Leo berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap langit malam Roma yang gelap. Tangannya mencengkeram segelas wiski, sementara pikirannya berputar cepat, menyusun strategi. Perang ini bukan lagi sekadar pertempuran melawan Il Lupo—Rusia telah masuk ke dalam permainan.Nicolo masuk ke ruangan dengan wajah serius. "Dimitri tidak main-main. Orang-orangnya sudah mulai muncul di sekitar Roma. Mereka tidak menyerang, tapi jelas mereka mengawasi kita."Leo berbalik, matanya menyala tajam. "Mereka menunggu langkah kita."Lorenzo bersandar di dinding dengan santai, tapi tatapannya penuh perhitungan. "Jadi, apa rencanamu? Kita menyerang Il Lupo dulu atau menghadapi Rusia?"Aurora yang duduk di sofa menatap Leo dengan penuh perhatian. "Jika kita menyerang Il Lupo secara langsung, Rusia akan melihatnya sebagai tanda bahwa kita lemah dan mudah dipancing ke dalam perangkap."Leo mengangguk, seakan pikirannya sejalan dengan Aurora. "Kita buat mereka saling berhadapan."Nicolo mengangkat alisnya
Peta PerangLeo duduk di ruangannya, menatap peta besar yang terbentang di meja. Perang antara Il Lupo dan mafia Rusia semakin membara, tepat seperti yang direncanakannya. Namun, satu hal yang tidak ia perhitungkan adalah langkah Dimitri yang muncul secara tiba-tiba di markasnya.Dimitri tahu bahwa Leo-lah dalang di balik perpecahan ini. Itu berarti lawannya lebih cerdas dan lebih berhati-hati daripada yang ia duga.Aurora masuk ke ruangan, membawa secangkir kopi untuk Leo. Ia meletakkannya di meja, lalu bersandar di tepi. "Kau terlihat tegang," katanya lembut.Leo mengambil cangkir itu dan menghela napas. "Dimitri tidak akan tinggal diam setelah mengetahui kebenarannya. Aku hanya menunggu langkahnya."Aurora menatapnya dengan khawatir. "Apa yang akan kau lakukan?"Leo menatap mata gadis itu. "Aku akan memastikan dia tidak punya kesempatan untuk menyerang lebih dulu."Sebelum Aurora bisa membalas, pintu terbuka, dan Nicolo masuk dengan wajah serius. "Bos, kita punya masalah. Salah sat
Leo berdiri di depan tubuh Dimitri yang tergeletak tak bernyawa di lantai gudang. Darah lawannya meresap ke beton dingin, menyisakan bau besi yang menusuk hidung. Ia seharusnya merasa puas—musuh terbesarnya telah tumbang. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir.Nicolo dan Lorenzo berlari masuk dengan wajah tegang."Bos, kita punya masalah besar," kata Nicolo, napasnya tersengal.Leo mengalihkan pandangannya dari mayat Dimitri. "Apa yang terjadi?"Lorenzo mengusap wajahnya. "Il Lupo tahu bahwa kita membunuh Dimitri. Mereka marah, dan sekarang mereka bersiap menyerang kita."Aurora yang berdiri di dekat Leo mengepalkan tangannya. "Jadi perang ini belum berakhir."Leo mendecak. "Tidak. Ini baru saja dimulai."---Persiapan untuk PertempuranLeo kembali ke markas dan langsung mengumpulkan semua orang. Para pemimpin divisinya berdiri di sekitar meja besar di ruang pertemuan, menunggu instruksi.Ia menatap mereka satu per satu. "Il Lupo akan datang. Mereka tidak akan
