Gedung Neuverse Technologies, lantai 17, pukul sembilan tiga puluh pagi terasa lebih riuh dari biasanya.Deadline proposal improvement tinggal beberapa jam. Di seluruh ruangan tim R&B, suasana tegang tapi produktif. Aurelie mengetik cepat, matanya fokus, secangkir kopi dingin menemaninya.Proposal hampir selesai. Tinggal menyusun bagian akhir dan klik: kirim. Tapi perasaan aneh sudah muncul sejak pagi.Nara, anak magang dari divisi Public Relation, terus meliriknya. Tatapan tidak ramah, seperti seseorang yang baru kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia miliki. Dan sayangnya, Shaquelle jadi sumbernya.Beberapa kali Nara menyindir saat istirahat bersama. Dari, “Wah, enak ya magang tapi bisa trip ke Bali bareng bos,” sampai, “Ada-ada aja yang dibikin penting cuma karena disenyumin CEO.”Aurelie diam. Tapi pagi itu… Nara melangkah lebih jauh.*Pukul 09.17.Aurelie ke toilet di ujung lorong lantai tujuh belas. Dia bawa ponsel, headset masih tergantung
*Pukul 09.47 — lantai 17, pantry belakang.Aurelie sedang menyendok oat dingin dari kulkas bersama segelas kopi instan sachet yang dia bikin sendiri. Dari balik kulkas, tiba-tiba tangan seseorang menyelinap, menarik dia pelan dari belakang.“Aaaa—”“Shhh… ini aku.” Suara bariton itu pelan, tapi tetap absurd.Aurelie mendelik ke arah Shaquelle yang berdiri nyaris nempel tembok, topi baseball nutupin sebagian wajahnya.“Pak! Ini pantry umum. Banyak orang lewat!”Shaquelle nyengir. “Aku ‘kan cuma… ngasih semangat buat pacarku yang makannya oat sedingin hatinya waktu awal-awal magang di sini.”Aurelie mencubit pergelangan tangannya, pelan. “Jangan manggil aku pacar di kantor.”“Kenapa?” bisiknya manja, “Kan kita pacaran. Masa aku harus panggil kamu ‘anak magang favorit’ terus?”Aurelie menarik napas panjang. “Oke. Tapi minimal jangan kayak ninja di balik kulkas!”Shaquelle menyodorkan kantong kertas kecil.“Apa ini?” tanya Aurelie curiga.“Coklat almond favorit kamu. Tanda cin
Senin pagi. Suasana lantai 17 kantor Neuverse Technologies kembali berjalan seperti biasa — atau setidaknya, berusaha terlihat begitu.Tapi ada satu hal yang nggak bisa dibohongi:Semua mata diam-diam melirik Aurelie.Dengan tote bag di tangan dan langkah hati-hati, Aurelie melangkah masuk ke ruang kerjanya. Rambutnya dikepang santai, kulitnya lebih tan dari biasanya dan entah kenapa… aura dia agak beda. Lebih glowing, kalau kata netizen.Dan tentu saja—tiga orang di meja tim R&B sudah menunggu.Mira menyipitkan mata. Reza bersandar di kursi, ekspresi siap mewawancarai. Rika? Tampangnya sudah kayak redaktur majalah gosip.Mira langsung mulai. “Rel… jadi ka beneran ikut ke Bali?”Aurelie berhenti, menaruh tasnya pelan. “Eh… iya.”“Kan minggu lalu aku tanya apa Ibu dan teman-teman diundang ke Bali? Karena saya baru dapat undangan resmi by email, dan semua menjawab iya.” Aurelie tidak mau disalahkan.Lalu ketiganya saling menatap. Baru mengerti kalau Aurelie bertanya serius buka
Aroma sup buntut mengepul pelan dari mangkuk besar di tengah meja. Di atas piring Aurelie, nasi masih utuh. Sendoknya cuma dia putar-putar tanpa arah.Maminya duduk di seberang, membaca WhatsApp dari grup arisan dengan tampang setengah serius.Tapi tatapan matanya sesekali mengintip Aurelie, seperti radar emak-emak yang bisa membedakan anak kenyang dan anak lagi menyimpan rahasia.“Rel,” katanya tiba-tiba.Aurelie refleks mendongak. “Iya, Mi?”“Kenapa makannya cuma dilihatin? Kamu sakit perut?”“Enggak, Mi. Cuma… cape aja. Banyak acara di summit-nya kemarin.”“Ya itu Mami lihat. Kamu tiba-tiba ada di Instagram-nya Neuverse. Pakai badge VIP. Duduk di sebelah Pak Shaquelle.” Maminya menaikkan alis. “Ngapain duduk deket-deket gitu?”Aurelie nyaris tersedak. Dia buru-buru minum air.“Itu… cuma kebetulan posisi kursinya, Mi.”Maminya mendengus pelan. “Kebetulan terus ya, hidup kamu.”Hening sesaat. Hanya suara sendok beradu dengan mangkuk.“Mi …” Aurelie membuka suara.“Hm?”
“Pesawat kita berangkat sore, Rel ….” Shaquelle keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang.Meski tadi malam mereka sudah bercinta dan saling melihat tubuh polos satu sama lain namun tetap saja Aurelie masih malu meski hanya melihat dada Shaquelle yang terbuka, jadi dia mengalihkan pandangan ke arah lain, ke mana saja asal jangan ke shaquelle atau ke cermin.“Kamu ‘kan udah bilang tadi,” kata Aurelie serak sembari menyisir rambut, dia sendiri sudah mandi dan mengenakan pakaian untuk pulang.Shaquelle mendekat, berdiri di belakang Aurelie yang duduk di depan meja rias.Akhirnya Aurelie menatap cermin di mana dia bisa melihat pantulan sosok Shaquelle yang tampan.“Setelah sampai di Jakarta nanti, kita belum tentu bisa berduaan kaya gini, Rel.” Mata Aurelie membulat, masih menatap Shaquelle penasaran.“Terus?” Dia bergumam, otaknya masih sibuk menerka apa yang sebenarnya ingin Shaquelle sampaikan.“Kita ulang adegan tadi malam yuk, Rel?” Shaquelle menyengir dan re
Cahaya matahari Bali menyelinap pelan lewat tirai linen tipis. Angin laut pagi mengusap wajah Aurelie yang masih terlelap, membuai dalam hangat selimut tebal dan aroma khas kamar villa mewah—wangi kayu manis, laut, dan… Shaquelle.Aurelie menggeliat pelan. Badannya pegal-pegal dan tidak bertenaga, rasanya seperti semua tulang terlepas dari tubuh, tapi entah kenapa hatinya terasa… ringan. Hangat. Aman.Lalu, kesadaran datang perlahan. Ia membuka mata, dan pandangan pertama yang ia tangkap adalah wajah Shaquelle—tidur dengan damai di sampingnya, sebelah tangan masih memeluk pinggangnya dengan posesif.Aurelie membeku sepersekian detik.Oh. My. God.“Dia baru saja… semalam mereka .…” Aurelie membatin, matanya terbelalak.“Iya. Iya. Enggak usah diulang di kepala, Rel.” Dalam hati Aurelie menggerutu.Pipi Aurelie merah padam. Tangannya secara refleks menarik selimut sampai ke dagu, matanya menatap langit-langit kamar seperti mencari jawaban dari semesta.“Rel .…” Suara serak nan se