"Pria di depan." Max menahan pintu saat Law akan masuk ke kursi belakang bersama istrinya. Jelas, dia tidak akan sanggup melihat hal itu di depan mata. Law mencemooh, "Apakah ada aturan seperti itu saat naik mobil?" "Ini mobilku, sesuai keputusanku," ungkapnya kesal, "Lagipula perjalanannya jauh, kita harus bergantian menyetir." "Biar aku saja yang menyetir kalau begitu." Law mengalah seraya membanting pintu, "Pria sejati tidak memerlukan bantuan selagi bisa melakukannya" Dari pusat kota menuju lereng gunung memakan waktu dua jam lamanya, sehingga mereka sepakat berkendara bersama, sementara para pegawai memakai mobil travel besar untuk memudahkan perjalanan. Awalnya Max sendiri yang merekomendasikan hal itu, namun ia mulai menyesal karena harus mendengarkan kalimat-kalimat menyebalkan dari bibir Law, belum lagi ketika pria itu mulai menggoda. Dalam satu mobil tersebut—Lawrence, Maxime, Elia, dan Ann, terutama Max dan Ann hanya bisa pasrah mendengar percakapan Law yang seolah-ola
"Ada puluhan hektar kebun kopi di sini, namun berbeda-beda jenisnya. Semua kopi memang bagus, tapi anda harus percaya kalau jenis kopi milikku adalah unggulannya. Memang kalau soal harga sedikit lebih mahal, tapi itu sepadan dengan rasa dan kualitas yang didapatkan penikmatnya," seorang pria baya pemilik kebun kopi yang mereka tuju menjelaskan sejarah-sejarah singkat tentang kebunnya, dan jenis kopi yang dia tanam, secara detail. Pria itu tampak sudah akrab dengan Max, terlihat ketika dia merangkul bahunya dengan sangat bersahabat, "Aku juga tidak sembarang mengambil partner produsen, salah satunya Tn. Millian ini, mencakup keseluruhan latar belakangnya pun aku sudah tahu, jadi tidak khawatir dengan hasil produksinya nanti, sudah jelas akan berkualitas tinggi." "Tn. Danne ini sudah pakar soal kopi, aku banyak belajar darinya," ujar Max balas memuji. Ia kemudian memetik sebiji kopi untuk diberikan pada Ann—selaku orang yang mengamati sekaligus mencatat tiap detail informasi yang diteri
"Dimana Elia?" Law memutar kepala ke segala arah, mencari-cari keberadaan sang istri yang tak kunjung terlihat sejak beberapa saat lalu ia meninggalkannya bersama pegawai lain, "Mengapa dia tiba-tiba menghilang?" "Aku tadi melihatnya," sahut En yang baru datang ke perkemahan atas panggilan Law tentunya. Mereka sudah bersiaga dari ancaman Max sehingga ia mulai mendatangkan orang-orang pilihan yang menyamar sebagai tamu biasa, "Duduk saja, nanti juga kembali." En ikut megambil jatah makan malam para pegawai. Law menggerutu, "Biasanya tidak pernah menghilang selama ini." "Mau kemana?" tanya En sesaat setelah Law akhirnya memilih meninggalkan tempat. "Mencari Elia." En menggeleng maklum, mereka berdua tidak saling mencintai, tapi selalu butuh satu sama lain. Law lantas pergi ke kamar pribadinya, hanya saja Elia tidak ada di sana, hanya ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Law tidak curiga karena Elia seringkali menaruh benda itu sembarangan seolah menunjukkan jika dia tida
Usai sang istri mendapat penenganan dan pemeriksaan saluran napas dari tim medis pribadi, Law menutup rapat pintu kamar hotel, tak mengizinkan kerumunan orang yang berusaha mengetahui kondisi Elia. "Dimana Ann?" Elia beranjak duduk, namun segera dicegah oleh Law yang malah membungkus seluruh tubuhnya makin rapat menggunakan selimut tebal. "Kenapa kau malah menanyakan Ann, lihat kondisimu..." Jadi sebenarnya Ann sengaja melakukan hal ini untuk mencelakainya atau hingga kini dia masih tersesat di hutan dan tidak tahu jalan keluar untuk meminta bantuan. Elia terus dihantui pikiran positif dan negatif yang saling bertubrukan. Ann itu sebenarnya baik, tapi tetap tak sebaik yang ia pikirkan. Elia tidak bodoh untuk memahami isi pikiran seseorang, hanya saja ia ragu. Ia ingin sekali mengungkapkannya pada Law, tapi entah kenapa itu akan membuat Ann dalam kondisi yang sulit, karena bagaimanapun Ann lah yang membawanya ke hutan hingga menyebabkan kejadian ini. Law dengan penuh perhatian tet
