Langit Jakarta sore itu dibalut mendung lembut, seperti menyambut dua jiwa yang kembali dari perjalanan panjang—bukan sekadar perjalanan jarak, tapi juga waktu, luka, dan pencarian.
Mobil hitam berhenti perlahan di depan rumah bergaya minimalis di pojok kompleks. Aurelie turun lebih dulu, menarik kopernya sambil menghela napas pelan.Shaquelle menyusul dari sisi lain, matanya tak lepas dari punggung Aurelie. Tak ada lagi sikap main-main seperti biasanya. Yang tersisa hanya tatapan pria yang kini tahu kalau dia tak lagi diberi kesempatan main-main dua kali.Pintu rumah terbuka lebih dulu dari dalam.Mami Nadira berdiri di sana. Wajahnya terkejut, tapi tidak sepenuhnya kaget. Seolah seorang ibu selalu bisa mencium—entah dari jarak, dari udara, atau dari getaran suara anak perempuannya—bahwa sesuatu telah terjadi.“Aurel?” sapanya, lembut. “Kamu pulang hari ini?”Aurelie mengangguk. “Lebih cepat. Bareng Shaquelle.”Tatapan Mami Nadira langsung beralihLangit Jakarta sore itu dibalut mendung lembut, seperti menyambut dua jiwa yang kembali dari perjalanan panjang—bukan sekadar perjalanan jarak, tapi juga waktu, luka, dan pencarian.Mobil hitam berhenti perlahan di depan rumah bergaya minimalis di pojok kompleks. Aurelie turun lebih dulu, menarik kopernya sambil menghela napas pelan.Shaquelle menyusul dari sisi lain, matanya tak lepas dari punggung Aurelie. Tak ada lagi sikap main-main seperti biasanya. Yang tersisa hanya tatapan pria yang kini tahu kalau dia tak lagi diberi kesempatan main-main dua kali.Pintu rumah terbuka lebih dulu dari dalam.Mami Nadira berdiri di sana. Wajahnya terkejut, tapi tidak sepenuhnya kaget. Seolah seorang ibu selalu bisa mencium—entah dari jarak, dari udara, atau dari getaran suara anak perempuannya—bahwa sesuatu telah terjadi.“Aurel?” sapanya, lembut. “Kamu pulang hari ini?”Aurelie mengangguk. “Lebih cepat. Bareng Shaquelle.”Tatapan Mami Nadira langsung beralih
Pagi itu Hochstadt diliputi kabut tipis. Udara sejuk menusuk tulang, tapi dapur rumah keluarga Heinrich hangat oleh aroma roti panggang, mentega, dan telur rebus. Jam dinding berdetak pelan, seolah ingin memperlambat waktu.Aurelie duduk di meja, mengenakan jaket wol pemberian Oma. Shaquelle duduk di seberangnya, masih dengan rambut berantakan dan mata setengah terbuka—efek dari tidur di sofa yang penuh sejarah dan ancaman.“Ini… teh chamomile buat di pesawat,” kata Oma sambil meletakkan botol termos mungil ke dalam tas tangan Aurelie.Opa duduk di pojok, pura-pura membaca koran, padahal dari tadi dia mencuri pandang ke arah cucu kesayangannya. Di sebelahnya, Aunty Louisa diam-diam menyiapkan satu kotak kecil berisi brownies kering, selai buatan sendiri dan dua bungkus teh favorit Aurelie.Shaquelle menatap meja. “Ini sarapan paling intimidatif sepanjang hidup aku.”“Karena kamu sadar yang kamu makan bukan cuma roti, tapi juga pengawasan generasi,” sahut Lou
Meja makan dipenuhi aroma panggang, mentega dan tawa yang masih sedikit tersisa dari drama hari itu. Di sisi kanan, Kai duduk berdampingan dengan Annalise, yang kini jauh lebih rileks setelah pesta yang melelahkan dan kericuhan altar.Di sisi kiri, Aurelie duduk tepat di seberang Shaquelle, yang masih terlihat seperti peserta MasterChef yang disuruh masak di bawah tekanan kamera dan mantan pacar.Opa membuka botol anggur. Oma membagi strudel apel buatannya ke setiap piring dengan penuh kasih sayang tapi diam-diam waspada.“Jadi,” kata Louisa sambil mengisi gelas-gelas dengan teh herbal, “Apa yang paling kalian ingat dari pesta hari ini?”Shaquelle mengangkat tangan ragu. “Moment ketika semua mata tertuju ke aku … dan aku ngerasa kayak extras yang nyasar ke film utama.”Oma melirik tajam. “Extras yang hampir menggagalkan happy ending.”Semua tertawa—termasuk Shaquelle—meski leher bajunya tiba-tiba terasa seperti dililit dasi.Kai menunjuk Shaquelle
