Share

Bab 3

Maduku Tak Tahu Aku Kaya

Part 3

**

Sayup-sayup kudengar suara bising di luar sana ketika aku akan mengambil air wudhu untuk melaksanakan Sholat Tahajud. Aku yang telah sampai di depan kamar mandi, berbelok arah mendekat arah kamar tamu. Mendengar suara yang sepertinya tak asing di telingaku.

'Sial. Menjijikkan sekali aku mendengar rintihan bak ringkikan kuda betina itu' gumamku lalu melanjutkan masuk ke dalam kamar mandi.

Air mataku tumpah saat aku tengah berdoa memohon ampun atas segala dosa-dosaku. Memohon ketenangan serta kelapangan hati ketika melihat suami yang sangat aku cintai itu nyatanya kini tengah memadu kasih dengan wanita lain. Begitu sakit ketika hati harus terbagi untuk dua cinta, apalagi ia sama sekali tak mengunjungiku setelah memasukkan madu itu ke dalam rumah.

Hingga kumandang adzan subuh aku tak dapat memejamkan mata semenitpun. Rasanya dada ini masih bergemuruh ketika mendengar rintihan menjijikkan dari mulut wanita laknat itu. Aku memilih untuk bangun dan bergegas untuk membuat sarapan setelah selesai melaksanakan Sholat Subuh tanpa di dampingi oleh Mas Hafiz.

"Humaira ...." Teriak Mas Hafiz dari dalam kamarnya ketika aku selesai menyapu halaman.

Aku lantas meletakkan sapuku dan berlari menghampirinya yang berteriak dari arah dapur.

"Sarapan dan kopiku mana?"

Aku memutar bola mata malas, ternyata dia memanggilku hanya karena aku belum menyiapkan sarapan dan kopinya. Memang sengaja aku hanya membuat satu porsi mie instan untukku sendiri, lalu beranjak untuk menyapu halaman seusai sarapan.

"Memang istri barumu itu tidak punya tangan? Sampai seluruh pekerjaan aku yang harus mengerjakannya?"

"Tapi aku sedang hamil, tidak boleh capek-capek. Jadi tetap harus kamulah yang mengurus seluruh kebutuhan di rumah ini. Termasuk melayaniku juga," sahut wanita jahat itu dari dalam kamarnya.

Sedang Mas Hafiz hanya manggut-manggut membenarkan pembicaraan jalangnya itu. Aku yang masih merasa punya tanggungjawab tentang pengabdianku pada suami, lantas bergegas membuatkannya secangkir kopi dan nasi goreng kecap kesukaannya. Tak lupa dengan telur setengah matang di atasnya. Membuat Mas Hafiz tersenyum manis ke arahku.

Senyum itulah yang selalu ia berikan kepadaku setiap pagi usai aku menyiapkan sarapan dan kopinya. Namun kali ini rasanya semua begitu hambar, rasa cintaku perlahan mulai terkikis karena sikap tak tahu dirinya itu. Sebetulnya aku ingin meninggalkannya sendiri, dan memulai hidup yang baru. Tapi, aku tidak boleh kalah dalam medan perangku sendiri. Akulah yang berhak atas semua kekayaan Mas Hafiz, sampai kapanpun aku akan mempertahankan semua ini dan membuat perhitungan dengan siapapun yang berusaha mengganggu kenyamanan rumah tanggaku.

"Lho ... Kok cuma satu, punyaku mana?" 

Aku melengos pergi setelah Riska datang dan dengan santainya duduk di samping Mas Hafiz. Seharusnya akulah yang duduk di samping suamiku, bukan dia, wanita yang tak jelas asal usulnya.

"Heh! Miskin. Sini, buatkan aku sarapan kalau kamu masih mau uang. Mau makan apa kamu kalau aku sampai tak membagimu uang?"

Badanku terhenti seketika ketika berkali-kali Riska memanggilku dengan sebutan 'miskin'.