"Orang-orang Narcist yang disewa Maxime sudah bersiaga, mereka akan menjalankan aksi malam ini." "Kenapa kau baru mengabariku?" Law menutup mata sembari mengurut pelipis, usai mendapat penggilan telepon dari Will, "Hah, jika mereka tahu aku ini pimpinan Narcist, masih adakah yang berani menampakkan wajah di depanku setelah ini." "Semalam kau sibuk dengan Elia, bahkan kau tak terlalu memperhatikan ucapanku," ungkap Will membela diri. Will dan seluruh tim medis kepercayaan datang ke penginapan pada saat itu juga—usai Law menelepon, melewati dua jam perjalanan hanya untuk melakukan pemeriksaan pada istri Law yang mengalami hipotermia. Padahal pria itu bisa saja memanggil petugas medis yang disiapkan hotel, namun ketidakpercayaan menghalangi tindakannya. "Jadi bagaimana plan mereka? apakah masih sama seperti rencana yang dibuat Liam?" "Ya, masih sama, dan kemungkinan Liam juga mengerahkan anak buahnya untuk melindungimu—baru kemungkinan, entah apa yang dia rencanakan dengan Elia." La
"Elia sudah bersamaku, cepatlah! sebelum dia sadar!" Max mengakhiri sepihak panggilan telepon yang tampak membuatnya emosi. Ia kemudian beralih pada Elia yang masih tidak sadarkan diri dengan posisi tangan kaki terikat, Max mengusap surai Elia dengan penuh kasih, "Maaf aku harus melakukan ini, Elia. Demi kita berdua." Beberapa menit mobil menepi, tampak mobil lain muncul dari arah berlawanan. Pengemudinya lekas keluar sembari melempar sebuah kunci, mereka kemudian bertukar kendaraan. "Ini kunci rumahnya, jangan sampai hilang karena hanya ada satu," ucap pria dengan setelan serba hitam itu, mengingatkan Max. Setelah dipindahkan ke mobil lain, Elia terlihat menggeliat kecil. "Cepat pergi sana, efek biusnya mulai pudar." Max khawatir Elia akan segera sadar, ia pun lekas melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh. Namun di tengah perjalanan, perempuan itu mulai membuka matanya, mencari kesadaran. "Maxime?" Elia mengerjapkan mata, berusaha mendapatkan kesadaran penuh. Saat bola mat
Law mengusap darah milik para mayat ke seluruh tubuhnya, menciptakan kesan seolah dirinya terluka parah akibat serangan. "Aku butuh bantuanmu untuk mengatasi mayat-mayat ini, Paman John." "Tidak perlu khawatir, seperti biasa," balas pria baya itu. Sosoknya memiliki peran penting tersendiri di kehidupan Law, namun saat ini ia hanya bertugas sebagai 'pembersih' dari segala bekas kekacauan yang Law buat, termasuk seperti sekarang. Pria itu heran melihat Law masih sibuk dengan darah para mayat. "Kenapa kau mengotori dirimu dengan darah itu?" "Untuk pembuktian kalau Maxime punya niat membunuhku." Law kemudian beralih pada panggilan teleponnya, sembari membiarkan John mulai bekerja. Will menjelaskan, "Law, Elia dibawa Max. Aku terlambat mengatahuinya, dan sepertinya kini mereka sudah pergi jauh." "Elia masih pakai anting-anting yang biasanya, coba lacak dia, aku akan segera berangkat." Law teringat sesuatu, ia telah menaruh pelacak sekaligus penyadap super mikro di kedua anting milik Eli
"Lawrence!" Max terbelalak saat mendengar seruan Elia yang menatap sebuah mobil hitam di belakang mereka, hingga ia tak sadar menginjak pedal gas secara maksimal namun tak memperhatikan sekitar. Mobil hitam Law, menubruk miliknya dengan hantaman kencang, lantas membuatnya terpojok ke sebuah pohon besar. Kedua kendaraan itu berhenti dengan posisi kacau di tengah jalanan hutan yang sepi dan gelap. Max keluar dari mobil, tak lupa mengunci seluruh pintunya. "Perjalanan kalian menyenangkan?" Law menyusul keluar. Pakaian dan tubuh yang terbalur darah membuat Max tersenyum sinis—karena ia pikir itu semua ialah luka yang dihasilkan oleh para pembunuh bayaran. Padahal nyatanya, Law tak tergores sedikitpun. Elia tiba-tiba berseru dari dalam, "Law, dia bawa pistol! hati-hati!" Melihat tonjolan pada salah saru saku celana Max, Law tidak lagi bisa menahan tawa. Senjata berpeluru itu bukan keluaran terbaik, melainkan salah satu produk gagal yang dijual ilegal di pasaran. Bukan berarti tidak be