Share

Bab 2

Maduku Tak Tahu Aku Kaya

Part 2

**

Senangnya hatiku pagi ini bisa membuat Riska kelimpungan karena semua baju kotornya belum kucuci. Sedang aku tengah menikmati bubur ayam kesukaanku di meja makan dengan memainkan ponsel baru pemberian Mak Nining.

"Heh! Wanita miskin, mencuri dari mana ponsel sebagus itu? Hasil menjual baju-baju bagusku itu, ya?"

Riska dengan tak tahu malunya menarik mangkuk bubur ayamku dan memasukkan satu sendok penuh bubur ke dalam mulutnya.

"Huuhh haaahh ..."

Baru satu suap saja dia sudah kepedasan. Memang seleraku adalah makan sesuatu dengan tingkat kepedasan yang tinggi. Rasakan, itu akibatnya menjadi orang yang rakus dan tak tahu sopan santun.

Aku terkekeh kecil sembari melanjutkan makan dan berselancar di dunia maya. Wajar saja aku seperti orang yang mendapat oase di tengah gurun pasir. Selama ini hanya ponsel bututku yang selalu menemani hari-hariku, itupun setiap hari harus membersihkan file-file yang sudah tak berguna karena memori ponselku hampir penuh. Mas Hafiz tak memperdulikan semua itu, kupikir karena ia tengah menabung untuk masa depan kita. Nyatanya uang-uangnya telah habis untuk memanjakan Riska laknat itu.

"Gila ya kamu? Mau meracuniku?" teriak jalang itu dari dalam kamar mandi.

Mas Hafiz keluar kamar ketika mendengar keributan yang disebabkan oleh Riska. Aku yang telah selesai makan pun lantas berdiri dan menyimpan mangkuk ke dalam wastafel untuk kucuci.

"Ada apa ini?" teriak Mas Hafiz ketika sampai di ruang makan.

Riska yang sedang kepedasan langsung menyambar segelas air putih di atas meja setelah memuntahkan seluruh isi perutnya. Sepertinya ia bukan pecinta pedas sepertiku.

"Huma mau meracuniku, Mas."

"Meracuni apa? Jangan mengada-ada Riska." Mas Hafiz duduk dan membuka tudung saji di atas meja.

Kedua netranya membulat, lalu menatapku tajam. Ini sudah pukul delapan pagi dan aku belum menyediakan makanan sedikitpun.

"Bukan salahku, salah kamu sendiri sudah lancang menyerobot bubur ayamku. Rasakan sendiri kalau buburnya pedas," ucapku berlalu dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja makan.

Mas Hafiz menarik lenganku dan merebut ponsel yang tengah kugenggam.

"Kenapa kamu belum masak?"

"Capek, Mas. Gantian dia yang harus masak untukmu, bukankah dia juga istrimu?"

Riska mendelik kesal kearahku, "dia juga telah menjual baju-baju mahalku untuk membeli ponsel itu, Mas." Rengek Riska manja, membuatku jijik melihatnya.

"Apa benar?" Tatap Mas Hafiz tajam kearahku.

Aku mengangkat kedua bahuku.

"Siapa bilang? Lihat di keranjang cucian sana, semua bajumu masih tersimpan rapi di dalamnya. Enak saja aku menjual bajumu untuk beli ponsel, tak level!" ucapku mengejek.

Kulihat Mas Hafiz membolak-balikkan ponselku yang tengah ada di genggamannya. Ia mengernyitkan dahi, mungkin ia bingung aku dapat uang dari mana bisa membeli ponsel semahal itu. Karena selama ini ia selalu memberiku uang bulanan yang hanya cukup untuk makan kami berdua.

"Kamu tidak mencuci bajuku juga?"

Aku tertawa lantang dan duduk di depan Mas Hafiz, "tidak, kamu sekarang kan punya dua istri. Ajari dia jadi istri yang baik, aku capek, Mas. Semua bajuku tadi diambil oleh Mbok Inem untuk dimasukkan di laundry-an."

Seketika itu juga kedua orang tak tahu diri itu melongo mendengar perkataanku. Aku lantas berdiri dan merebut ponsel yang masih digenggam Mas Hafiz itu, lalu melenggang masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat.

***

"Mas, aku ijin pulang ke rumah Ibu, ya," ucapku suatu pagi setelah mendapat pesan dari Mak Nining pada Mas Hafiz yang tengah bermanja dengan Riska di teras depan.

