Aku menatap Rayhan dengan malas dan bibir manyun. “Nggak usah deh, ntar malah ganggu suasana me time aku,” ucapku sambil menahan senyum sekuat mungkin.Rayhan mendekatkan tubuhnya, kini hanya berjarak beberapa langkah dariku, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku dan memaksaku menatap maniknya. “Ganggu gimana coba? Kan malah me time kamu lebih lengkap kalau ada aku.”Aku mengalihkan wajah ke arah lain, mencoba menghindari tatapannya. “Aku serius, Ray. Kamu tuh suka banget ngelucu padahal aku lagi excited sama tempat ini,” gumamku pelan.Rayhan terkekeh pelan, lalu tangannya meraih pinggangku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. “Ntar aku kasih alasan kenapa semua ini nggak cuma tentang tempat ... tapi juga tentang kita,” bisiknya dengan suara rendah.Aku merasakan debar jantungnya berdetak di dadaku, teratur tapi keras. Rasanya menenangkan sekaligus bikin aku gugup. “Ada aja alesannya,” gerahku dengan mengelengkan kepala.“Alasan aku cuma satu, Kay,” bisik Rayhan menurunkan suaran
Aku menatap Rayhan kesal. “Rayhan!” geramku menahan suara.Rayhan tertawa pelan, terdengar hangat, seolah ketakutanku adalah hal yang membahagiakan untuknya. Lalu, dia mencondongkan wajahnya ke arahku, berbisik di dekat telingaku. “Tenang aja, Sayang. Selama aku ada di samping kamu, nggak ada yang bisa ganggu kamu, siapapun itu,” ujarnya yang membuatku mengalihkan wajah sembari mengulum senyum sekuat mungkin.“Mari kita lihat lodge milik kalian,” ujar Pieter dengan sopan, seakan ia tengah memecahkan suasana canggung di antara kami.Aku mengangguk, lalu berjalan di belakangnya dan diikuti oleh Rayhan seta Albert yang berada di belakangku. Kami dibawa menyusuri jembatan kayu dengan tinggi kurang dari satu meter yang berakhir di sebuah tenda besar dengan atap kanvas berwarna putih krem. Dari luar saja, sudah terlihat berbeda—bukan seperti tenda biasa, melainkan seperti villa kecil yang menyatu dengan alam.“Di samping kanan dan kiri lodge kalian, di tempati oleh wisataan dari Amerika Ser
Seorang pria tinggi berkulit gelap dengan senyum ramah bersiap menyambut kami begitu helikopter mendarat dengan sempurna di sebuah helipad yang terletak di tengah savana. Mengenakan seragam safari khaki lengkap dengan topi lebarnya, membuatnya terlihat seperti pemandu dari film dokumenter yang biasa kutonton bareng Fina ... ahm ngomongin Fina, sekarang lagi apa, ya? Aku menuruni tangga helikopter dengan bantuan Rayhan yang memegang jemariku erat, dan disambut dengan udara panas bercampur semilir angin savana yang langsung menyergap kulitku, sementara mataku beralih menatap padang savana yang luas di sepanjang mata memandang.“Welcome, Mr. Rayhan and Ms. Kayla,” sapanya dengan aksen khas Zimbabwe —mirip logat Inggris, tapi terdengar lebih berat, dan pengucapannya sedikit lambat. Cukup unik karena ada pengaruh logat Ndebele yang tak sepenuhnya hilang, tetapi tiap kata yang diucapkan memberi kesan hangat sekaligus terdengar eksotis. “Saya Albert, ranger yang akan menjaga Anda selama ber
“Excusse me,” ujar guide yang duduk tepat di samping pilot, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. “Would you like to take a picture?” tanyanya dengan menggerakkan tanganya seolah tengah memotret.Aku refleks menoleh ke arah Rayhan, meminta pendapat kepadanya, akna tetapi, dia hanya mengangkat bahunya acuh, lalu melirikku dengan mengangakt sebelah alisnya. “Kenapa nggak? Biar ada kenang-kenangannya.”Aku mengangguk paham, lalu kembali menatap guide yang kini sudah memegang sebuah kamera di tangannya. “Of course,” jawabku tersenyum.Guide yang bernama Pieter itu tersenyum, lalu mengisyaratkan agar kami duduk lebih dekat. Rayhan bergeser dengan cepat, meraih pinggangku dan menarik tubuhku ke sisinya. Aku sedikit terkejut dengan tindakannya, mataku melotot ke arahnya dengan bibir tertahan aga tak mengeluarkan geraman, tapi headsetku menangkap tawa kecil darinya, seolah ia tak merasa bersalah.“Gaya romantis, please,” ujar Pieter memberi instruksi sambil mengangkat kameranya.Rayhan
“Suka, kan?” tanya Rayhan terdengar melalui headset.Aku hanya bisa mengangguk pelan. “Suka banget ... aku baru pertama kali naik helikopter,” jawabku tak bisa menahan haru.“Aku udah bilang sama kamu, kamu bakal lupa sama panasnya Afrika kalau kamu udah lihat semua ini,” jawabnya terdengar puas. “Dan omongan aku bener kejadian.”Benar saja. Begitu helikopter terbang lebih tinggi dan meninggalkan area bandara, lanskap Negara Zimbabwe yang terbentang luas di depan mata membuatku terpaku. Hamparan savana yang membentang di sejauh mata memandang membuatku seakan berada di dunia lain, di tengahnya terdapat sungai besar yang tampak berliku seolah membelah padang savana, pemandangan yang begitu menakjubkan ditambah dengan pesona langit biru bercampur dengan cahaya oranye sore yang mulai turun, membuat bayangan pepohonan akasia yang memanjang di atas tanah.Aku semakin terdiam, mataku tak sanggup berpaling dari jendela, bahkan untuk sekedar menatap Rayhan-pun aku tak mampu. “Cantik banget, Ra
Pesawat kembali mendarat di Harare International Airport sekitar jam sebelas siang waktu lokal. Setelah melewati pengecekan di bagian imigrasi, menunggu bagasi, dan segala prosedur standar bagi turis asing, tak terasa waktu sudah bergerak hingga pukul satu siang. Begitu keluar dari pintu kedatangan setelah menyantap makan siang yang cukup singkat, gelombang udara panas langsung menyergap di permukaan kulitku. Rasanya berbeda sekali dengan sejuknya pendingin udara di dalam pesawat tadi. Aku spontan mengibaskan tangan di depan wajahku, berusaha mengusir hawa terik yang sangat menyengat.“Gila ... panas banget, Ray,” gumamku sambil menahan silau matahari yang langsung menembus kacamata hitam yang kukenakan.Rayhan menoleh sekilas padaku dengan senyum tipis di bibirnya. “Selamat datang di Afrika, Kay. Udara kayak gini masih tergolong normal, kamu harus cepet beradatasi atau kamu nggak bisa nikmatin semua ini.”Aku mendengus kesal, lalu tanganku kembali menarik koper dengan agak malas dan