Suasana di vila Leo terasa lebih sunyi dari biasa nya. Setelah semua pertumpahan darah dan pengkhianatan, akhir nya mereka bisa merasakan sedikit kedamaian. Namun, Aurora tahu betul bahwa di dunia mafia, kedamaian hanya bersifat sementara.Leo duduk di sofa ruang tamu dengan segelas wiski di tangan kanan nya. Mata tajamnya menatap kosong ke luar jendela, seakan ada beban yang tak bisa ia lepaskan. Aurora mendekat, duduk di samping nya, dan tanpa ragu menggenggam tangan nya.“Kau kelihatan berbeda dari biasa nya,” bisik Aurora. “Ada apa?”Leo menghela napas panjang. “Aku hanya berpikir… setelah semua ini, apa yang akan terjadi selanjut nya?”Aurora menatap nya dalam. “Apa maksud mu?”Leo menoleh ke arah nya. “Aku sudah mencapai puncak sekarang. Aku telah mengalahkan semua musuh yang menghalangi jalanku. Tapi… aku tidak tahu pasti apakah aku masih ingin menjalani hidup seperti sekarang ini.”Aurora terdiam sejenak, memproses kata-kata itu. Selama ini, dia melihat Leo sebagai pria yang k
Leo berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Lampu-lampu kota berpendar, menciptakan ilusi kedamaian, tetapi dia tahu betul bahwa di balik semua itu, ada ancaman yang semakin mendekat.Di belakangnya, Aurora duduk di sofa, memperhatikannya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Sejak pertemuan dengan Nicolo tentang kelompok La Nera, Leo semakin pendiam. Dia tidak tidur, tidak makan dengan benar, dan terus-menerus sibuk dengan pikirannya.“Kau tidak tidur lagi semalaman,” ujar Aurora lembut, suaranya penuh kekhawatiran.Leo menghela napas dan berbalik menghadapnya. “Aku tidak bisa tidur ketika ada ancaman yang mengintai kita.”Aurora bangkit dan berjalan mendekatinya. Dia menyentuh wajah Leo dengan lembut, mencoba menghilangkan sedikit ketegangan yang tertulis jelas di ekspresinya.“Kau harus istirahat. Aku tahu kau kuat, Leo. Tapi kau juga manusia,” katanya.Leo tersenyum kecil dan mengusap pipinya. “Aku tahu, amore mio. Tapi ini b
---Leo melangkah keluar dari mobil dengan wajah tegang. Restoran yang biasanya ramai dengan aktivitas kini terasa sepi, terlalu sepi. Itu bukan kebetulan. La Nera pasti sudah bergerak lebih dulu.Tangan Leo secara refleks meraba pistol di pinggangnya. Di sekelilingnya, beberapa anak buahnya berdiri waspada, mata mereka terus mengawasi setiap sudut bangunan.“Nicolo, bagaimana situasi di gudang senjata?” Leo berbicara melalui alat komunikasi kecil di telinganya.“Kami sudah di posisi,” jawab Nicolo. “Masih belum ada pergerakan mencurigakan, tapi aku yakin ini hanya masalah waktu.”Matteo menyusul, “Klub malam masih aman, tapi aku sudah menempatkan beberapa orang di titik-titik strategis. Aku tidak mau ambil risiko.”Leo menyeringai tipis. “Bagus. Siapkan tim, kita serang lebih dulu sebelum mereka sempat bergerak.”Dia memberi isyarat kepada anak buahnya, dan mereka segera berpencar, mengepung restoran dari berbagai sisi. Leo mengambil napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu masuk de
Leo berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap pemandangan kota yang dipenuhi cahaya lampu malam. Di tangannya, segelas bourbon tergenggam erat, namun pikirannya jauh melayang ke kejadian beberapa hari terakhir. Serangan dari La Nera telah menyebabkan kerugian besar bagi bisnisnya. Beberapa anak buahnya terbunuh, gudang senjata dihancurkan, dan yang paling membuatnya geram—mereka mencoba mengincar Aurora.Mata Leo menggelap saat mengingat wajah Enzo Moretti, pria yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini. Moretti berpikir bahwa dia bisa menjatuhkan Leo dengan serangan mendadak. Tapi dia telah melakukan kesalahan besar.Nicolo dan Matteo berdiri di belakangnya, menunggu perintah. Mereka tahu Leo tidak akan tinggal diam.“Apa rencana kita?” tanya Nicolo akhirnya, memecah keheningan.Leo meneguk bourbonnya sebelum meletakkan gelasnya dengan suara berdenting di meja. “Kita serang mereka duluan.”Matteo mengangkat alis. “Langsung ke markas mereka?”Leo mengangguk. “Moretti tid
Leo berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap cahaya lampu kota yang berkilauan di bawah langit malam. Kemenangan atas La Nera seharusnya menjadi akhir dari pertempuran panjang ini. Tapi Nicolo baru saja membawa kabar buruk.“Seseorang baru saja mengambil alih La Nera,” kata Nicolo dengan suara tegang.Leo berbalik, ekspresinya dingin. “Siapa?”Nicolo menyerahkan sebuah ponsel dengan pesan yang baru saja diterimanya. Leo membaca pesan itu dengan seksama:"Kau mungkin telah menyingkirkan Enzo, tapi permainan ini belum berakhir. Aku akan mengambil kembali apa yang menjadi milik kami. Bersiaplah, Leo. Aku akan datang untukmu."Tidak ada nama pengirim. Tidak ada petunjuk siapa yang mengirimnya. Tapi satu hal pasti—ancaman ini bukan sekadar gertakan.Matteo menghela napas berat. “Aku tidak suka ini, Nic. Kita baru saja menyingkirkan Enzo, dan sekarang ada seseorang yang ingin mengambil alih La Nera?”Leo menatap layar ponsel itu dengan tajam sebelum meletakkannya di meja. “Kita per
Penerbangan malam dari Milan menuju Sarajevo berlangsung dalam senyap. Di kabin jet pribadinya, Leo duduk tanpa bicara. Tangannya menggenggam foto ayahnya—Nicolo—yang kini menjadi misteri hidup dan mati. Di sekelilingnya, hanya suara samar dari mesin pesawat dan desiran angin di luar jendela. Matteo, yang duduk di seberangnya, memecah keheningan. “Kau yakin ini bukan jebakan?” Leo tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada gambar. “Jika Dragan benar-benar menahan ayahku, maka ini bukan sekadar perang antar mafia. Ini balas dendam pribadi.” Matteo mengangguk pelan. “Tapi dia tahu itu. Dia tahu kamu akan datang, Leo. Dia sudah menyiapkan sesuatu.” Leo menatap Matteo tajam. “Biarkan dia siapkan segalanya. Aku akan membakar semuanya jika itu yang diperlukan.” --- Sarajevo – Tengah Malam Jet mendarat di bandara kecil di pinggiran kota. Mereka di
Langit Milan tertutup awan kelabu. Di atas atap markas Il Lupo, Leo berdiri memandangi kota yang dulu dianggapnya aman. Kini, bayangan perang menyelimuti segalanya. Di tangannya, dia menggenggam liontin milik Nicolo—satu-satunya peninggalan yang kembali bersamanya setelah operasi di Sarajevo.“Ini bukan tentang balas dendam semata,” gumamnya. “Ini tentang menghentikan kekacauan sebelum dunia dilahap Phoenix.”Luka mendekat dengan berkas laporan. “Aurora berhasil menyusup ke server Phoenix. Kita tahu lokasi utama mereka di Istanbul. Tapi Dragan punya pasukan setidaknya lima puluh elit bersenjata.”Leo tidak tampak gentar. “Kalau itu markas pusat, maka di sanalah kita akhiri semuanya.”Matteo masuk ke ruang komando. “Pasukan kita sudah siap. Jovan dan Emir akan pimpin jalur laut. Kita masuk dari udara. Operasi ini akan kita sebut sesuai nama yang Nicolo tinggalkan—Revenant. Bayangan yang kembali dari kematian.”Leo memandangi layar bes
