LOGINKoper ungu butut itu tampak seperti barang rongsokan yang salah alamat. Ia kini terdiam di sudut kamar ber-AC dengan lantai marmer licin dan sebuah tempat tidur ukuran queen size yang seprainya selembut awan. Alya berdiri kaku di tengah ruangan, masih belum berani menyentuh apa pun. Ini bukan kamar biasa. Ini adalah kamar tamu di istana pribadi Arka Arroihan, dan segalanya terasa terlalu mewah untuk gadis sepertinya.
Ia membuka lemari kaca raksasa itu dan tertawa getir. Kosong. Tapi cukup besar untuk menampung seluruh isi lemari di rumahnya, bahkan mungkin ditambah lemari tetangganya. Kamar mandi dalamnya lebih canggih dari ponselnya, dengan tombol-tombol untuk mengatur suhu air yang tidak ia mengerti. “Ya Allah… ini beneran?” gumamnya, suaranya pelan. Pintu kamar diketuk pelan. Seorang perempuan paruh baya muncul dengan senyum hangat. “Selamat sore, Neng. Saya Mbak Rini, asisten rumah tangga di sini. Kalau butuh apa-apa, panggil saja, ya.” Alya langsung berdiri dan menunduk sopan. “Saya Alya, Mbak. Maaf sudah merepotkan.” “Walah, nggak repot kok. Rumah ini juga sepi. Pak Arka lebih sering tidur di apartemen dekat kantor. Jadi, Mbak malah senang ada temannya,” ujar Mbak Rini ramah. Fakta itu sedikit menenangkan Alya. Setidaknya, ia tidak akan sering-sering bertemu dengan si bos es balok itu. Setelah Mbak Rini pamit, Alya merebahkan diri di kasur dan mengambil ponsel, mencari satu-satunya sumber kekuatan di dunia yang asing ini. Alya: Bu, aku udah di rumah bosnya. Kamarnya besar dan bersih banget. Ada Mbak Rini juga yang bantu. Baik orangnya. Ibu: Alhamdulillah, Nak. Ibu senang kamu aman. Tapi ingat, tetap jaga diri ya. Jangan mudah percaya. Fokus sama niatmu kerja. Alya: Iya, Bu. Aku nggak akan lupa. Doain aku ya... Membaca pesan dari ibunya membuat hatinya sedikit hangat. Ia berjanji dalam hati akan bekerja keras dan tidak akan pernah mempermalukan keluarganya. Malam harinya, rasa bosan mulai menyerang. Tidak ada yang bisa ia lakukan di dalam kamar. Dengan langkah ragu, ia memberanikan diri keluar. Rumah itu begitu besar dan sunyi, hanya diterangi lampu-lampu temaram yang elegan. Kakinya membawanya ke sebuah ruang keluarga di lantai bawah yang dilengkapi sofa kulit raksasa dan sebuah televisi sebesar dinding. Gue boleh nyalain TV, nggak ya? batinnya ragu. Tapi kesunyian ini benar-benar menyiksanya. Bodo amat lah, nyalain bentar doang. Lalu alya duduk di ujung sofa, menyalakan televisi dengan volume paling kecil, dan menemukan sebuah sinetron tentang gadis miskin yang jatuh cinta pada CEO kaya raya. Alya mendengus. "Cih, klise banget. Di dunia nyata mana ada yang kayak gini?" gumamnya, lupa bahwa ia sendiri sedang berada di situasi yang nyaris serupa. Asyik mengomentari akting si tokoh utama, Alya tidak menyadari suara pintu depan yang terbuka. Ia baru sadar ketika mendengar derap langkah sepatu formal di lantai marmer mendekat ke arahnya. Jantungnya langsung berhenti berdetak. Ia menoleh kaku dan mendapati Arka berdiri di ambang ruang keluarga. Pria itu sudah melepas jasnya, menyisakan kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka dan lengan yang digulung hingga siku. Rambutnya sedikit acak-acakan. Dibandingkan dengan penampilannya di kantor, ia terlihat… lebih manusiawi. Tapi tetap saja mengintimidasi. “Kamu belum tidur?” Suara Arka yang dalam dan dingin memecah keheningan. Alya langsung berdiri tegak seperti disetrum. “Eh… i-iya, Pak. Belum. Tadi… saya cuma nonton sebentar. Saya mau ke kamar sekarang kok, Pak!” jawabnya panik, kalimatnya berantakan. Arka tidak menjawab. Ia malah berjalan dan duduk di sisi lain sofa, menjaga jarak yang cukup jauh. “Santai saja. Pakai saja fasilitas di rumah ini.” Alya menelan ludah. Santai gimana caranya kalau di sebelah ada singa? Ia kembali duduk dengan kaku di ujung sofa, punggungnya lurus, tangannya terkepal di atas paha. Suasana menjadi sangat canggung. Suara