Aku menelan ludah dengan susah payah, sementara jantungku udah berdetak nggak karuan. “A- ehm enggak, kok,” jawabku dengan asal.“Enggak apa, hm?” tanyanya semakin memojokkanku dengan tatapan yang menembus tepat di jantung pertahananku. “Aku ke toilet bentar,” ujarku dengan buru-buru menggeser kursiku ke belakang tanpa menunggu jawabannya lagi.Langkahku cepat menyusuri satu per satu meja yang ada di ruangan ini untuk menghapai toilet yang berada dibelakang restoran, sesekali aku meremas tanganku yang masih sedikit gemetar dengan perasaan yang sulit kujelaskan. AC yang seharusnya membuat udara terasa dingin, kini sama sekali nggak bisa menurunkan panas yang ada di wajahku.Begitu tubuhku masuk ke dalam toilet, aku langsung menunduk ke wastafel dan menatap bayangan wajahku sendiri di cermin dan menghela napas panjang. “Hhh ... gila, Kayla ... kenapa sih lo jadi gugup gini?” gumamku pelan, dengan berusaha menormalkan napasku lagi.Aku memutar keran dengan perlahan, lalu membasuh tangan
Aku menoleh menatap Rayhan panik, “Eh ... kok nggak belok ke hotel, sih?” ujarku terkejut dan menunjuk perempatan yang seharunsya kita lewati untuk kembali ke hotel. “Kita harusnya lewat sana,” tambahku menoleh dan mendapati wajahnya yang masih datar. “Yah ... muter balik deh,” lanjutku lemas ketika tak melihat Rayhan merespon ocehanku.Rayhan spontan menoleh sekilas ke arahku, lalu menyunggingkan yang mengandung banyak arti. “Oh ... jadi kamu ngarepnya kita langsung ke hotel, ya?” godanya terdengar santai, tetapi tetap membuatku ingin menyunggingkan senyum.Aku memejamkan mata sebentar, menahan kesal yang semakin terasa. “Astaga! Bukan gitu maksudku!” bantahku buru-buru menggeleng kepala keras, lalu kembali menunduk sambil memainkan jemari, tubuhku tiba-tiba membeku dan kehilangan keberanian gitu aja. “Aku cuma ... ya ... kira-kira aja gitu kan temen-temen udah pada sampe hotel, ternyata kamu malah—”“—mau ngajak kamu makan dulu, sebentar,” potong Rayhan cepat dan membuatku sontak me
“FINA!” seruku hampir berteriak, selaras dengan rasa panas menjalar sampai ke kuping. “Fin ... sumpah gue malu banget sekarang ...,” bisikku yang bisa didengar oleh Rayhan.Fina menghela napas panjang. “Yaudah lah, enjoy aja kali. Anggep ini hadiah dari gue, sama Mas Dimas, ingat ponakna gue harus jadi!” ujar Fina dengan suara yang jelas-jelas menggoda.Aku memejamkan mata sejenak, sekaligus mengulum senyum agar tak semakin malu di depan Rayhan. “Astaga, Fin ... lo keterlaluan banget!” aku langsung menutup wajah dengan tanganku, sementara di sampingku Rayhan sudah tertawa pelan, jelas mendengar semua isi pembicaraan itu. “Dasar gila, Fin! Gue matiin nih teleponnya!”“Dah sana, good luck, Kay!” ujarnya sebelum aku benar-benar menekan tombol end call.“Aduh ... gawat ...,” gumamku tak sadar menggigit bibir jari-jariku, gugup.Begitu panggilan berakhir, aku langsung me
“Udah lah mending aku masuk mobil aja,” putusku mengibaskan tangan menjauhi Rayhan dan segera masuk ke dalam mobil. Padahal sebenarnya, aku nggak mau kalo Rayhan sampe tau aku salah tingkah.Mobil berlalu meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini, membelah jalanan sore yang mulai rame ole para pengguna jalan yang baru pulang dari aktivitasnya. Sementara di dalam mobil, keadaan sunyi menyelimuti kami ... baik aku dan Rayhan ngak ada yang memulai pembicaraan, karena aku lebih fokus untuk menjaga debaran jantungku biar nggak semakin keras.“Kay ...,” panggil Rayhan yang membuatku menoleh. “Aku mau lanjutin obrolan kita yang tadi sempet kepotong.”Aku menyipitkan mata ke arahnya, menatap wajahnya yang fokus dengan jalanan di depannya. “Obrolan ... yang tadi?” tanyaku menahan rasa gugup.Dia mengangguk pelan, tanpa menoleh ke arahku.“Iya. Yang sempet diganggu sama Dimas. Harusnya sekarang nggak ada yang m
Tubuhku langsung menegang begitu mendengar suaranya, aku buru-buru mendongakkan kepalaku. Dan di depanku, hanya berjarak beberapa langkah, berdiri sosok Rayhan dengan gagahnya, sementara tatapannya tertuju penuh ke arahku.Aku terbelalak tak percaya jika pria itu masih berada di tempat ini. “R-Rayhan?” ucapku terbata.Ia mengangkat sebelah alisnya, “Ngapain jongkok di situ?” tanyanya dengan santai, tapi nada suaranya seakan tengah menahan tawa melihat tingkahku. Kepalanya menole ke kanan dan kiri, seolah tengah mencari sesuatu. “Mereka ninggalin kamu?”Aku menelan ludah kasar, kemudian menghela napas berat. “Iya, kayaknya ... kayak sengaja banget,” ujarku mencoba menyembunyikan getar dalam suaraku, tapi percuma.Rayhan mendengus pelan, lalu menyelipkan kedua tangannya ke saku celana. “Mereka emang udah niat banget nge setu up dari awal. Kita berdua emang dijebak sampe di titik nggak bisa ngelawan.”Aku menatapnya penuh tanda tanya. “Maksudnya ...?”
“Nggak lucu, Dim.”Dimas terkekeh pelan, lalu terdengar tepukan tangan, sekali. “Ayo, Kay, sebentar aja. Nanti kamu bisa balik lagi ke sini kok kalo masih kangen, nggak bakal ilang juga Ayangmu itu.”Aku mengintip dari sela-sela jariku, lalu mulai membuk tangan dan menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan wajahku yang panas. Dalam hati, aku tahu Rayhan pasti masih nyimpen kalimat yang belum sempat keluar tadi. Dan aku ... degup jantungku belum mau tenang.“Saya nggak bakal acc semua cuti yang kamu ajukan,” ancam Rayhan terdengar menyeramkan.“ADUH ... jangan dong, Bos. Nanti Baby Pitha bisa ngamuk-ngamuk, bisa nggak dapet jatah saya,” jawab Dimas terdengar memelas.“Makanya yang sopan sama BOS,” jawab Rayhan menekan kata ‘bos.’“Siap. Ayo, Kay. Daripada riwayat hidupku lebih hancur.”“Oh ... i-iya, Mas,”