"Untuk apa? Kamu mau mengadu kalau aku telah menduakanmu? Tenang saja, mereka pasti akan mendukung karena Bapakmu pun juga mempunyai dua istri." Tawa Mas Hafiz dan Riska sontak membuatku sangat marah, karena kini keluargaku juga mendapat hinaan dari mereka.

"Jangan pernah menyamakan Mak Nining, madu Ibuku dengan wanita jalang seperti dia sangatlah berbeda jauh. Mak Nining adalah orang yang baik, Bapak juga tidak seperti dirimu, yang mencari istri hanya karena haus akan selangk*ng*n!" hardikku kasar lantas berlalu meninggalkan mereka yang langsung terdiam mendengar jawabanku.

Dua jam sudah aku menempuh perjalanan untuk sampai di kampung halamanku, kampung di mana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh Bapak, Ibu dan Mak Nining. Kedua mataku menyisir setiap inci tempat yang aku lalui, mengenang masa kecilku yang sangat indah ketika masih tinggal di sini. Setaun belakangan ini aku tidak bisa pulang kampung, karena kesibukanku mengurus perpindahan rumah baru dan begitu banyaknya pekerjaan yang harus aku urus setelah Mas Hafiz naik jabatan.

Jika dulu ia akan bersedia membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, namun setelah ia naik jabatan tak sekalipun membantuku mengurus pekerjaan rumah. Hingga aku sering kelelahan karena mengurus rumah yang sangat besar itu. Namun ternyata semua perjuanganku tak pernah dihargainya, malah kini ia membawa masuk madu pahit itu ke dalam rumah kami.

"Assalamualaikum ... Bu, Mak." Panggilku ketika aku sampai di depan rumah.

Kedua Ibuku itupun langsung berlari ketika mendengar aku mengucap salam. Mereka menciumiku hingga jilbabku berantakan. Sungguh indah memiliki dua ibu sebaik ini, jika saja Riska bisa berbuat baik seperti Mak Nining mungkin rumah tangga kami akan baik-baik saja.

Ibu menyuruhku masuk dan minum teh di ruang tamu, sedang Mak Nining menghampiri Bapak yang tengah mencangkul di ladang belakang. Ibu bilang, ladang itu baru saja dibeli oleh Mak Nining untuk Bapak. Lagi-lagi kedua mataku mengembun, sungguh mulia hati madu Ibuku itu.

Setelah kami semua berkumpul, Mak Nining mengutarakan maksud dan tujuannya menyuruhku untuk pulang ke kampung. Beliau memberikan beberapa lembar sertifikat tanah dan juga uang tunai yang aku tak tahu berapa jumlahnya karena terlalu banyak. Mak Nining mengatakan bahwa sebulan yang lalu Kakek meninggal, karena Mak Nining adalah anak tunggal maka secara otomatis seluruh hartanya akan jatuh ke tangannya. Begitupun seluruh hewan ternaknya, semua telah di jual oleh Mak Nining dan seluruh uangnya diserahkan padaku, anak tirinya.

Hal itu sontak membuatku menangis tergugu, karena tak percaya dengan ketulusannya. Beliau adalah orang yang baik, sudah sepantasnya mendapat perlakuan yang baik juga dariku dan keluargaku. Ibu dan Mak Nining juga menyuruhku untuk membalas perlakuan Mas Hafiz dan Riska setelah aku menceritakan kelakuan buruk mereka berdua padaku.

Ibu menangis terisak mendengar ceritaku, bahwa kini rumah tanggaku sama persis seperti dirinya. Ada seorang madu di dalamnya. Namun aku kembali meyakinkan beliau bahwa aku akan baik-baik saja dan akan membalas seluruh perlakuan Riska terhadapku.

Mak Nining berpesan kepadaku agar aku menyembunyikan uang yang ia berikan ini dengan baik agar Riska tak mengetahui darimana asalnya kekayaan yang aku miliki saat ini. Aku juga menitipkan semua sertifikat tanah pada Mak Nining, bagaimanapun juga beliau masih berhak atas semua itu.

Kedua mataku mengerjap, mengingat seluruh kebaikan Ibu dan Mak Nining padaku. Kemarin Bapak pun juga terlihat meneteskan air mata ketika Mak Nining menyerahkan segepok uang itu padaku. Aku berjanji akan membalas perbuatan Mas Hafiz dan Riska jika mereka masih semena-mena denganku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Bagus aku mendukungmu, hempaskan suami dan madu biar jadi gembel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status