Kampus mulai gelap. Hujan turun sejak siang, membuat semua trotoar basah dan memantulkan cahaya lampu taman yang pucat. Suasana seperti dunia yang dibungkam—hanya suara rintik, bisik daun, dan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru pulang.Aurelie keluar dari ruang diskusi di lantai tiga gedung teknik, membawa satu map besar dan tas ransel yang berat. Wajahnya letih. Matanya sembab. Dosen pembimbingnya hari itu terlalu perfeksionis. Revisi kecil menjadi besar. Masukan singkat menjadi kuliah dua jam.Langkahnya pelan menuruni tangga. Di gerbang utama, ia hampir terpeleset karena keramik licin, tapi berhasil menjaga keseimbangan. Saat ia bersiap menyeberang, sebuah mobil hitam berhenti pelan.Jendela dibuka sedikit. Wajah dengan masker dan hoodie menunduk, lalu melambai pelan.Aurelie menahan napas.“Shaquelle?”“Bukan. Ini sopir online dengan skill membaca isi kepala kamu.”Aurelie menghela napas, setengah kesal, setengah lega. Ia membuka pintu dan masuk tanpa protes.Di da
Matahari belum naik penuh saat Aurelie tiba di kampus. Langit Jakarta masih kelabu. Suara langkah sepatu berpadu dengan deru motor, klakson jauh, dan kepakan angin pelan yang membawa aroma aspal basah.Tangannya menggenggam map biru, isinya draft skripsi bab tiga yang baru dicetak semalam pukul dua pagi. Matanya sembab. Kepalanya berat. Tapi langkahnya mantap.Aurelie sudah melewati patah hati, skandal keluarga, bahkan nyaris dibunuh secara sosial di pesta pernikahan sepupunya. Tapi tak ada yang sekejam… revisi bab tiga dari dosen pembimbing bernama Ibu Ratna Karina, S.Sos, M.Si.Ruang dosen dipenuhi aroma kopi sachet dan suara printer tua. Di hadapan Aurelie, Bu Ratna duduk dengan kacamata bundar dan ekspresi yang seperti selalu menyimpan kekecewaan terhadap seluruh generasi muda.“Penjabaran kamu soal metode participatory design ini… masih dangkal,” katanya, sambil mengetuk-ngetuk halaman 14.Aurelie menahan napas. “Saya coba sederhanakan biar lebih aplikatif, Bu.”“Justru itu
Langit Jakarta sore itu dibalut mendung lembut, seperti menyambut dua jiwa yang kembali dari perjalanan panjang—bukan sekadar perjalanan jarak, tapi juga waktu, luka, dan pencarian.Mobil hitam berhenti perlahan di depan rumah bergaya minimalis di pojok kompleks. Aurelie turun lebih dulu, menarik kopernya sambil menghela napas pelan.Shaquelle menyusul dari sisi lain, matanya tak lepas dari punggung Aurelie. Tak ada lagi sikap main-main seperti biasanya. Yang tersisa hanya tatapan pria yang kini tahu kalau dia tak lagi diberi kesempatan main-main dua kali.Pintu rumah terbuka lebih dulu dari dalam.Mami Nadira berdiri di sana. Wajahnya terkejut, tapi tidak sepenuhnya kaget. Seolah seorang ibu selalu bisa mencium—entah dari jarak, dari udara, atau dari getaran suara anak perempuannya—bahwa sesuatu telah terjadi.“Aurel?” sapanya, lembut. “Kamu pulang hari ini?”Aurelie mengangguk. “Lebih cepat. Bareng Shaquelle.”Tatapan Mami Nadira langsung beralih
Pagi itu Hochstadt diliputi kabut tipis. Udara sejuk menusuk tulang, tapi dapur rumah keluarga Heinrich hangat oleh aroma roti panggang, mentega, dan telur rebus. Jam dinding berdetak pelan, seolah ingin memperlambat waktu.Aurelie duduk di meja, mengenakan jaket wol pemberian Oma. Shaquelle duduk di seberangnya, masih dengan rambut berantakan dan mata setengah terbuka—efek dari tidur di sofa yang penuh sejarah dan ancaman.“Ini… teh chamomile buat di pesawat,” kata Oma sambil meletakkan botol termos mungil ke dalam tas tangan Aurelie.Opa duduk di pojok, pura-pura membaca koran, padahal dari tadi dia mencuri pandang ke arah cucu kesayangannya. Di sebelahnya, Aunty Louisa diam-diam menyiapkan satu kotak kecil berisi brownies kering, selai buatan sendiri dan dua bungkus teh favorit Aurelie.Shaquelle menatap meja. “Ini sarapan paling intimidatif sepanjang hidup aku.”“Karena kamu sadar yang kamu makan bukan cuma roti, tapi juga pengawasan generasi,” sahut Lou
Meja makan dipenuhi aroma panggang, mentega dan tawa yang masih sedikit tersisa dari drama hari itu. Di sisi kanan, Kai duduk berdampingan dengan Annalise, yang kini jauh lebih rileks setelah pesta yang melelahkan dan kericuhan altar.Di sisi kiri, Aurelie duduk tepat di seberang Shaquelle, yang masih terlihat seperti peserta MasterChef yang disuruh masak di bawah tekanan kamera dan mantan pacar.Opa membuka botol anggur. Oma membagi strudel apel buatannya ke setiap piring dengan penuh kasih sayang tapi diam-diam waspada.“Jadi,” kata Louisa sambil mengisi gelas-gelas dengan teh herbal, “Apa yang paling kalian ingat dari pesta hari ini?”Shaquelle mengangkat tangan ragu. “Moment ketika semua mata tertuju ke aku … dan aku ngerasa kayak extras yang nyasar ke film utama.”Oma melirik tajam. “Extras yang hampir menggagalkan happy ending.”Semua tertawa—termasuk Shaquelle—meski leher bajunya tiba-tiba terasa seperti dililit dasi.Kai menunjuk Shaquelle
Detik berikutnya setelah Louisa menunjuk siapa pengantin sebenarnya, suasana berubah cepat dari khidmat ke absurd.Opa menurunkan kacamata baca yang digantung di dada dengan tali karet, menatap Shaquelle seperti sedang menilai seekor burung beo bisa bicara bahasa Jerman.Kai berdiri terpaku di altar, memegang tangan Anneliese yang masih mematung dengan senyum sopan nan bingung, seperti baru masuk scene sinetron tanpa skrip.Shaquelle masih membeku. Bibirnya bergerak tanpa suara.Lalu Aurelie—yang baru sadar kalau dia jadi sorotan—bergegas maju dan menyambar lengan jaket Shaquelle.“Aku… aku minta maaf!” kata Aurelie sambil menunduk ke arah semua orang, terutama pendeta, Anneliese, dan para tamu yang sebagian mulai merekam dari HP.“Maaf banget! Dia… dia ini temen lama. Lagi jetlag parah. Salah pesta!” kata Aurelie terburu-buru sambil menyeret Shaquelle mundur dari altar.“Eh—eh, tunggu, aku bisa jelasin!” protes Shaquelle, tapi tak punya pijakan ka