Aroma roti panggang dan kayu manis masih jadi alarm alamiah Aurelie tiap pagi, tapi ada satu hal yang membuat minggu ini aneh:Kai selalu ada. Setiap hari.Padahal Aunty Louisa sudah bilang, “Biasanya Kai cuma pulang weekend. Minggu ke Senin dia pasti balik ke apartemennya di kota.”Tapi sejak Aurel datang—entah mengapa Kai selalu muncul. Entah di dapur, halaman belakang, atau muncul tiba-tiba dari tangga sambil membawa kantong belanjaan penuh stroberi dan yogurt.“Eh, kamu belum ke apartemenmu?” tanya Aurel sambil menuang susu ke mangkuk sereal.Kai duduk di seberang, menyuap potongan apel dengan tenang. “Aku WFH minggu ini.”Aurel mengerutkan dahi. “Kamu arsitek.”Kai mengangkat bahu. “Arsitek juga manusia. Bisa gambar dari mana aja.”Oma yang sedang menyiram tanaman di dekat jendela, menoleh sambil tersenyum kecil. “Dulu dia enggak pernah betah tinggal di rumah lebih dari dua hari. Sekarang… lihat, sampai ikut bantu masak.”Kai nyengir. “Biar dapurnya enggak terlalu sepi.”
Langit masih cerah, tapi matahari mulai merunduk pelan ke barat. Udara musim semi yang sejuk membelai pipi Aurelie, membawa aroma rumput basah dan kayu yang mulai mengering.Jalanan di sekitar rumah opa-oma begitu tenang, dengan rumah-rumah tua bergaya kolonial berdiri rapi di kiri-kanan jalan berkerikil.Kai dan Aurelie berjalan beriringan di trotoar, masing-masing membawa roti lapis dari toko roti langganan Opa. Kai mengenakan hoodie abu-abu yang terlalu tipis untuk musim dingin, tapi cukup untuk gaya. Aurelie memakai coat krem dan scarf lembut yang melilit lehernya dua kali.“Ini jalan favorit aku,” kata Kai sambil menunjuk ke arah lorong kecil yang diapit dua rumah tua penuh tanaman rambat. “Waktu kecil aku suka lari di situ, pura-pura dikejar monster.”Aurelie melirik lorong itu. “Monster apa?”“Monster tagihan pajak. Aku anaknya realistis dari kecil,” jawab Kai enteng.Aurelie tertawa kecil, menggigit roti di tangannya.“Aku pikir kamu lebih kayak anak yang main bola, buk
Hari ketiga Aurelie di Jerman dimulai dengan aroma waffle dan cahaya matahari musim semi yang menembus tirai kamarnya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat sedikit, tapi rumah sudah ramai. Suara Oma bersenandung pelan di dapur, padu dengan denting peralatan makan dan ocehan kecil dari arah meja makan.“Kai, kamu bisa enggak … diem sebentar aja pas motong buah? Ini bukan lomba siapa paling cepat bikin salad!” seru Aunty Louisa dari balik meja dapur.“Tapi kalau terlalu lambat, kiwi-nya bisa kehilangan arah hidup,” sahut Kai santai, tanpa mengangkat kepala.“Anak ini memang ya … selalu dramatis bahkan sama buah,” komentar Oma, terkikik kecil sambil membalik waffle di atas pan.Aurel yang masih di dalam kamarnya, tersenyum sendiri. Ia menyisir rambut cepat, mengganti baju dengan sweater krem yang baru, lalu turun ke lantai bawah.Begitu kakinya menyentuh lantai ruang makan, Kai sudah berdiri di ambang dapur dengan piring di tangan.“Pagi. Sarapan. Oma bilang kamu kurus kare
Petra, kepala HRD, baru saja duduk sambil menyeruput kopi ketika pintu ruangannya dibuka dengan tenaga penuh.BRAK.“Petra. Kamu yang urus administrasi anak magang bernama Aurelie Alana Heindrich, kan?” suara Shaquelle menggema, sekeras harga dirinya yang baru saja jatuh ke level kaki lima.Petra nyaris menumpahkan kopinya.“I-iya, Pak. Tapi—”“Tempat tinggal dia di Jerman. Ada enggak di data magang?”“Pak, itu informasi personal, sudah dihapus dari sistem karena masa magangnya selesai….”“Restore!”“Pak…”“Restore data itu seperti kamu restore hatiku yang dibuang sama Aurel!”Petra menahan napas. Ia melirik ke arah tumpukan berkas. “Saya coba cek di folder backup dulu, tapi sistem perusahaan—”“Petra .…” Shaquelle mencondongkan tubuh. “Kalau kamu temuin alamat dia, kamu akan jadi pegawai of the month. Kamu bisa pilih; voucher MAP atau nambah cuti dua hari.”Petra mengerutkan alis. “Pak, saya single dan hidup saya kosong. V
Frankfurt, pukul 21.14Langit sudah gelap sepenuhnya. Angin malam musim semi membawa hawa dingin yang menggigit ujung jari, tapi di dalam rumah, kehangatan menyelimuti setiap sudut. Aroma kayu manis dari dapur belum benar-benar hilang.Aurelie berdiri di ambang pintu kamarnya. Kamar itu luas, dengan jendela besar menghadap taman belakang dan rak buku tua penuh novel berbahasa Jerman. Sprei hangat, seprai bersih dengan motif bunga-bunga pastel. Tapi tetap saja, ini ruang baru. Rumah baru. Hidup baru.Ia memeluk dirinya sendiri, ragu apakah bisa benar-benar tidur malam ini.Ketika ia turun ke bawah, suara samar dari dapur terdengar—suara teko mendidih. Aurelie melangkah pelan, dan mendapati Kai sedang menuangkan teh ke dua cangkir.Kai menoleh begitu melihat Aurel muncul. “Aku dengar langkah pelan-pelan di tangga. Kukira hantu kamar atas bangkit malam ini.”Aurelie tertawa kecil. “Maaf. Enggak bisa tidur.”Kai menyodorkan secangkir teh chamomile. “Mi
Siang itu langit Frankfurt mendung, tapi tidak menurunkan hujan. Awan bergelantung seperti luka yang tak lekas reda, menyimpan sesuatu yang berat dan belum selesai.Aurelie menapaki lorong terminal kedatangan dengan koper besar di tangan kirinya dan tas ransel di bahu. Sweater putih gading membalut tubuhnya yang tampak lebih kurus dari sebulan lalu. Tak ada senyum, tak ada semangat. Tapi ada kelegaan yang samar. Seperti seorang yang berhasil keluar dari gedung terbakar meski membawa luka bakar di dada.Pandangan matanya menyapu ke sekeliling. Ia mencari wajah yang dikenalnya—Oma, Opa, atau siapa pun yang bisa memeluknya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.Tapi yang mendekat malah sosok pria jangkung dengan coat camel yang elegan, sepatu kulit bersih, dan rambut cokelat tua yang sedikit berantakan karena angin musim semi. Senyumnya langsung terlihat saat melihat Aurel.“Hallo… Aurelie, kan?”Aurel berhenti. Alisnya bertaut.“Iya… kamu siapa ya?”Pria itu mengulurkan t