Maduku Tak Tahu Aku Kaya
Part 3**
Sayup-sayup kudengar suara bising di luar sana ketika aku akan mengambil air wudhu untuk melaksanakan Sholat Tahajud. Aku yang telah sampai di depan kamar mandi, berbelok arah mendekat arah kamar tamu. Mendengar suara yang sepertinya tak asing di telingaku.
'Sial. Menjijikkan sekali aku mendengar rintihan bak ringkikan kuda betina itu' gumamku lalu melanjutkan masuk ke dalam kamar mandi.
Air mataku tumpah saat aku tengah berdoa memohon ampun atas segala dosa-dosaku. Memohon ketenangan serta kelapangan hati ketika melihat suami yang sangat aku cintai itu nyatanya kini tengah memadu kasih dengan wanita lain. Begitu sakit ketika hati harus terbagi untuk dua cinta, apalagi ia sama sekali tak mengunjungiku setelah memasukkan madu itu ke dalam rumah.
Hingga kumandang adzan subuh aku tak dapat memejamkan mata semenitpun. Rasanya dada ini masih bergemuruh ketika mendengar rintihan menjijikkan dari mulut wanita laknat itu. Aku memilih untuk bangun dan bergegas untuk membuat sarapan setelah selesai melaksanakan Sholat Subuh tanpa di dampingi oleh Mas Hafiz.
"Humaira ...." Teriak Mas Hafiz dari dalam kamarnya ketika aku selesai menyapu halaman.
Aku lantas meletakkan sapuku dan berlari menghampirinya yang berteriak dari arah dapur.
"Sarapan dan kopiku mana?"
Aku memutar bola mata malas, ternyata dia memanggilku hanya karena aku belum menyiapkan sarapan dan kopinya. Memang sengaja aku hanya membuat satu porsi mie instan untukku sendiri, lalu beranjak untuk menyapu halaman seusai sarapan.
"Memang istri barumu itu tidak punya tangan? Sampai seluruh pekerjaan aku yang harus mengerjakannya?"
"Tapi aku sedang hamil, tidak boleh capek-capek. Jadi tetap harus kamulah yang mengurus seluruh kebutuhan di rumah ini. Termasuk melayaniku juga," sahut wanita jahat itu dari dalam kamarnya.
Sedang Mas Hafiz hanya manggut-manggut membenarkan pembicaraan jalangnya itu. Aku yang masih merasa punya tanggungjawab tentang pengabdianku pada suami, lantas bergegas membuatkannya secangkir kopi dan nasi goreng kecap kesukaannya. Tak lupa dengan telur setengah matang di atasnya. Membuat Mas Hafiz tersenyum manis ke arahku.
Senyum itulah yang selalu ia berikan kepadaku setiap pagi usai aku menyiapkan sarapan dan kopinya. Namun kali ini rasanya semua begitu hambar, rasa cintaku perlahan mulai terkikis karena sikap tak tahu dirinya itu. Sebetulnya aku ingin meninggalkannya sendiri, dan memulai hidup yang baru. Tapi, aku tidak boleh kalah dalam medan perangku sendiri. Akulah yang berhak atas semua kekayaan Mas Hafiz, sampai kapanpun aku akan mempertahankan semua ini dan membuat perhitungan dengan siapapun yang berusaha mengganggu kenyamanan rumah tanggaku.
"Lho ... Kok cuma satu, punyaku mana?"
Aku melengos pergi setelah Riska datang dan dengan santainya duduk di samping Mas Hafiz. Seharusnya akulah yang duduk di samping suamiku, bukan dia, wanita yang tak jelas asal usulnya.
"Heh! Miskin. Sini, buatkan aku sarapan kalau kamu masih mau uang. Mau makan apa kamu kalau aku sampai tak membagimu uang?"
Badanku terhenti seketika ketika berkali-kali Riska memanggilku dengan sebutan 'miskin'.
"Lihatlah tubuhmu itu, benar-benar membuat tak seorangpun berselera ketika melihatmu. Meskipun kamu telah mandi sepuluh kali, tetap saja jelek dan kumal. Lebih baik kamu sekarang membuatkan aku sarapan, dirimu sudah sangat pantas seperti ART di rumah ini," ucapnya dengan kekehan kecil dari mulut laknatnya itu.
"Sekarang semua keuangan aku yang pegang, kamu hanya akan mendapat jatah belanja dan kebutuhan rumah. Kalau sampai kamu tidak melayaniku dengan baik, maka aku tidak segan jika harus menendangmu keluar dari rumah ini. Iya, kan, Mas?"
