Jakarta tuh panas banget, ya tuhan..."
Alya ngos-ngosan sambil nyeret koper ungu kesayangannya yang sudah bunyi “kretek-kretek” setiap ia melangkah. Bajunya basah keringetan, wajahnya penuh harap tapi juga panik, dan kaki yang Udah berasa kayak disetrum tiap kali jalan. Dia berdiri di depan gedung pencakar langit bertuliskan: "PT. Arroihan Group." Langkahnya ragu. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota besar, sendirian, dengan modal surat panggilan magang dan tekad yang nyaris patah di tengah jalan. Sempat ditipu calo ojek, salah turun halte, bahkan hampir nyasar ke kantor sebelah. Tapi dia sampai juga. "Yaudah, Ly. Nekat aja dulu. Kalau ditolak, paling nangis di pojokan." Gedung itu menjulang mewah. Lantainya mengkilap, penjaganya berseragam rapi, dan receptionist-nya cantik kayak model skincare. Semua orang tampak glamor dan mahal. Alya, dengan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan sepatu flat murahan, merasa seperti semut di antara barisan singa. "Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" tanya si mbak resepsionis. "Saya Alya, ada jadwal wawancara magang hari ini." Setelah menyerahkan map kusut berisi CV dan transkrip, Alya disuruh duduk menunggu. Ia memilih sofa hitam di pojok. Di sekitarnya, para pelamar lain tampil penuh gaya. Makeup tebal, tas branded, dan aura percaya diri yang bikin minder. Alya melirik pantulan dirinya di kaca lift Keningnya sedikit berminyak, rambut diikat seadanya, dan bibirnya pecah-pecah. Tapi dia menepuk pipi sendiri pelan, menenangkan diri. "Kamu bisa, Ly. Kamu tuh cerdas. Gak kalah." Ditengah rasa minder HP-nya bergetar bertuliskan notifikasi dari ibu, Alya langsung antusias menjawab pesan darinya. Ibu: “Udah sampai, nak? Gimana tempatnya? Orangnya baik-baik, nggak?” Alya: “Udah, Bu. Tempatnya baguuusss… banget, kayak di TV. Tapi aku grogi banget Bu, pesaingnya lulusan universitas ternama dari keluarga ternama.” Ibu: “Tenang gak usah takut sama lulusan universitas bagus. Gak usah grogi, yang penting kamu pinter, jujur, dan percaya diri.” Alya: “Iya Bu… makasih, Bu. Doain terus ya. Aku pengen banget bantu ibu. Ibu: “Tanpa kamu suruh pun ibu selaluu doain kamu, jangan takut gagal. Kamu sudah sampai sejauh ini, apapun hasilnya ibu tetap bangga sama kamu.” Dari perkataan ibu kini alya menjadi semakin percaya diri untuk melanjutkan mimpinya, ada sentuhan rasa hangat dari kasih sayang seorang ibu. Alya: “kalau diterima, aku lanjut cari kos. Tapi uangnya belum cukup, nanti aku cari yang murah dulu. Ibu: “Jangan dulu mikirin kos, kan ada kos milik teman sepupumu, yang penting kamu jaga kesehatan. Urusan kos nanti kalau ada uang baru cari kosan, tapi jangan tinggal di tempat sembarangan, ya.” Alya: “Iya, Bu. Tenang aja.” Tiba-tiba... terdengar suara TING! Suara lift terbuka. Semua orang seolah menahan napas. Seorang pria tinggi dengan jas hitam keluar, langkahnya tegas, wajahnya dingin. Wajah yang begitu eksotis. Itu dia. Arka Arroihan. CEO termuda perusahaan itu. Wajahnya sering muncul di berita bisnis. Dingin, perfeksionis, dan katanya gak punya toleransi untuk kesalahan. Alya buru-buru menunduk, pura-pura melihat sekelilingnya. Tapi jantungnya sudah marathon duluan. "Astaga, itu bos gue?" Gumamnya. Beberapa menit kemudian, pintu kaca terbuka. "Alya, silakan masuk." Suara dari seberang tembok yang membuatnya kaget seketika. Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang kerja si bos. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca dan interior elegan. Di balik meja, duduklah Arka. Pria itu membaca mapnya sekilas, lalu menatap Alya dengan pandangan setajam silet. "Universitas Negeri Karawang. Jurusan Manajemen, IPK lumayan.” Katanya datar “Kenapa kamu melamar di sini?" Alya menarik napas. "Karena saya ingin belajar langsung dari perusahaan besar, pak. Walau pun saya tidak berpengalaman tapi saya akan bekerja keras pak. Arka mengangkat alis. "Tinggal di mana sekarang?" "Saya... baru tiba kemarin sore, Pak. Sekarang masih numpang di kos temannya sepupu. Tapi cuma bisa dua malam." Arka menghela napas. Tangan nya menutup map dengan pelan. "Mulai besok kamu magang di divisi operasional. Lapor ke manajer jam delapan." Alya membelalak. "S-siap, Pak! Terima kas…" Dan sebelum ia sempat mengucap terima kasih, Arka membuka laci dan mengeluarkan sebuah kunci. "Dan soal tempat tinggal..." "...sementara kamu tinggal di rumah saya." Alya nyaris jatuh dari kursi. "Maaf, Pak?" "Ada kamar kosong. Saya jarang pulang juga. Daripada kamu numpang terus atau tidur di pantry." "Tapi, saya... gak mau ngerepotin." "Ini bukan tawaran. Anggap aja bentuk tanggung jawab saya sebagai atasan. HRD akan kasih alamat dan akses. Jangan telat besok." “Alya masih mematung. Ini serius CEO dingin yang katanya galak ngasih tempat tinggal?” Gumamnya di dalam hati. “Kalau gak nyaman, terserah. Tapi saya lebih suka kamu fokus kerja daripada pusing mikirin tempat tinggal.” Arka berdiri, menjabat tangan Alya sekilas, lalu kembali duduk. Alya keluar ruangan sambil nahan napas. Ponsel di tangannya nyaris jatuh. Baru beberapa jam menginjak Jakarta, dan hidupnya udah kayak adegan drama Korea. Begitu keluar dari ruangan, Alya langsung duduk lagi di tempat duduk tunggu,kali ini bukan karena menunggu wawancara, tapi karena lututnya lemas karena grogi. Hp-nya kembali bergetar. Ibu: “Udah wawancara belum?” Alya tersenyum sambil mengetik cepat. Alya: “Bu aku keterima. Langsung disuruh mulai besok.” Ibu: “Alhamdulillah… akhirnya kamu dapat mewujudkan mimpimu, Nak.” Alya: “Tapi Bu… bosku… nyuruh aku tinggal di rumahnya. Ibu: “ hah? Maksudnya?” Alya: “Rumahnya besar, ada kamar kosong. Katanya biar aku fokus kerja dan gak cape nyari kosan.” Ibu: “Kalau itu keputusanmu, Ibu hanya bisa percaya. Tapi hati-hati ya, jaga diri. Jangan mudah percaya, apalagi dia laki-laki.” Alya: “Iya, Bu. Alya janji. Alya jaga diri.” Ibu: “Ya ibu percaya padamu, tapi ingat apapun yang terjadi pintu rumah akan selalu terbuka untukmu.”Pagi hari setelah Arka dan Alya menyusun rencana baru mereka, keheningan di rumah terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang dingin, melainkan keheningan yang sarat akan antisipasi. Mereka sedang menunggu. Menunggu jawaban dari Seraphina atas permintaan pertemuan Arka yang begitu mendadak dan provokatif.Alya mondar-mandir di ruang keluarga, secangkir teh di tangannya sudah mendingin. “Mas, apa kamu yakin ini cara yang benar?” tanyanya pelan, menyuarakan keraguannya untuk yang ketiga kalinya pagi itu. “Memberikan senjata sekuat itu pada lawan kita? Kebenaran tentang identitasnya… bagaimana jika itu justru membuatnya semakin membenci kita?”Arka, yang sedang menatap kosong ke luar jendela, menoleh. Ia menghampiri Alya dan memegang kedua bahunya dengan lembut. “Sayang, dengarkan aku,” katanya. “Dia sudah kesakitan. Seluruh hidupnya, seperti yang kita tahu sekarang, dibentuk oleh kebencian dan manipulasi ibuku. Dia hidup dalam kebohongan. Memberinya kebenaran, sepahit apa pu
Pagi hari terasa seperti fajar pertama di dunia yang baru. Malam sebelumnya, setelah pengungkapan total dari Arka, Alya tidak tidur. Bukan karena cemas, melainkan karena ia menjaga suaminya yang akhirnya tertidur pulas setelah badai emosional terhebat dalam hidupnya. Ia menatap wajah Arka yang damai, dan merasakan gelombang cinta protektif yang begitu besar.Saat Arka terbangun, ia tidak lagi terlihat seperti pria yang hancur. Kehancuran itu telah dilewatinya semalam. Yang tersisa kini adalah kekosongan yang dingin, yang dengan cepat diisi oleh sebuah tujuan yang tajam dan tak tergoyahkan.Di meja makan, suasananya bukan lagi tegang. Melainkan serius. Mereka adalah dua orang yang akan berangkat kerja, namun pekerjaan mereka hari ini jauh lebih besar dari sekadar mengurus perusahaan atau rapat komite.“Aku tidak tidur semalam,” kata Arka sambil menatap Alya, matanya jernih dan fokus. “Aku membuat rencana.”Alya mendengarkan.“Permainan ibuku sudah selesai,”
