru hamil muda, gak boleh anu-anuan!” Lagi aku sedikit meninggikan suara.

“Eh, alhamdulillah kamu gak mandul, ya? Sudah tespeck?”

“Iya,” jawabku singkat, lalu melanjutkan dalam hati. 'Aku tidak hamil.'

Tok, tok, tok!

Vidia mungkin sudah panas di tempat. Benar sekali dugaanku kalau dia berdiri di balik pintu. Ferdila mengembus napas kasar, kemudian memintaku membukanya.

“Ferdila!” teriak Vidia.

Aku membuka pintu. “Ada apa? Ganggu suami istri lagi mesraan saja.”

“Suamiku ada di sini?”

“Suamimu?” Aku tertawa kecil. “Iya, suami kita ada di sini. Tolong jangan ganggu, kami sedang mengobati rindu.”

Sebenarnya aku masih penasaran kenapa Ferdila bisa semarah itu. Mungkin ada sesuatu yang terungkap selain foto itu. Ini berita bagus.

“Udah sana!” usirku, kemudian membanting pintu kamar.

Ponsel yang tergeletak di meja rias berbunyi. Aku gegas meraih dan membuka aplikasi sms. Nomor tidak dikenal itu mengirim pesan, rupanya dia tahu kejadian saat ini.

Ia menelepon.

“Ada apa?”

“Kamu pikir aku main-main, Din? Aku tahu kamu sengaja buat Vidia cemburu, kan?”

“Aku tidak peduli.”

Aku klik loudspeker. “Kamu mengancamku?”

“Jika kamu salah mengambil tindakan, bukan hanya kamu yang mendapat akibatnya. Namun, suami juga orangtuamu.”

“Din?” Ferdila nampak terkejut. 

Aku memutus panggilan itu, kemudian melangkah dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa?”

“Kamu tahu siapa yang menelepon?”

Aku menggeleng, padahal sebenarnya tahu siapa pemilik suara itu hanya saja sedikit ragu. Ferdila menarik napas panjang, lalu mengembuskan kasar.

“Dia selalu menelepon dan mengancam banyak hal. Dia mengira aku tidak menerima kehadiran Vidia. Padahal kamu lihat sendiri, 'kan?”

Ferdila mengulum senyum. “Shella.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Maduku Sayang   144. Kasih Untuk Kekasih

    POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya

  • Maduku Sayang   143. Terungkap Semua

    POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D

  • Maduku Sayang   142. Wajah Baru

    POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V

  • Maduku Sayang   141. Rumah Sakit

    "Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se

  • Maduku Sayang   140. Mulut yang Robek

    Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo

  • Maduku Sayang   139. Klinik Aborsi

    "Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay

  • Maduku Sayang   138. Naik Pitam

    Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena

  • Maduku Sayang   137. Fitnah Venny

    POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m

  • Maduku Sayang   136. Rencana Busuk Vidia

    POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status