Tampak dari kaca jendela Mas Hafiz mengangguk pasrah ketika Riska mengatakan semua itu. Membuatku semakin naik pitam dan geram dengan sikap sombongnya itu. Aku yang masih memegang nampan ketika hendak masuk ke dapur, berbalik badan dan menghampiri Riska yang tengah di suapi nasi goreng buatanku oleh Mas Hafiz.
"Rasakan ini!" Bentakku kasar dengan menyiramkan secangkir kopi panas tepat di wajahnya. Membuatnya meraung histeris karena kepanasan.
Dadaku kembang kempis, tak pernah sekalipun aku merasakan sebuah emosi yang sangat memuncak seperti saat ini. Bahkan Bapak dan Ibuku pun tak pernah merendahkanku seperti ini. Bagaimanapun juga aku masih punya hati dan perasaan.
Plakk
Mas Hafiz menampar pipiku lantas membawa Riska masuk ke dalam kamarnya. Membuatku berdiri mematung hingga pintu kamar tamu di tutup dengan sangat keras.
'Baik, Mas. Kini aku tahu, bahwa kamu telah mengibarkan bendera perang denganku.' Batinku.
***
Seharian ini aku pergi dari rumah, menuju rumah Zahra. Hanya dialah yang bisa mengerti perasaanku saat ini.
"Humaira ... Ada apa denganmu? Kenapa kamu sekarang berubah seperti ini?" ucap Zahra ketika aku sampai di depan pintu kosnya.
Aku mengerutkan kening. Merasa bingung dengan ucapannya.
"Kamu sekarang gendut, berjerawat, dan kusam. Tidak seperti dulu,"
Bagai masuk ke dalam kandang macan ketika Zahra juga mengatakan hal itu padaku. Aku menitikkan air mata sebelum ia mempersilahkanku masuk ke dalam kosnya. Zahra menutup mulutnya, sepertinya ia merasa tak enak hati ketika mengomentari perubahan fisikku.
"Maafkan aku, Huma ... Bukan begitu maksudku, tapi kamu dulu adalah seorang gadis yang sangat cantik. Kenapa sekarang berubah seperti ini? Bukankah Hafiz sekarang telah naik jabatan? Seharusnya kamu perawatan, dong," lanjut Zahra dengan menarikku masuk ke dalam kosnya.
Tubuhku diam tak bergeming. Mencerna setiap perkataan yang baru saja di lontarkan oleh sahabatku ini. Sepertinya memang benar kata-katanya. Tidak ada salahnya aku mencoba, siapa tahu Mas Hafiz dan wanita jalang itu akan terkejut melihat perubahanku. Enak saja mereka merendahkan fisikku, dengan uang aku bisa berubah bak bidadari. Senyum licik mengembang di bibirku. Membuat Zahra sedikit kebingungan dengan sikapku.
"Ra ... Antar aku ke salon langgananmu, aku ingin perawatan. Tolong, temani aku untuk mengubah penampilan kumalku ini." Dengan mata berbinar aku memohon pada Zahra.
Perkataanku nyatanya sukses membuatnya terpaku tak percaya dengan perkataanku. Karena yang ia tahu, aku sama sekali tak memegang uang tabungan sepeserpun.
Part 9"Sah ...."Suara seluruh orang yang menghadiri acara pernikahanku menggema dalam masjid kecil yang menjadi tempatku mengikat janji sehidup semati dengan Arfan. Seorang lelaki yang bisa menarikku dari kubangan air hitam yang kian menarikku ke dasarnya.Kucium punggung tangan lelaki yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suamiku. Kemudian, ia mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningku. Hatiku berdesir, mengingat bahwa sosok lelaki yang dulu pernah kukagumi ini hari ini menjadi suamiku.Ucapan demi ucapan selamat kudapatkan dari beberapa anggota keluarga yang hadir saat pernikahan kami. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini ketika Arfan meminangku dengan surah Ar-Rahman sebagai maharnya. Begitu banyak gadis yang menatapku iri karena aku bisa bersanding dengan jejaka pandai, alim dan berwibawa yang selalu mereka gandrungi. Apalagi statusku yang hanya sebagai seorang janda.***"Terimakasih, ya. Kamu sudah
Part 8Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empuk di dalam kamar, rasanya tubuhku ringan tak berdaya. Semua sendi-sendiku bagaikan lepas tak berfungsi, ketika aku harus berusaha menerima kenyataan bahwa dua kedaiku mulai mengalami kebangkrutan. Untuk bulan ini pun Anisa tidak tahu harus membayar semua karyawan dengan apa, karena pemasukan lebih sedikit dibandingkan pengeluaran.Kubenamkan kepalaku di atas bantal, lalu berteriak sekencang-kencangnya agar semua rasa dalam hatiku sedikit berkurang. Aku rasa, Tuhan begitu tidak adil kepadaku. Begitu banyak ujian yang Dia berikan, hingga tak jarang membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.Mas Hafidz pergi, dan usahaku bangkrut. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Ini semua tidak adil bagiku, Tuhan begitu jahat."Aarrgghh ...." teriakku kencang dengan melempar kaca riasku dengan ponsel yang tergeletak di samping bantal, hingga menimbulkan sebuah suara pecahan yang sangat nyar