Alya menunggu kepulangan Arka dengan jantung yang berdebar tak karuan. Rumah besar itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang menemani penantiannya. Tablet berisi email dari Sandra tergeletak di atas meja kopi, terasa seperti sebuah granat yang pin pengamannya sudah dicabut. Alya mondar-mandir, memutar ulang kata-kata Seraphina di kepalanya: “Paksa dia untuk memilih.” Ia benci menjadi instrumen dalam permainan ini, tapi ia tahu ini adalah momen yang tak terhindarkan.Ia mendengar suara mobil Arka di halaman, lalu suara pintu depan yang terbuka. Arka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja, namun langsung berubah cemas saat melihat ekspresi Alya yang begitu tegang.“Sayang, ada apa?” tanya Arka, langsung menghampirinya. “Teleponmu tadi… suaramu aneh sekali. Apa Seraphina melakukan sesuatu? Apa ini soal ibuku lagi?”Alya tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap suaminya dengan sorot mata yang penuh luka, lalu menunjuk ke arah ta
Alya menatap layar tablet itu, kata-kata Sandra seolah membakar matanya. Jauhi Arka. Dan hancurkan istrinya. Ancaman itu begitu telanjang, begitu brutal, hingga membuatnya sulit bernapas. Ia bisa merasakan darah surut dari wajahnya, ruangan kantor yang sejuk itu tiba-tiba terasa dingin. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Seraphina yang sedang memperhatikannya dengan ekspresi yang aneh, campuran antara simpati dan kalkulasi yang dingin.“Kenapa…” bisik Alya, suaranya nyaris tak terdengar. “Kenapa kau menunjukkan ini padaku?”Seraphina berjalan kembali ke kursinya yang mewah dan duduk dengan anggun, memberinya waktu sejenak untuk memproses syok itu. “Kenapa?” ulangnya, nadanya tenang. “Karena aku ingin kau tahu siapa musuhmu yang sesungguhnya, Alya. Aku ingin kau lihat dengan mata kepalamu sendiri, betapa kejam dan putus asanya wanita yang sedang kau lawan.”Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya intens. “Sandra Arroihan itu seperti kanker, Alya. Jika ka
Keesokan paginya, Alya melangkah masuk ke gerbang sekolah dengan energi yang sama sekali berbeda. Ia bukan lagi hanya seorang ibu yang mengantar anaknya. Ia adalah seorang jenderal yang sedang memasuki medan perangnya. Tujuannya hari ini jelas: merebut panggung sosial yang selama ini dikuasai oleh Sandra dan Liana.Ia sengaja datang sedikit lebih awal. Ia menemukan Ibu Wati, ibu netral yang tempo hari menawarinya dukungan, sedang berdiri sendirian di dekat lobi. Ini adalah kesempatannya.“Pagi, Bu Wati,” sapa Alya dengan senyumnya yang paling tulus dan hangat.“Eh, pagi, Bu Alya,” jawab Ibu Wati, tampak senang disapa.“Saya tidak mau mengganggu, Bu,” Alya memulai, nadanya rendah hati. “Saya hanya mau mengucapkan terima kasih sekali lagi atas dukungan Ibu di rapat komite tempo hari. Itu sangat berarti bagi saya.”Pujian tulus itu membuat Ibu Wati tersipu. “Sama-sama, Bu Alya. Sudah seharusnya kita mendukung ide yang baik.”“Sejujurnya,” lanjut Alya, “sa
Pagi hari Senin, setelah akhir pekan yang menghancurkan itu, Alya terbangun dengan perasaan yang aneh. Rasa takut dan kebingungan dari malam-malam sebelumnya telah hilang, digantikan oleh sebuah ketenangan yang dingin dan fokus yang tajam. Ia menatap Arka yang masih tertidur di sampingnya. Wajah suaminya itu tampak lebih tua, lebih lelah, bahkan dalam tidurnya. Beban dari pengkhianatan ibunya sendiri adalah sesuatu yang Alya tidak bisa bayangkan.Ia tahu, mulai hari ini, mereka bukan lagi sekadar pasangan yang sedang menyembuhkan luka. Mereka adalah sekutu dalam sebuah perang yang sangat personal.Saat Arka akhirnya bangun dan mereka duduk berdua di meja makan setelah mengantar Bara ke sekolah, suasana di antara mereka begitu berbeda. Tidak ada lagi canda atau kemesraan ringan. Yang ada hanyalah keseriusan dari dua orang yang akan merancang sebuah strategi besar.Arka membawa sebuah papan tulis kecil dari ruang kerja dan meletakkannya di dekat meja makan.“Kita