"Lihatlah tubuhmu itu, benar-benar membuat tak seorangpun berselera ketika melihatmu. Meskipun kamu telah mandi sepuluh kali, tetap saja jelek dan kumal. Lebih baik kamu sekarang membuatkan aku sarapan, dirimu sudah sangat pantas seperti ART di rumah ini," ucapnya dengan kekehan kecil dari mulut laknatnya itu.

"Sekarang semua keuangan aku yang pegang, kamu hanya akan mendapat jatah belanja dan kebutuhan rumah. Kalau sampai kamu tidak melayaniku dengan baik, maka aku tidak segan jika harus menendangmu keluar dari rumah ini. Iya, kan, Mas?"

Tampak dari kaca jendela Mas Hafiz mengangguk pasrah ketika Riska mengatakan semua itu. Membuatku semakin naik pitam dan geram dengan sikap sombongnya itu. Aku yang masih memegang nampan ketika hendak masuk ke dapur, berbalik badan dan menghampiri Riska yang tengah di suapi  nasi goreng buatanku oleh Mas Hafiz.

"Rasakan ini!" Bentakku kasar dengan menyiramkan secangkir kopi panas tepat di wajahnya. Membuatnya meraung histeris karena kepanasan.

Dadaku kembang kempis, tak pernah sekalipun aku merasakan sebuah emosi yang sangat memuncak seperti saat ini. Bahkan Bapak dan Ibuku pun tak pernah merendahkanku seperti ini. Bagaimanapun juga aku masih punya hati dan perasaan.

Plakk

Mas Hafiz menampar pipiku lantas membawa Riska masuk ke dalam kamarnya. Membuatku berdiri mematung hingga pintu kamar tamu di tutup dengan sangat keras.

'Baik, Mas. Kini aku tahu, bahwa kamu telah mengibarkan bendera perang denganku.' Batinku.

***

Seharian ini aku pergi dari rumah, menuju rumah Zahra. Hanya dialah yang bisa mengerti perasaanku saat ini.

"Humaira ... Ada apa denganmu? Kenapa kamu sekarang berubah seperti ini?" ucap Zahra ketika aku sampai di depan pintu kosnya.

Aku mengerutkan kening. Merasa bingung dengan ucapannya.

"Kamu sekarang gendut, berjerawat, dan kusam. Tidak seperti dulu,"

Bagai masuk ke dalam kandang macan ketika Zahra juga mengatakan hal itu padaku. Aku menitikkan air mata sebelum ia mempersilahkanku masuk ke dalam kosnya. Zahra menutup mulutnya, sepertinya ia merasa tak enak hati ketika mengomentari perubahan fisikku.

"Maafkan aku, Huma ... Bukan begitu maksudku, tapi kamu dulu adalah seorang gadis yang sangat cantik. Kenapa sekarang berubah seperti ini? Bukankah Hafiz sekarang telah naik jabatan? Seharusnya kamu perawatan, dong," lanjut Zahra dengan menarikku masuk ke dalam kosnya.

Tubuhku diam tak bergeming. Mencerna setiap perkataan yang baru saja di lontarkan oleh sahabatku ini. Sepertinya memang benar kata-katanya. Tidak ada salahnya aku mencoba, siapa tahu Mas Hafiz dan wanita jalang itu akan terkejut melihat perubahanku. Enak saja mereka merendahkan fisikku, dengan uang aku bisa berubah bak bidadari. Senyum licik mengembang di bibirku. Membuat Zahra sedikit kebingungan dengan sikapku.

"Ra ... Antar aku ke salon langgananmu, aku ingin perawatan. Tolong, temani aku untuk mengubah penampilan kumalku ini." Dengan mata berbinar aku memohon pada Zahra.

Perkataanku nyatanya sukses membuatnya terpaku tak percaya dengan perkataanku. Karena yang ia tahu, aku sama sekali tak memegang uang tabungan sepeserpun.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
satu kata buat humaira: TOLOL
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Tunjukkan dirimu siapa humaira
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status