Detik berikutnya setelah Louisa menunjuk siapa pengantin sebenarnya, suasana berubah cepat dari khidmat ke absurd.Opa menurunkan kacamata baca yang digantung di dada dengan tali karet, menatap Shaquelle seperti sedang menilai seekor burung beo bisa bicara bahasa Jerman.Kai berdiri terpaku di altar, memegang tangan Anneliese yang masih mematung dengan senyum sopan nan bingung, seperti baru masuk scene sinetron tanpa skrip.Shaquelle masih membeku. Bibirnya bergerak tanpa suara.Lalu Aurelie—yang baru sadar kalau dia jadi sorotan—bergegas maju dan menyambar lengan jaket Shaquelle.“Aku… aku minta maaf!” kata Aurelie sambil menunduk ke arah semua orang, terutama pendeta, Anneliese, dan para tamu yang sebagian mulai merekam dari HP.“Maaf banget! Dia… dia ini temen lama. Lagi jetlag parah. Salah pesta!” kata Aurelie terburu-buru sambil menyeret Shaquelle mundur dari altar.“Eh—eh, tunggu, aku bisa jelasin!” protes Shaquelle, tapi tak punya pijakan ka
Lalu dia melihatnya, seorang gadis.Langkah-langkah pelan. Gaun putih sederhana, tidak terlalu mengembang. Tapi jatuhnya sempurna. Seperti salju pertama yang jatuh tanpa suara.Wajahnya setengah tertutup veil tipis. Tapi Kai tak perlu melihat utuh untuk tahu dia cantik. Tapi bukan cantik biasa.Cantik yang membuat waktu diam sebentar demi memberinya jalan.Kai tak sadar dia tersenyum.Bukan senyum basa-basi.Tapi senyum kagum.Senyum bahagia yang penuh cinta.Ada sesuatu dalam cara dia melangkah—mantap tapi lembut, yakin tapi tidak menekan.Membuat Kai ingin maju satu langkah. Menjemput lebih cepat. Tapi dia tetap berdiri.Karena beberapa hal dalam hidup pantas ditunggu dengan sabar.Dan hari itu, ketika dunia berbisik terlalu keras tentang cerita lain, dan semua orang menebak kisah yang berbeda—Kai tahu persis satu hal:Perempuan itu yang sekarang mendekatinya dengan mata jernih dan pipi bersemu malu-malu adalah satu-satunya langkah yang membuat semua jalannya sampai di s
Jakarta, tengah malam.Shaquelle duduk di tepi tempat tidurnya. Laptop terbuka. Satu folder penuh tiket dan itinerary sudah tersusun rapi. Tidak ada pesan pamit. Tidak ada ijin ke kantor. Tidak ada “update status” di media sosial.Dia tidak peduli kalau besok Celica kelimpungan mencari dia.Yang ada kini hanya satu tiket pesawat.Jakarta – Frankfurt. 1 seat. Window. Tanpa kepulangan.Di layar, Nils menghela napas lewat panggilan video.“Ini gila.”“Ini cinta,” jawab Shaquelle datar, lalu menarik koper kecil dari kolong ranjang. Ia membuka lemari, meraih hoodie yang pernah dipakai saat pertama kali jalan-jalan bersama Aurelie. Hoodie yang masih berbau kenangan.“Kamu enggak takut kalau sampai sana ternyata semua sudah terlambat?” tanya Nils dengan nada setengah meledek.Shaquelle diam sejenak, lalu menjawab, “Kalau gue enggak ke sana … gue enggak akan pernah tahu apa yang seharusnya gue perjuangin.”Ia mematikan video call.Lalu berdiri, menarik napas dalam.“Tunggu aku, Au