Aurora masih berdiri di tempat yang sama, membiarkan hujan membasahi dirinya. Pikirannya masih berusaha mencerna kejadian barusan.
Siapa sebenarnya pria itu? Tatapan Leo, suaranya yang berat namun menghipnotis, dan cara ia memperlakukannya—semuanya terasa aneh. Ia bisa merasakan aura bahaya yang mengelilingi pria itu, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk takut. Aurora menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. "Lupakan saja," gumamnya pada diri sendiri sebelum melangkah pergi. Namun, firasatnya mengatakan bahwa kejadian malam ini belum berakhir. --- Pagi harinya, Aurora kembali ke rumah sakit untuk shift berikutnya. Ia mencoba menjalani harinya seperti biasa, tetapi pikirannya terus kembali ke sosok Leo Moretti. Saat ia sedang menyiapkan berkas pasien di ruang administrasi, rekan kerjanya, Olivia, datang menghampiri dengan ekspresi penasaran. "Aurora, kau melihat berita pagi ini?" tanya Olivia, menyerahkan ponselnya. Aurora mengambil ponsel itu dan membaca berita utama di layar. "INSIDEN PENEMBAKAN DI PUSAT KOTA: DUGAAN TERKAIT DENGAN MAFIA" Jantungnya berdegup kencang saat ia membaca lebih lanjut. Tidak ada nama yang disebutkan, tetapi laporan menyebutkan seorang pria yang selamat dari serangan bersenjata di area yang sama dengan tempat Aurora bertemu Leo tadi malam. Jadi, dia memang bagian dari mafia? "Astaga," gumamnya pelan. Olivia menatapnya curiga. "Kau baik-baik saja?" Aurora buru-buru mengangguk. "Ya, aku hanya… tidak menyangka hal seperti ini terjadi begitu dekat dengan kita." Olivia mendesah. "New York, babe. Selalu ada sesuatu yang terjadi. Syukurlah kita tidak ada di sana saat itu." Aurora hanya tersenyum tipis, menyembunyikan fakta bahwa ia memang ada di sana. --- Setelah shift panjangnya selesai, Aurora berjalan keluar dari rumah sakit dan merasakan udara malam yang dingin menyapanya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya gelisah—perasaan bahwa ia sedang diawasi. Ia melirik sekeliling, tetapi tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. "Kau hanya paranoid," gumamnya. Namun, saat ia berjalan menuju mobilnya, perasaan itu semakin kuat. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah mobil hitam terparkir tak jauh dari sana. Mobil itu terlihat mewah, dengan kaca gelap yang menghalangi pandangannya ke dalam. Aurora mencoba mengabaikannya, tetapi saat ia hendak membuka pintu mobilnya, jendela mobil hitam itu perlahan turun. Jantungnya hampir berhenti ketika ia melihat siapa yang ada di dalam. Leo. Mengenakan setelan hitam yang lebih rapi dibanding semalam, wajahnya tetap dingin dan penuh misteri. Luka di bahunya sudah diperban dengan baik, meskipun masih ada sedikit ketegangan di ekspresinya. "Masuk," katanya singkat. Aurora mengerjap. "Apa?" "Masuk ke mobil, Aurora." Nada suaranya tidak mengancam, tetapi ada sesuatu dalam cara ia berbicara yang membuat Aurora tahu bahwa menolak bukan pilihan yang bijak. Ia menimbang sejenak, lalu akhirnya menghela napas dan masuk ke dalam mobil. Begitu ia duduk, mobil mulai bergerak perlahan. "Kau mengikutiku?" tanya Aurora, menatap Leo dengan tajam. Leo menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap tenang. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora tertawa sinis. "Kau menembakkan pistol semalam, dan sekarang kau bertanya apakah aku baik-baik saja?" Leo tidak tersenyum. "Kau menolongku semalam, dan itu tidak akan dilupakan begitu saja." Aurora mengerutkan kening. "Apa maksudmu?" Leo menatapnya lama sebelum menjawab, "Sekarang namamu sudah ada dalam radar orang-orangku… dan juga musuh-musuhku." Aurora membeku. "Apa?" "Kau terlihat bersama denganku. Itu cukup untuk membuat orang bertanya-tanya siapa kau," jelas Leo, suaranya tenang tapi berbahaya. "Dan dalam dunia ini, siapa pun yang memiliki koneksi denganku bisa menjadi target." Aurora menelan ludah. Ini semakin buruk dari yang ia duga. "Aku bahkan tidak mengenalmu," desisnya. "Tapi sekarang kau mengenalku," balas Leo. "Dan itu cukup." Aurora menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Ini adalah alasan mengapa ia selalu menghindari masalah. Tetapi entah bagaimana, kali ini ia justru terseret ke dalamnya. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya akhirnya. Leo menatapnya lama sebelum menjawab, "Aku ingin memastikan kau tetap hidup." Aurora mengerutkan kening. "Aku tidak butuh perlindunganmu." "Tidak peduli kau butuh atau tidak," balas Leo, "faktanya, kau sudah ada dalam bahaya." Aurora menghela napas panjang. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia bisa mengurus dirinya sendiri. Tetapi ia tahu bahwa Leo tidak berbicara omong kosong. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya akhirnya. Leo tersenyum tipis. "Untuk saat ini, tetaplah dekat denganku." Aurora menatapnya tajam. "Dan jika aku tidak mau?" Ekspresi Leo mengeras, tetapi ia tetap tenang. "Maka aku tidak bisa menjamin keselamatanmu." Aurora merasa dunianya mulai berputar. Semalam, ia hanya ingin membantu seseorang yang terluka. Dan sekarang, ia justru terjebak dalam dunia yang sama sekali asing baginya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang membuatnya enggan mundur. Apakah itu karena rasa penasaran? Atau mungkin… sesuatu yang lain? Aurora tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi. ---Kilatan biru menyinari lorong bawah tanah yang sunyi. Di dalam Genesis Vault, Leo berdiri siaga, menodongkan pistol ke arah Arvan, pria misterius yang dulu dianggap telah mati bersama keruntuhan Arvan Industries. Di belakangnya, dua sosok humanoid dengan sayap logam dan mata tanpa jiwa—Custos, para penjaga ciptaan Genesis—menatap mereka tanpa emosi.Matteo bergerak ke samping, mencoba mencari sudut tembak. “Makhluk-makhluk itu… mereka bukan manusia. Tapi bukan mesin juga.”Arvan melangkah maju, senyumnya licik. “Mereka adalah evolusi. Aku hanya mempercepat proses yang seharusnya alam lakukan berabad-abad lalu.”Leo tak menurunkan pistolnya. “Genesis diciptakan untuk melindungi, bukan menguasai.”“Siapa bilang?” tanya Arvan. “Genesis adalah alat. Alat untuk membersihkan dunia dari ketidaksempurnaan.”Tiba-tiba, Custos bergerak. Dalam sekejap, satu di antaranya meluncur ke arah Leo. Pria itu melompat ke samping, nyaris terkena sabetan
Eden masih sunyi, namun bukan ketenangan yang menyelimuti tempat itu—melainkan napas tertahan dari seluruh penghuni yang selamat. Sinar matahari pagi menembus celah ventilasi buatan di atas kubah Eden, menyoroti serpihan reruntuhan dan luka-luka yang belum sempat diobati. Di ruang observasi pusat, Leo menatap layar besar yang menampilkan struktur bawah tanah Eden. Di sampingnya, Aurora duduk dengan tangan terlipat, tubuhnya lelah namun pikirannya tetap waspada. “Elena bilang Yuna meninggalkan jejak data terakhir sebelum sistemnya padam,” ucap Aurora lirih. “Dan bukan sembarang data—dia membuka jalur ke lokasi rahasia yang disebut sebagai… Genesis Vault.” “Genesis,” Leo mengulang kata itu. “Satu kata yang bisa berarti harapan… atau akhir.” Matteo masuk sambil membawa sebuah tablet. “Kami sudah memetakan koordinat Genesis Vault. Letaknya di bawah tanah, di luar zona pemukiman Eden, persis di perbatasan antara reruntuhan Arvan dan jalur cadangan energi utama.” “Tempat itu tidak