Api membumbung tinggi dari gudang bawah tanah di perbatasan Bulgaria. Kilatan cahaya oranye menerangi langit malam, disertai ledakan yang mengguncang tanah. Leo berdiri di kejauhan bersama Matteo dan Luka, menyaksikan kebakaran itu tanpa ekspresi."Bukan cuma bunker yang terbakar," gumam Matteo. "Itu simbol. Pusat koordinasi operasi mereka."Leo menoleh ke Luka. "Kita beri sinyal pada semua kelompok di Eropa. Phoenix gagal lepas landas. Kita akan bunuh revolusi mereka sebelum dimulai."Luka mengangguk. "Sudah kukirimkan pesan melalui jaringan Aurora. Semua mata kini tertuju pada Dragan."Namun Leo tahu, ini baru awal. Dragan bukan tipe yang menyerah begitu saja. Ia akan membalas, dan tidak dengan cara biasa.---Milan – Dua Hari KemudianMarkas Leo lebih sibuk dari biasanya. Telepon berdering, pesan datang dari berbagai jaringan. Aurora duduk di meja pusat informasi, mengetik cepat sambil terus menerima kabar t
Hujan mengguyur kota Milan pagi itu, mengguratkan bayangan kelam di jendela markas Leo. Di dalam ruang strateginya, Leo berdiri mematung menatap peta digital Eropa—titik-titik merah menandai wilayah konflik baru yang terus bermunculan usai insiden kapel.Aurora duduk di sofa, menyilangkan kaki sambil memeriksa laporan dari jaringan bawah tanah yang baru mereka bangun. Matteo dan Luka berdiri di samping Leo, seperti biasa, siap menerima perintah kapan saja.“Ricardo masih belum pulih,” ujar Aurora. “Tapi dia memberikan nama: Valentin Dragan. Mantan agen intelijen Balkan. Sekarang bekerja untuk Ivanov.”Leo menyipitkan mata. “Nama yang tidak pernah muncul sebelumnya. Ivanov mulai mengeluarkan bidak yang ia simpan paling dalam.”Matteo mengangguk. “Jika Dragan bergerak, berarti mereka merencanakan sesuatu yang besar dan diam-diam. Operasi senyap, bukan konfrontasi terbuka.”Leo menoleh ke Luka. “Siapkan penyamaran. Kita akan ke Zurich m
Tiga hari telah berlalu sejak kematian Fabio Marino. Dan dalam tiga hari itu, Leo belum tidur dengan tenang. Bukan karena penyesalan, tapi karena satu hal yang mengusik pikirannya: ketenangan yang terlalu sempurna.Di dunia mafia, tidak ada kematian besar tanpa balasan. Terutama jika kematian itu menyentuh salah satu pilar jaringan Enzo Moretti. Tapi hingga kini, tak satu pun langkah balasan datang. Tak ada serangan. Tak ada pesan. Hanya keheningan—yang lebih mematikan dari seribu peluru.Di markas besar Leo, peta kekuasaan dipajang lebar di dinding, penuh dengan penanda merah dan hitam. Matteo berdiri di sampingnya, menunjuk titik pergerakan.“Menurut informasi Sienna, ada komunikasi intens antara kelompok Albania dan Rusia. Mereka memperkuat pos di Napoli, dan… kami kehilangan jejak salah satu informan kita kemarin malam.”Leo duduk, matanya tajam menatap layar. “Ivanov telah menanam bidaknya. Mereka tidak akan menyerang terang-terangan. Mereka mengincar dari dalam.”Luka masuk terg
Udara malam Roma terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan gerimis membasahi jalanan sempit di sekitar distrik Testaccio, namun bagi Leo, malam ini bukan sekadar tentang cuaca. Ini tentang menandai wilayah. Tentang memecah sistem yang selama ini dikendalikan Enzo Moretti dan Ivanov dari bayang-bayang. Leo berdiri di atap sebuah gedung tua, mengenakan jaket hitam yang menyatu dengan malam. Di tangannya, ponsel berisi data pergerakan transaksi Fabio Marino—salah satu tangan kanan Enzo yang menguasai pasar gelap narkoba di selatan Italia. Target malam ini. “Konfirmasi posisi,” suara Matteo masuk lewat earphone. “Lantai dua, ruang belakang. Tiga orang penjaga. Fabio sedang sendirian,” sahut Luka dari pengamatan jarak dekat. Leo mengangguk. “Kita tidak datang untuk bicara. Kita datang untuk menghapus namanya dari permainan.” --- Beberapa menit kemudian, mereka masuk melalui pintu samping gudang. Sienna, dari jarak jauh, telah meretas sistem keamanan dan memutus sambungan kamera.
Asap masih mengepul dari reruntuhan gudang senjata. Leo berdiri memandangi kobaran api yang perlahan mulai padam, wajahnya dingin dan penuh amarah. Tiga lokasi diserang dalam satu malam—dan meskipun mereka menang secara taktis, kerugian yang mereka alami terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja. Di belakangnya, Matteo mendekat dengan langkah berat. Lengan kirinya dibalut perban, masih berlumuran darah. “Pihak rumah sakit bilang dua orang dari tim kita tidak bisa diselamatkan,” ucap Matteo lirih. Leo mengangguk, menahan emosi yang bergejolak di dadanya. “Dan mereka mengira kita akan diam saja?” Matteo menatap pemimpinnya yang baru itu. Dulu, dia melihat Leo sebagai tangan kanan yang setia, tapi kini, Leo berdiri sebagai kepala keluarga yang tidak kalah berbahaya dari Nicolo sebelumnya. Ketegasannya, kecepatannya membaca situasi, dan kekejamannya saat dibutuhkan—semua itu menjelma menjadi aura baru yang mulai ditakuti lawan maupun kawan. “Enzo Moretti yang melakukan ini?” tany
Leo duduk di kursi belakang mobilnya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan ponsel. Pikirannya masih terfokus pada pesan yang dikirim Alessia. Wanita itu jelas lebih dari sekadar ancaman biasa."Kau yakin ini ide yang bagus?" Nicolo bertanya dari kursi depan, matanya tetap waspada menatap ke luar jendela."Kita tidak punya pilihan," jawab Leo, suaranya datar. "Kalau kita diam, dia akan menganggap kita lemah. Kita harus mengambil kendali."Matteo, yang duduk di samping Nicolo, mendengus. "Aku masih tidak percaya kau benar-benar ingin bertemu dengannya. Alessia tidak akan datang sendirian. Dia pasti sudah menyiapkan jebakan."Leo tersenyum kecil. "Begitu juga kita."Mobil melaju di jalanan kota, menuju restoran mewah yang telah dipilih Alessia untuk pertemuan mereka. Tempat itu bukan pilihan yang biasa untuk pertemuan mafia—terlalu terbuka, terlalu terang. Tapi mungkin itulah tujuan Alessia. Dia ingin Leo tahu bahwa dia tidak takut.Saat mobil berhenti di depan restoran, seorang pelaya
Nama Alessia Romano terus terngiang di benak Leo saat ia menyesap bourbonnya. Pesta amal masih berlangsung, tetapi bagi Leo, malam ini bukan sekadar acara sosial—ini adalah awal dari permainan yang lebih besar.Ia memandangi Alessia yang tengah berbincang dengan beberapa pria kaya dan berpengaruh. Dengan gaun merahnya yang menawan, dia terlihat seperti ratu yang memerintah atas para pion di sekelilingnya.Nicolo mendekat, membisikkan sesuatu. “Kami sudah menyelidiki Alessia. Dia baru muncul di dunia kriminal setelah Enzo jatuh. Tidak ada catatan aktivitas sebelumnya, seolah-olah dia muncul entah dari mana.”Leo menyipitkan mata. “Tidak ada yang muncul dari ketiadaan. Dia pasti sudah merencanakan ini sejak lama.”“Tapi kenapa sekarang?” Matteo menimpali. “Kenapa baru setelah Enzo mati dia berani bergerak?”Leo tidak menjawab. Dia tahu satu-satunya cara mendapatkan jawaban adalah langsung dari sumbernya.Dengan langkah mantap, ia berjalan mendekati Alessia. Ketika wanita itu menyadari k