Home / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 1 - Awal bikin Deg-degan

Share

Magang di hati CEO tampan
Magang di hati CEO tampan
Author: Dacep

Bab 1 - Awal bikin Deg-degan

Author: Dacep
last update Last Updated: 2025-06-23 22:03:48

Jakarta tuh panas banget, ya tuhan..."

Alya ngos-ngosan sambil nyeret koper ungu kesayangannya yang sudah bunyi “kretek-kretek” setiap ia melangkah. Bajunya basah keringetan, wajahnya penuh harap tapi juga panik, dan kaki yang Udah berasa kayak disetrum tiap kali jalan.

Dia berdiri di depan gedung pencakar langit bertuliskan:

"PT. Arroihan Group."

Langkahnya ragu. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota besar, sendirian, dengan modal surat panggilan magang dan tekad yang nyaris patah di tengah jalan. Sempat ditipu calo ojek, salah turun halte, bahkan hampir nyasar ke kantor sebelah. Tapi dia sampai juga.

"Yaudah, Ly. Nekat aja dulu. Kalau ditolak, paling nangis di pojokan."

Gedung itu menjulang mewah. Lantainya mengkilap, penjaganya berseragam rapi, dan receptionist-nya cantik kayak model skincare. Semua orang tampak glamor dan mahal. Alya, dengan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan sepatu flat murahan, merasa seperti semut di antara barisan singa.

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" tanya si mbak resepsionis.

"Saya Alya, ada jadwal wawancara magang hari ini."

Setelah menyerahkan map kusut berisi CV dan transkrip, Alya disuruh duduk menunggu. Ia memilih sofa hitam di pojok. Di sekitarnya, para pelamar lain tampil penuh gaya. Makeup tebal, tas branded, dan aura percaya diri yang bikin minder.

Alya melirik pantulan dirinya di kaca lift Keningnya sedikit berminyak, rambut diikat seadanya, dan bibirnya pecah-pecah. Tapi dia menepuk pipi sendiri pelan, menenangkan diri.

"Kamu bisa, Ly. Kamu tuh cerdas. Gak kalah."

Ditengah rasa minder HP-nya bergetar bertuliskan notifikasi dari ibu, Alya langsung antusias menjawab pesan darinya.

Ibu: “Udah sampai, nak? Gimana tempatnya? Orangnya baik-baik, nggak?”

Alya: “Udah, Bu. Tempatnya baguuusss… banget, kayak di TV. Tapi aku grogi banget Bu, pesaingnya lulusan universitas ternama dari keluarga ternama.”

Ibu: “Tenang gak usah takut sama lulusan universitas bagus. Gak usah grogi, yang penting kamu pinter, jujur, dan percaya diri.”

Alya: “Iya Bu… makasih, Bu. Doain terus ya. Aku pengen banget bantu ibu.

Ibu: “Tanpa kamu suruh pun ibu selaluu doain kamu, jangan takut gagal. Kamu sudah sampai sejauh ini, apapun hasilnya ibu tetap bangga sama kamu.”

Dari perkataan ibu kini alya menjadi semakin percaya diri untuk melanjutkan mimpinya, ada sentuhan rasa hangat dari kasih sayang seorang ibu.

Alya: “kalau diterima, aku lanjut cari kos. Tapi uangnya belum cukup, nanti aku cari yang murah dulu.

Ibu: “Jangan dulu mikirin kos, kan ada kos milik teman sepupumu, yang penting kamu jaga kesehatan. Urusan kos nanti kalau ada uang baru cari kosan, tapi jangan tinggal di tempat sembarangan, ya.”

Alya: “Iya, Bu. Tenang aja.”

Tiba-tiba... terdengar suara

TING!

Suara lift terbuka. Semua orang seolah menahan napas. Seorang pria tinggi dengan jas hitam keluar, langkahnya tegas, wajahnya dingin. Wajah yang begitu eksotis.

Itu dia.

Arka Arroihan.

CEO termuda perusahaan itu. Wajahnya sering muncul di berita bisnis. Dingin, perfeksionis, dan katanya gak punya toleransi untuk kesalahan.

Alya buru-buru menunduk, pura-pura melihat sekelilingnya. Tapi jantungnya sudah marathon duluan.

"Astaga, itu bos gue?" Gumamnya.

Beberapa menit kemudian, pintu kaca terbuka.

"Alya, silakan masuk." Suara dari seberang tembok yang membuatnya kaget seketika.

Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang kerja si bos. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca dan interior elegan. Di balik meja, duduklah Arka. Pria itu membaca mapnya sekilas, lalu menatap Alya dengan pandangan setajam silet.

"Universitas Negeri Karawang. Jurusan Manajemen, IPK lumayan.” Katanya datar “Kenapa kamu melamar di sini?"

Alya menarik napas. "Karena saya ingin belajar langsung dari perusahaan besar, pak. Walau pun saya tidak berpengalaman tapi saya akan bekerja keras pak.

Arka mengangkat alis. "Tinggal di mana sekarang?"

"Saya... baru tiba kemarin sore, Pak. Sekarang masih numpang di kos temannya sepupu. Tapi cuma bisa dua malam."

Arka menghela napas. Tangan nya menutup map dengan pelan.

"Mulai besok kamu magang di divisi operasional. Lapor ke manajer jam delapan."

Alya membelalak. "S-siap, Pak! Terima kas…"

Dan sebelum ia sempat mengucap terima kasih, Arka membuka laci dan mengeluarkan sebuah kunci.

"Dan soal tempat tinggal..."

"...sementara kamu tinggal di rumah saya."

Alya nyaris jatuh dari kursi.

"Maaf, Pak?"

"Ada kamar kosong. Saya jarang pulang juga. Daripada kamu numpang terus atau tidur di pantry."

"Tapi, saya... gak mau ngerepotin."

"Ini bukan tawaran. Anggap aja bentuk tanggung jawab saya sebagai atasan. HRD akan kasih alamat dan akses. Jangan telat besok."

“Alya masih mematung. Ini serius CEO dingin yang katanya galak ngasih tempat tinggal?” Gumamnya di dalam hati.

“Kalau gak nyaman, terserah. Tapi saya lebih suka kamu fokus kerja daripada pusing mikirin tempat tinggal.”

Arka berdiri, menjabat tangan Alya sekilas, lalu kembali duduk.

Alya keluar ruangan sambil nahan napas. Ponsel di tangannya nyaris jatuh. Baru beberapa jam menginjak Jakarta, dan hidupnya udah kayak adegan drama Korea.

Begitu keluar dari ruangan, Alya langsung duduk lagi di tempat duduk tunggu,kali ini bukan karena menunggu wawancara, tapi karena lututnya lemas karena grogi.

Hp-nya kembali bergetar.

Ibu: “Udah wawancara belum?”

Alya tersenyum sambil mengetik cepat.

Alya: “Bu aku keterima. Langsung disuruh mulai besok.”

Ibu: “Alhamdulillah… akhirnya kamu dapat mewujudkan mimpimu, Nak.”

Alya: “Tapi Bu… bosku… nyuruh aku tinggal di rumahnya.

Ibu: “ hah? Maksudnya?”

Alya: “Rumahnya besar, ada kamar kosong. Katanya biar aku fokus kerja dan gak cape nyari kosan.”

Ibu: “Kalau itu keputusanmu, Ibu hanya bisa percaya. Tapi hati-hati ya, jaga diri. Jangan mudah percaya, apalagi dia laki-laki.”

Alya: “Iya, Bu. Alya janji. Alya jaga diri.”

Ibu: “Ya ibu percaya padamu, tapi ingat apapun yang terjadi pintu rumah akan selalu terbuka untukmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 98 - Hari-Hari Penantian

    ​Beberapa hari berlalu dalam keheningan yang seragam, terasa seperti sebuah jeda yang panjang dan menyakitkan dalam sebuah lagu. Alya dan Bara menciptakan sebuah ritme baru di rumah Bu Aminah. Pagi diisi dengan membuat sarapan bersama, di mana Alya akan dengan sabar mengajari Bara cara mengoleskan selai di atas roti. Siang mereka habiskan dengan bermain di halaman belakang, membangun istana dari bantal tua atau menggambar, menciptakan gelembung kebahagiaan kecil yang rapuh.​Namun, di balik semua itu, ada penantian yang konstan. Setiap kali ponselnya bergetar, jantung Alya akan berhenti berdetak sesaat. Tapi itu hanya notifikasi biasa. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Keheningan dari Jakarta terasa lebih memekakkan daripada pertengkaran mana pun. Alya marah pada dirinya sendiri karena kebiasaan bodohnya yang masih saja berharap. “Hapus saja nomornya,” kata satu sisi hatinya. “jangan bodoh, bagaimana jika ada keadaan darurat mengenai Bara?” balas sisi lainnya.

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 97 - Langkah Pertama Di Atas Bumi Yang Retak

    ​Kembali ke rumah Bu Aminah dengan dua tas besar terasa seperti sebuah kemunduran yang nyata. Saat Alya melangkah masuk, ia disambut oleh tatapan khawatir ibunya dan pelukan Bara yang tidak mengerti apa-apa.​“Bunda sudah pulang!” seru putranya riang.​Alya memaksakan senyum dan memeluk Bara erat. “Iya, Sayang. Untuk sementara, kita tinggal di sini dulu sama Nenek, ya.”​Meskipun disambut dengan kehangatan, rumah ibunya kini terasa sedikit sesak. Bukan karena ukurannya, tapi karena status Alya di dalamnya. Ia bukan lagi seorang istri mandiri yang sedang berkunjung, melainkan seorang anak yang kembali pulang karena badai dalam rumah tangganya. Perasaan itu menggerogotinya, meskipun Bu Aminah tidak pernah sekali pun membuatnya merasa demikian.​Keesokan harinya, Alya memulai misinya. Setelah memastikan Bara asyik bermain, Alya menghampiri ibunya yang sedang duduk di teras.​“Bu, aku mau mulai cari kontrakan,” katanya, suaranya mantap, menco

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 96 - Surat di Atas Bantal

    ​Kertas putih yang terlipat rapi itu terasa berat di tangan Alya, jauh lebih berat dari bobotnya yang sesungguhnya. Kertas itu seolah menyerap semua keheningan dan ketegangan di dalam kamar tidur mereka yang kini terasa asing. Nama ‘Alya-ku tersayang’ yang tertulis dengan gaya tulisan tangan Arka yang tegas namun elegan, membuatnya bergidik.​Sebagian dirinya, bagian yang lelah dan terluka, berteriak untuk meremas kertas itu menjadi bola, melemparkannya ke tempat sampah, dan pergi dari sana tanpa menoleh ke belakang. Itu adalah jalan yang paling aman. Kata-kata Arka adalah senjata. Dulu, ia menggunakan kata-kata manis untuk menjebaknya, kata-kata kejam untuk menghancurkannya. Apa bedanya dengan sekarang?​“Jangan dibaca,” bisik suara ketakutan di dalam dirinya. “Itu hanya akan berisi kebohongan indah. Alasan-alasan yang dirangkai untuk membuatnya terlihat seperti pahlawan. Itu hanya akan membuatmu goyah.”​Namun, sebagian dirinya yang lain, bagian yang masih mengingat Arka yang membua

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 95 - Benteng Baru

    ​Fajar di Desa kecil datang dengan cara yang sama lembutnya seperti biasa. Cahaya matahari keemasan perlahan menerangi puncak-puncak gunung, dan kicauan burung menjadi alarm alami. Namun bagi Alya, pagi itu terasa berbeda. Ia terbangun di kamar masa kecilnya di rumah Bu Aminah, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti kembali menjadi gadis rapuh seperti dulu, bukan seorang istri atau ibu.​Perasaan hampa yang dingin menyelimutinya. Semalam, setelah melihat berita dan menerima telepon dari Arka, ia tidak menangis lagi. Ia hanya duduk dalam diam, membiarkan rasa sakit itu meresap hingga ia mati rasa. Arka telah memilih. Dan kini, ia juga harus memilih. Memilih untuk hancur, atau memilih untuk bangkit.​Ia mendengar suara tawa Bara dari ruang tengah. Pilihan itu menjadi sangat jelas.​Saat ia keluar dari kamar, putranya itu sedang asyik menyusun balok-balok kayu bersama Bu Aminah. Melihat ibunya, Bara langsung berlari dan memeluk kakinya.​“Bunda, selamat pagi!”​

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 94 - Syarat Sang Sandra

    Sandra berjalan pelan mendekati meja Arka, tatapannya menyapu sekeliling ruangan megah itu, seolah menilai kembali teritori yang pernah hilang.“Ibu akui, kemampuanmu tidak tumpul,” kata Sandra memulai, suaranya terdengar datar, sebuah pujian yang tidak terasa seperti pujian. “Kamu berhasil menenangkan mereka untuk saat ini.”Arka tidak merespon. Ia hanya menatap ibunya dengan sorot mata lelah namun tajam. Ia sudah tidak punya energi untuk basa-basi. “Langsung saja ke intinya, Bu. Apa yang Ibu inginkan?”Sandra tersenyum tipis, senyum yang sama yang selalu ia gunakan dalam negosiasi bisnis. Senyum yang menandakan ia merasa memegang kendali.“Tentu saja,” katanya, duduk di kursi di seberang meja Arka tanpa diundang. “Ibu senang kamu kembali. Ini adalah tempatmu yang seharusnya. Sekarang, karena Ibu sudah mengizinkanmu kembali memegang kendali sementara, ada beberapa syarat yang harus kamu patuhi.”Arka menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangannya di dada. Sikapnya menunjukkan i

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 93 - Suara Dari Seberang

    ​Di ruang rapat PT.Arroihan Group, Arka adalah sang kaisar. Dingin, penuh kendali, dan tak terbantahkan. Dalam waktu kurang dari dua jam, ia berhasil membungkam para penentang, memaparkan rencana penyelamatan yang brilian, dan memaksa dewan direksi untuk memberinya kuasa penuh. Konferensi pers investor yang mengancam itu pun dibatalkan. Badai pertama berhasil ia redam.​Namun, saat ia kembali ke keheningan kantor CEO-nya yang megah, kemenangan itu terasa hampa. Adrenalin bisnis yang memompa darahnya selama rapat kini surut, menyisakan kekosongan yang luar biasa dan rasa rindu yang menyakitkan pada keluarganya.Di atas meja mahoni yang berkilauan, ia meletakkan satu-satunya benda pribadi yang ia bawa, gambar keluarga buatan Bara. Tiga sosok bergandengan tangan di bawah matahari. Sebuah dunia yang begitu kontras dengan pemandangan hutan beton dari jendela kantornya.​Ia meraih ponselnya, mengabaikan puluhan notifikasi ucapan selamat. Matanya hanya tertuju pada satu hal. Tautan berita ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status