dari televisi seolah mengejek mereka. Arka melirik ke arah meja kecil di antara mereka, tempat remot TV tergeletak—tepat di samping paha Alya. Tanpa berkata apa-apa, Arka sedikit mencondongkan tubuhnya, tangannya terulur untuk mengambil remot itu. Bagi Arka, itu hanya gerakan biasa. Tapi bagi Alya, yang seluruh sarafnya sedang tegang maksimal, gerakan tiba-tiba dari pria sebesar dan sedingin Arka ke arahnya terasa seperti sebuah ancaman. Otaknya tidak sempat berpikir. Refleksnya mengambil alih. “Eeep!” Alya memekik pelan sambil menggeser tubuhnya menjauh dengan cepat, matanya membelalak ngeri. Ia benar-benar mengira tangan itu akan menyentuhnya. Gerakan Arka terhenti di udara. Ia menatap Alya yang tampak seperti kelinci ketakutan. Alisnya sedikit terangkat, ada ekspresi bingung yang langka di wajah datarnya. Ia mengikuti arah pandang Alya yang panik, lalu melihat tangannya yang menggantung di udara, dan akhirnya ke remot TV di samping gadis itu. Sepersekian detik kemudian, Arka seolah mengerti. Tanpa mengubah ekspresi dinginnya, ia melanjutkan gerakannya, mengambil remot TV itu dengan tenang, lalu kembali bersandar di sofa. “Saya hanya mau ganti channel,” ujarnya datar. Nada suaranya tetap dingin, tapi Alya bisa merasakan ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang terasa seperti… geli? Atau mungkin hanya perasaannya saja. Wajah Alya langsung terasa panas. Merah padam. Malu. Rasanya ia ingin menggali lubang di lantai marmer itu dan mengubur dirinya hidup-hidup. Bodoh! Kenapa reaksinya bisa selebay itu? “S-saya… saya pamit ke kamar dulu, Pak. Selamat malam.” Tanpa menunggu jawaban, Alya langsung berdiri dan berjalan cepat—nyaris berlari—menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di baliknya, memegangi dadanya yang berdebar kencang. Sialan. Kenapa cuma gara-gara remot TV, jantungnya serasa mau pindah ke tenggorokan? Malam pertamanya di rumah ini ternyata jauh lebih menegangkan dari yang ia bayangkan.Dua Tahun Kemudian... Di Bawah Langit Garut... Udara pagi di Garut terasa jernih dan sejuk, dipenuhi aroma tanah basah sisa hujan semalam dan wangi bunga-bunga dari taman Bu Aminah. Di dalam rumahnya yang kini terasa lebih ramai, Alya sedang dengan sabar menguncir rambut seorang gadis kecil yang duduk di pangkuannya. “Nah, sudah cantik putri Bunda,” bisik Alya sambil mengecup pipi gembil itu. Larasati Alya Wijaya, atau Lara, putrinya yang baru berusia satu setengah tahun, tertawa riang. Ia memiliki mata ibunya yang berbinar dan senyum ayahnya yang menawan. Kehadirannya adalah penanda dari babak baru kehidupan mereka yang penuh cinta. “Bunda! Ayah! Ayo, nanti kita terlambat!” seru sebuah suara yang tidak lagi terdengar kekanak-kanakan. Bara, yang kini sudah berusia delapan tahun, berdiri di ambang pintu, tampak gagah dengan kemeja batiknya. Ia tumbuh menjadi anak laki-laki yang cerdas, percaya diri, dan sangat menyayangi adik pe
Sebulan kemudian, dedaunan di taman belakang rumah mereka di Jakarta mulai berguguran, menandai pergantian musim. Bagi Alya, itu juga terasa seperti penanda pergantian babak dalam hidupnya. Keputusan untuk kembali ke Garut telah dibuat, dan bulan terakhir mereka di Jakarta diisi dengan proses pelepasan yang manis dan teratur. Perpisahan pertama adalah dengan Nindya. Mereka duduk di kafe favorit mereka untuk terakhir kalinya. “Jadi lo beneran balik ke Garut?” tanya Nindya, ada nada sedih di balik gaya bicaranya yang jenaka. “Setelah semua perjuangan lo menaklukkan kota ini? Lo udah jadi Ratu di sini, Ly.” Alya tersenyum dan meraih tangan sahabatnya. “Aku sadar, Nin, aku ke sini bukan untuk menaklukkan Jakarta. Aku ke sini untuk menemukan kembali diriku dan menyembuhkan keluargaku. Dan sekarang, misinya sudah selesai. Rumah kami yang sebenarnya ada di sana.” “Janji ya, lo bakal sering ke sini atau gue yang bakal sering neror lo di sana,” ka
Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah mewah Jakarta itu terasa begitu berbeda. Gema dari pertarungan, tangisan, dan pengkhianatan telah memudar, digantikan oleh kehangatan dari rutinitas keluarga yang damai. Dinding-dinding yang tadinya terasa dingin dan asing, kini dipenuhi oleh tawa Bara, aroma masakan Alya, dan kehadiran Arka yang kini selalu terasa menenangkan. Pagi itu, Alya sedang berdiri di teras belakang dengan secangkir teh hangat, mengawasi Arka dan Bara yang sedang bermain sepak bola di taman. Arka, sang mantan Kaisar Es, kini tidak ragu untuk bergulingan di atas rumput dan membiarkan putranya menertawakannya. Ia telah menanggalkan jubah perangnya, dan kembali menjadi suami dan ayah seutuhnya. Melihat pemandangan itu, Alya merasakan gelombang kedamaian yang begitu sempurna hingga terasa sureal. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan video dari Nindya. “Ly!” sapa Nindya heboh. “Gue masih nggak percaya tiap kali baca be
Sebulan kemudian, Alya menatap ke luar jendela ruang kerjanya. Pemandangan Jakarta yang dulu terasa mengancam, kini tampak berbeda. Itu hanyalah sebuah kota, latar dari kehidupannya yang baru. Kehidupan yang, secara ajaib, terasa begitu damai. Rumah mereka kini benar-benar terasa seperti rumah. Dipenuhi oleh tawa Bara, aroma masakan Alya yang bereksperimen di dapur, dan kehadiran Arka yang kini selalu terasa hangat dan menenangkan. Suaminya itu benar-benar telah berubah. Ia memimpin Arroihan Group dengan tangan yang kokoh namun adil, mendelegasikan lebih banyak, dan selalu memprioritaskan waktu untuk pulang dan makan malam bersama keluarganya. Hubungan Alya dengan Saphira—ia masih sulit membiasakan diri dengan nama itu—juga berkembang menjadi sesuatu yang unik. Mereka bukan sahabat, tapi mereka adalah sekutu yang solid. Mereka berkomunikasi hampir setiap hari, merancang setiap detail dari proyek “Wisma Kebaikan Rahman Wijaya” di Garut. Di antara diskusi tentan
Perjalanan menuju Puncak pada hari Selasa, 9 September 2025, terasa begitu berbeda dari semua perjalanan mereka sebelumnya. Udara di dalam mobil sunyi, namun bukan karena ketegangan atau amarah, melainkan karena sebuah perasaan gentar yang khusyuk. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka, tapi mereka berdua merasa bahwa ini adalah sebuah perjalanan menuju akhir dari sebuah bab yang panjang dan menyakitkan. “Menurutmu apa yang dia maksud dengan ‘keadilan’, Mas?” tanya Alya pelan. Arka menggeleng, matanya fokus pada jalanan yang menanjak. “Aku tidak tahu, Sayang. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dia sedang merencanakan sesuatu yang licik. Rasanya… berbeda.” Mereka tiba di depan rumah kayu kecil itu. Pemandangannya masih sama asrinya, namun auranya terasa lebih damai. Melati Suryo menyambut mereka di pintu dengan sebuah pelukan hangat untuk Alya. Matanya yang sembap menunjukkan bahwa ia telah banyak menangis, namun kini ada seberkas cahay
Beberapa minggu berlalu seperti sebuah mimpi yang indah. Rumah yang tadinya terasa seperti medan perang, kini telah berubah menjadi surga kecil yang sesungguhnya. Kepercayaan dan keintiman yang telah terjalin kembali di antara Alya dan Arka menjadi fondasi yang kokoh, mengubah setiap sudut rumah menjadi penuh kehangatan.Arka benar-benar menepati janjinya. Ia mendelegasikan lebih banyak pekerjaan pada Vira, menolak rapat-rapat yang tidak penting, dan selalu berusaha pulang sebelum Bara tidur. Sisi “manja”-nya yang dulu hanya muncul sesekali, kini menjadi bagian dari keseharian mereka—sebuah permintaan pelukan tiba-tiba di tengah kesibukan Alya, atau rengekan cemburu yang lucu saat Alya terlalu fokus pada Bara. Bagi Alya, semua itu adalah bukti cinta yang paling tulus.Alya sendiri menemukan dunianya. Kemenangannya di komite sekolah telah memberinya rasa hormat dan posisi yang tak terbantahkan. Ia kini memimpin program bimbingan membaca dengan penuh semangat, dan para ibu