Part 7Hatiku bimbang, ketika beberapa hari yang lalu Bu Santika dan Kak Hany mengabari kalau Mas Hafidz pergi. Ya, pergi ... Dan kami semua tidak tahu kemana.Kutatap foto kami berdua di layar ponselku nanar, senyum mengembang dengan indah di setiap sudut bibir kami masing-masing. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku harus kehilangannya lagi. Entah, kemana ia pergi sekarang, dan karena apa ia pergi. Aku pun tak pernah tau alasannya.Nomor teleponnya pun sama sekali tak bisa kuhubungi. Semua teman kerjanya juga tidak tahu dimana keberadaannya. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Hafidz hilang bak ditelan bumi.Kusandarkan tubuhku di atas kursi teras, satu jam sudah aku duduk termenung disini. Menatap dengan indahnya warna jingga yang terpancar di ufuk barat. Namun tidak dengan hatiku yang kini tengah hampa, dan kembali kosong."Nduk," ucap Ibu mengagetkanku.Aku tersentak, lalu menoleh kearahnya. Kulihat Ibu pun ikut sedih dengan
Part 6Pov HafizSinar mentari semakin meninggi, ketika sudah kuputuskan untuk pergi menjauh dari Humaira. Wanita yang dulu adalah istriku yang kusia-siakan demi wanita lain, dan kini telah memantapkan hatinya untuk rujuk kembali denganku.Bukan karena aku tak cinta, ataupun aku terlalu menggantung perasaannya. Namun, aku rasa akan ada seseorang yang akan lebih bisa membahagiakannya dibanding diriku. Kini aku bangkrut, dan hanya bekerja sebagai cleaning service. Itu semua juga karena ulahku sendiri, terlalu memanjakan gundik dan ibu kandungku sehingga sekarang semua hartaku telah habis.Kuhembuskan nafas perlahan, menatap nanar pada kedai Huma yang ramai pengunjung itu. Dari kejauhan kulihat Ibuku, yang dulu adalah wanita yang menginginkan perpisahanku dengan Huma kini malah bekerja padanya. Juga Kak Hany, yang sekarang sudah benar-benar berubah dan ikut serta mencari uang di kedai Huma.Entah terbuat dari apa hatinya, hingga mampu memaafkanku,
Part 5Nafasku terengah-engah ketika kulihat Arfan berdiri di belakang kerumunan orang-orang yang sedang melihatku berkelahi dengan Riska. Ia tetap dengan tatapannya yang teduh, tak sedikitpun terlihat sorot amarah di dalam manik matanya.Ia datang bak seorang pujangga yang menyejukkan siapapun yang mendengar suaranya. Bahkan Riska pun berhenti berteriak ketika mendengar suara lembutnya. Aku yakin dia pasti juga sangat terkagum dengan sosok Arfan.Kulepaskan cengkeraman tanganku dari tubuh Riska, lalu beranjak berdiri dan menjauhinya. Sedang kulihat Mas Hafiz juga masih sama tercengangnya dengan Riska."A-arfan," ucapku lirih.Terlihat dari ekor mataku Mas Hafiz beralih menatapku, lalu mendekat kearahku. Sedang aku memilih merapikan baju gamis yang sedikit sobek akibat ulah Riska."Hentikan. Tidak baik berkelahi di depan umum, malu dilihat orang. Selain itu memang tidak ada manfaatnya jika harus berkelahi." Arfan menasehati kami dengan
Season 2Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4Suara deru mobilku memecah keheningan di antara aku dan Mas Hafiz yang tengah bersama menuju rumahnya untuk mengunjungi Bu Santika yang belum juga sembuh. Kami bertemu setelah jam kerja Mas Hafiz selesai dengan menjemputnya di tempatnya bekerja.Kutatap awan yang seolah bergerak mengikutiku dan Mas Hafiz, seakan tak rela jika saat ini aku tengah berduaan dengan mantan suamiku ini. Mas Hafiz menekan tombol audio, lalu memutar sebuah lagu yang tak asing di telingaku.Tersadar didalam sepikuSetelah jauh melangkahCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi kesempatan ituTak akan terulang lagiSemua kesalahankuYang pernah menyakitimuTanpamu tiada berartiTak mampu lagi berdiriCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi