Seorang lelaki berjas putih, berkali-kali memeriksa dengan teliti kaki di hadapannya. Tetapi, berkali-kali juga alisnya menyatu. Setelah menghembus napas panjang, lelaki itu mendesah dan menegakkan netranya ke arah pasien yang mengaku sakit kaki.
"Nona, saya lihat, kaki Anda baik-baik saja. Tidak ada gejala memar ataupun terkilir. Lalu kenapa Anda menampakkan wajah kesakitan?"Tahu bahwa ia tidak akan bisa membohongi seorang dokter, Ilona akhirnya merubah wajah sejujurnya. "Benar, kaki saya memang tidak sakit."Spontan sang dokter langsung membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut. Selang beberapa saat ia kembali mengendurkan garis wajah dan menyingkirkan tangannya dari kaki tersebut."Kenapa Anda berbohong, Nona? Saya yakin, orang seperti Anda tidak akan mungkin melakukan hal sia-sia seperti ini. Bukankah itu hanya membuang waktu?"Tampak Ilona berdecak samar seraya memutar bola matanya. Ia mengeluarkan oksigen dari paruJangan lupa kasih vote dan komen di bawah. Saling follow ig yuk ke nurmala_author010. DM aja, entar ku folback
Selang beberapa saat berada di lift, kini ia telah menginjak lantai hotel yang ditujuinya. Namun, baru beberapa langkah kakinya mengayun. Tiba-tiba ia berhenti saat otaknya mengingat sesuatu, mulutnya terbuka lebar seraya menepuk jidatnya karena menyadari kelalaiannya. "Ah, ya ampun. Kenapa aku bisa lupa memberitahu Luke." Tanpa pikir panjang, ia langsung merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Namun kemalangan kembali menghampirinya ketika layar dihadapannya mendadak redup dan dalam hitungan detik layar itu benar-benar telah menghitam. Suara desahan spontan berembus dari mulutnya. "Akkhh, kenapa malah mati di waktu yang tidak tepat," ringisnya seraya menggigit bibir. Sejenak berpikir. Ia akhirnya menarik napas dalam, berusaha meyakinkan diri sendiri. "Luke pasti mengerti. Aku pergi untuk membantu Kak Ilona. Jika ia masih marah, terpaksa aku harus mengeluarkan jurus andalanku," gumamnya dengan senyum tipis di bibir. Setelah itu ia kemba
"Luke?" seru Asha dengan mata melebar. Sang suami tidak menyahut dan hanya melemparkan tatapan tajam ke arah lelaki kurang ajar yang berani mendekati istrinya. Sama halnya dengan Asha, lelaki itu sempat terkejut. Lalu menarik kembali wajahnya agar berdiri dengan tegap. "Istrimu? Kalian sudah menikah?" tanya si lelaki yang akhirnya berhasil mengeluarkan pita suara yang sempat tercekat di dalam tenggorokan. Ada nada sedih terselip di sana, mengharapkan penyangkalan dari pertanyaannya. "Menurutmu? Apa ada lelaki yang suka jika melihat istrinya dekat dengan lelaki lain?" Luke semakin mempertajam tatapannya. Asha tersentak ketika sang suami menarik tubuhnya lebih dekat. Dengan wajah beku menahan napas, ia mendongak. Terlihat rahang di hadapannya mengeras. Tahu bahwa kemarahan akan meningkat. Asha mencoba mengurai garis wajahnya yang kaku dan mengulas senyum manis seraya mengalungkan tangannya di lengan sang suami. "Benar, kami sudah m
Selang beberapa saat menampilkan raut sedih, berharap sang suami hendak membujuk. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Asha menarik bola matanya ke atas, mengintip dari celah pelupuk. Terlihat Luke memalingkan wajahnya dengan tampang datar. "Eohh, bukankah itu hanya masalah kecil. Kenapa kau terus marah padaku? Bukankah aku sudah meminta maaf dan mengakui kesalahan?" Asha menarik wajah Luke agar menatap matanya. "Kau bilang masalah kecil? Melihat istrinya jalan dan begitu dekat dengan pria lain dikatakan masalah kecil. Dan bahkan istrinya tak segan-segan memuji ketampanan pria lain," sungut Luke seraya melepaskan tangan Asha dari wajahnya lalu kembali berpaling. Tahu ternyata suaminya marah karena cemburu. Asha diam-diam melengkungkan bibir, bahkan ia tidak bisa menahan tawa ketika sang suami semakin menambah garis kesal di wajahnya. "Kenapa kau tertawa? Asha, kau mengerti atau tidak jika suamimu ini sedang marah."
"Jadi, kau benar-benar akan menikah dengan Luke. Luke Watson, teman kuliah kita?" tanya Julian yang masih belum mempercayai cerita Ilona yang kini terlihat begitu santai dengan sesekali meneguk bir di tangannya. Wanita itu hanya mengangguk singkat seraya memutar-mutar gelas di tangannya. Namun, belum membuat si empu mengurai kerutan. "Ilona, Asha adalah adikmu sendiri. Kau tega ingin merebut Luke darinya?" Kalimat itu menghentikan pergerakan pada tangan Ilona. Sejenak bergeming, kemudian ia meletakkan gelas itu ke meja kaca sedikit kasar. "Perhatikan ucapanmu itu! Aku tidak pernah merebut siapapun dari siapapun. Dialah merebutnya dariku, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintai Luke. Jika dia tidak ada, mungkin saja sekarang kami telah bersama dengan bahagia," ketus Ilona dengan mata yang mulai memerah. Napasnya mulai memburu bersamaan dengan gejolak dalam dada yang semakin meningkat. "Tidak ada yang namanya mungkin, Il. Ini semua su
Sudah hampir satu jam, Sean duduk di meja bar dengan tatapan menerawang ke depan. Percakapan dengan Ilona tadi terus terngiang di telinganya, semakin jelas memori tersebut semakin terasa nyeri di dada. Ia melampiaskan rasa sakit itu dengan kembali menegak bir di tangannya hingga tandas. Suara dentuman terdengar saat pria itu meletakkan gelas dengan kasar ke meja. "Jika aku tau bahwa jatuh cinta bisa memberikan rasa sakit yang teramat. Lebih baik aku tidak memiliki hati sama sekali," gumam Sean dengan mata telah memerah, satu tangannya telah mencengkram kuat bagian dada kirinya. "... ini adalah terakhir kalinya kita bertemu." Sean meringis tanpa sengaja saat kalimat terakhir Ilona muncul di benaknya begitu saja. Tangannya telah beranjak ke gelas yang telah kosong dengan genggaman yang begitu kuat seiring luka dalam hati menganga lebar. Bahkan ia begitu sulit walau sekedar menelan ludah, mengetahui kenyataan bahwa sang pujaan benar-benar tidak menginginkan keha
Ilona membuka pintu kamar dengan kasar dan menutupnya kembali menggunakan kaki dengan gerakan malas. Ia langsung melempar tas kerjanya ke kasur dan menghempaskan diri di kursi meja rias. Dengan wajah kusut langsung terpantul di dalam cermin di hadapannya."Aakkhh ... dasar Sean sialan," gerutunya seraya menghentakkan kaki.Pembicaraannya tadi dengan Sean tidak pernah berhenti berputar dalam otaknya. Berulang kali ia menggeleng kuat, namun pikiran itu tak kunjung hilang dalam kepala. Kekesalan semakin bertambah saat debaran aneh pada jantungnya tidak pernah berhenti."Kenapa semuanya jadi begini sih? Ada apa denganku?" Ilona mengacak rambutnya dengan frustrasi. Bayangan wajah sendu Sean sangat jelas terlihat.Sesaat ia memaku, netranya menatap lurus ke dalam cermin. Menatap lebih dalam bayangannya di sana. Bukan, bukan wajahnya yang membuat ia mematung. Namun, sekelebat memori
Semua benda di semesta alam terus melakukan tugasnya. Begitu juga dengan waktu, yang tidak pernah mengenal kata lelah untuk berputar. Hingga tanpa sadar bila hari yang dinantikan tiba, hari penyatuan dua insan dalam sebuah ikatan pernikahan.Sebuah dekorasi yang telah dirancang sesuai keinginan, kini telah dipenuhi oleh tamu yang mulai berdatangan untuk menyaksikan pernikahan konyol. Bagaimana tidak, yang akan menjadi pengantin wanitanya adalah kakak dari istri pengantin lelaki. Bukankah itu terdengar aneh.Para tamu mulai bisik-bisik antar telinga teman-temannya ketika apa yang mereka dengar selama ini memang benar. Bahkan wanita yang telah lama berstatus sebagai istri, kini tanpa beban ataupun air mata telah berdiri cantik di samping pengantin lelaki di atas altar. Tersenyum lebar ke arah sang pengantin wanita yang kini tengah berjalan menuju altar.Bukan kecantikan pengantin wanita yang menjadi topik
"Asha, kau sudah bangun?" Pertanyaan yang terdengar begitu khawatir langsung tertangkap di indra pendengaran, membuat Asha yang baru saja mengerjap spontan menoleh. Dengan kepala yang terasa sakit, ia berusaha duduk. "Ada apa? Di mana ini?" tanyanya seraya memeriksa sekeliling. "Tadi tiba-tiba saja kau pingsan, jadi aku membawamu ke kamar. Aku baru saja hendak memanggil dokter kemari. Apa kau merasa baik sekarang?" Asha bergeming, berusaha mencerna setiap kalimat yang ia dengar. Beberapa detik kemudian, barulah ia sadar kejadian yang sebenarnya. Dengan mata telah membulat sempurna, ia kembali menoleh ke arah lawan bicara. "Apa Luke tau aku pingsan?" tanya Asha dengan nada panik. Membuat pria di hadapannya spontan menggeleng cepat. Melihat hal itu, Asha langsung berembus lega sembari mengusap dada. "Syukurlah." Julian mengernyitkan dahi melihat tingkah Asha yang membingungkan. "Kenapa?" Se