Ledakan kecil mengguncang lorong utama Eden. Debu beterbangan dari langit-langit saat sistem pencahayaan berkedip panik. Leo berlari cepat di depan, Aurora menyusul di belakangnya, diikuti oleh Matteo dan Elena yang baru tiba dari sektor medis. “Apa itu ledakan dari Sektor Energi?” tanya Aurora sambil berlari. Matteo menjawab, “Bukan. Itu dari dalam—dari inti pusat komunikasi. Seseorang berusaha membakar jalur data agar tak bisa dilacak.” Leo menggeram. “Berarti kita punya pengkhianat. Seseorang di dalam Eden yang bekerja untuk Raul.” Mereka tiba di persimpangan utama dan berbelok ke sayap timur. Di sana, pintu menuju pusat komunikasi telah hancur sebagian. Api menyala di salah satu sisi ruangan, dan sistem penyiram otomatis bekerja dengan sia-sia karena aliran air telah diputus dari pusat. Rania muncul dari balik reruntuhan, wajahnya kotor dan napas tersengal. “Kami mencoba menghentikannya… tapi dia kabur lewat ventilasi.” “Siapa?” tanya Leo cepat. Rania menunduk, seolah tida
Eden masih sunyi, namun bukan ketenangan yang menyelimuti tempat itu—melainkan napas tertahan dari seluruh penghuni yang selamat. Sinar matahari pagi menembus celah ventilasi buatan di atas kubah Eden, menyoroti serpihan reruntuhan dan luka-luka yang belum sempat diobati. Di ruang observasi pusat, Leo menatap layar besar yang menampilkan struktur bawah tanah Eden. Di sampingnya, Aurora duduk dengan tangan terlipat, tubuhnya lelah namun pikirannya tetap waspada. “Elena bilang Yuna meninggalkan jejak data terakhir sebelum sistemnya padam,” ucap Aurora lirih. “Dan bukan sembarang data—dia membuka jalur ke lokasi rahasia yang disebut sebagai… Genesis Vault.” “Genesis,” Leo mengulang kata itu. “Satu kata yang bisa berarti harapan… atau akhir.” Matteo masuk sambil membawa sebuah tablet. “Kami sudah memetakan koordinat Genesis Vault. Letaknya di bawah tanah, di luar zona pemukiman Eden, persis di perbatasan antara reruntuhan Arvan dan jalur cadangan energi utama.” “Tempat itu tidak
Eden kembali tenang. Setidaknya, di permukaan.Di ruang utama komando, layar-layar kembali menampilkan aktivitas normal. Sistem keamanan telah dipulihkan, dan ancaman dari Sigma-0 dinyatakan berhasil dinonaktifkan. Namun, bukan berarti semua orang bisa bernapas lega.Leo menatap ke luar dari balkon atas menara pusat Eden, memandangi cahaya lampu-lampu yang mulai menyala di sektor-sektor yang sempat padam. Udara malam ini terasa dingin, menandakan bahwa perang dingin selanjutnya telah dimulai—perang yang tidak terlihat, tapi tak kalah mematikan.“Apa kau masih berpikir soal Sigma-0?” suara Aurora terdengar pelan dari belakangnya.Leo menoleh. “Bukan soal itu saja… Tapi siapa yang membangkitkannya. Sistem sekompleks itu tidak akan aktif dengan sendirinya.”Aurora bergabung di sisinya. Angin malam menyibak rambutnya, dan mata keemasan miliknya memantulkan kilau lampu Eden yang redup.“Aku juga merasa... seperti ini belum selesai,” katanya perlahan.“Masih ada sisa-sisa Veylar di Eden,” g
Langkah Leo bergema di lorong bawah tanah Eden, tempat server utama berada. Matteo menyusul di belakangnya dengan wajah serius, sementara Rania menunggu mereka di depan pintu baja dengan ekspresi gelisah.“Aku mendapat sinyal aneh dari terminal lama di sektor Delta,” ujar Rania tanpa basa-basi. “Sistem yang seharusnya mati sejak dua tahun lalu… aktif lagi.”Leo menyipitkan mata. “Kau yakin bukan gangguan biasa?”“Sudah kucek dua kali. Ini bukan hanya sistem aktif. Ada proses berpikir di dalamnya. Kode berpola, seperti AI yang beradaptasi ulang,” jawab Rania.Matteo mengumpat pelan. “Apa Infinitas meninggalkan sesuatu di dalam sistem kita?”Rania membuka pintu baja dengan kartu akses khusus. “Kita akan lihat.”Di dalam ruangan yang remang dan dingin, layar-layar monitor tua menyala kembali satu per satu. Di tengahnya, sebuah server utama yang dulu digunakan untuk sistem pertahanan Eden tampak berdenyut dengan cahaya merah samar.Leo mendekat, menatap tulisan yang muncul di layar utama: