Hari itu adalah hari pindahan. Tidak ada truk besar atau para pekerja. Yang ada hanyalah sebuah mobil bak terbuka tua milik putra Pak RT yang dengan baik hati menawarkan bantuan, Alya, dan Bu Aminah. Mereka hanya membawa beberapa kotak berisi pakaian, mainan Bara, peralatan dapur seadanya, dan beberapa benda pribadi yang paling penting.
Bagi Bara, ini adalah sebuah petualangan besar.“Wah, kita mau pindah ke rumah baru, Bunda?” serunya girang saat melihat barang-barang mereka diangkut. Matanya berbinar penuh semangat.Alya berlutut di hadapannya, merapikan rambut putranya. Ia harus mengubah peristiwa menyakitkan ini menjadi sesuatu yang positif untuk Bara. “Iya, Sayang. Kita akan coba tinggal di rumah baru yang lebih dekat dengan rumah Nenek. Nanti Bara bisa main di halaman yang ada banyak bunga-bunganya.”“Asiiiik!”Jawaban antusias putranya memberikan Alya kekuatan. Ia sedang melakukan hal yang benar.Saat mereka tiba diHari itu adalah hari pindahan. Tidak ada truk besar atau para pekerja. Yang ada hanyalah sebuah mobil bak terbuka tua milik putra Pak RT yang dengan baik hati menawarkan bantuan, Alya, dan Bu Aminah. Mereka hanya membawa beberapa kotak berisi pakaian, mainan Bara, peralatan dapur seadanya, dan beberapa benda pribadi yang paling penting.Bagi Bara, ini adalah sebuah petualangan besar.“Wah, kita mau pindah ke rumah baru, Bunda?” serunya girang saat melihat barang-barang mereka diangkut. Matanya berbinar penuh semangat.Alya berlutut di hadapannya, merapikan rambut putranya. Ia harus mengubah peristiwa menyakitkan ini menjadi sesuatu yang positif untuk Bara. “Iya, Sayang. Kita akan coba tinggal di rumah baru yang lebih dekat dengan rumah Nenek. Nanti Bara bisa main di halaman yang ada banyak bunga-bunganya.”“Asiiiik!”Jawaban antusias putranya memberikan Alya kekuatan. Ia sedang melakukan hal yang benar.Saat mereka tiba di
Keesokan harinya, Alya terbangun dengan perasaan yang berbeda. Rasa sakit karena panggilan telepon Arka masih ada, namun kini terdesak oleh sebuah emosi baru yang lebih kuat yaitu tekad. Penolakan Arka atas janjinya sendiri seolah menjadi bahan bakar yang ia butuhkan untuk benar-benar melepaskan diri.Pagi itu, pesan balasan dari Bu Santi datang.Bude saya ada di rumah seharian ini, Teh. Kalau mau lihat paviliunnya, datang saja kapan pun.Jantung Alya berdebar. Ini nyata. Ini adalah langkah pertamanya.“Bu, aku mau pergi melihat kontrakan yang kemarin diceritakan Bu Santi,” kata Alya pada ibunya setelah sarapan.“Oh, ya?” Bu Aminah menatapnya. “Mau Ibu temani? Biar Bara di sini sama Ibu.”Alya berpikir sejenak. Sebagian dirinya ingin sekali pergi sendiri, untuk membuktikan bahwa ia bisa. Tapi sorot mata ibunya yang tulus menawarkan dukungan, bukan keraguan, membuatnya luluh. Memiliki dukungan bukan berarti ia lemah.
Beberapa hari berlalu dalam keheningan yang seragam, terasa seperti sebuah jeda yang panjang dan menyakitkan dalam sebuah lagu. Alya dan Bara menciptakan sebuah ritme baru di rumah Bu Aminah. Pagi diisi dengan membuat sarapan bersama, di mana Alya akan dengan sabar mengajari Bara cara mengoleskan selai di atas roti. Siang mereka habiskan dengan bermain di halaman belakang, membangun istana dari bantal tua atau menggambar, menciptakan gelembung kebahagiaan kecil yang rapuh.Namun, di balik semua itu, ada penantian yang konstan. Setiap kali ponselnya bergetar, jantung Alya akan berhenti berdetak sesaat. Tapi itu hanya notifikasi biasa. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Keheningan dari Jakarta terasa lebih memekakkan daripada pertengkaran mana pun. Alya marah pada dirinya sendiri karena kebiasaan bodohnya yang masih saja berharap. “Hapus saja nomornya,” kata satu sisi hatinya. “jangan bodoh, bagaimana jika ada keadaan darurat mengenai Bara?” balas sisi lainnya.
Kembali ke rumah Bu Aminah dengan dua tas besar terasa seperti sebuah kemunduran yang nyata. Saat Alya melangkah masuk, ia disambut oleh tatapan khawatir ibunya dan pelukan Bara yang tidak mengerti apa-apa.“Bunda sudah pulang!” seru putranya riang.Alya memaksakan senyum dan memeluk Bara erat. “Iya, Sayang. Untuk sementara, kita tinggal di sini dulu sama Nenek, ya.”Meskipun disambut dengan kehangatan, rumah ibunya kini terasa sedikit sesak. Bukan karena ukurannya, tapi karena status Alya di dalamnya. Ia bukan lagi seorang istri mandiri yang sedang berkunjung, melainkan seorang anak yang kembali pulang karena badai dalam rumah tangganya. Perasaan itu menggerogotinya, meskipun Bu Aminah tidak pernah sekali pun membuatnya merasa demikian.Keesokan harinya, Alya memulai misinya. Setelah memastikan Bara asyik bermain, Alya menghampiri ibunya yang sedang duduk di teras.“Bu, aku mau mulai cari kontrakan,” katanya, suaranya mantap, menco
Kertas putih yang terlipat rapi itu terasa berat di tangan Alya, jauh lebih berat dari bobotnya yang sesungguhnya. Kertas itu seolah menyerap semua keheningan dan ketegangan di dalam kamar tidur mereka yang kini terasa asing. Nama ‘Alya-ku tersayang’ yang tertulis dengan gaya tulisan tangan Arka yang tegas namun elegan, membuatnya bergidik.Sebagian dirinya, bagian yang lelah dan terluka, berteriak untuk meremas kertas itu menjadi bola, melemparkannya ke tempat sampah, dan pergi dari sana tanpa menoleh ke belakang. Itu adalah jalan yang paling aman. Kata-kata Arka adalah senjata. Dulu, ia menggunakan kata-kata manis untuk menjebaknya, kata-kata kejam untuk menghancurkannya. Apa bedanya dengan sekarang?“Jangan dibaca,” bisik suara ketakutan di dalam dirinya. “Itu hanya akan berisi kebohongan indah. Alasan-alasan yang dirangkai untuk membuatnya terlihat seperti pahlawan. Itu hanya akan membuatmu goyah.”Namun, sebagian dirinya yang lain, bagian yang masih mengingat Arka yang membua
Fajar di Desa kecil datang dengan cara yang sama lembutnya seperti biasa. Cahaya matahari keemasan perlahan menerangi puncak-puncak gunung, dan kicauan burung menjadi alarm alami. Namun bagi Alya, pagi itu terasa berbeda. Ia terbangun di kamar masa kecilnya di rumah Bu Aminah, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti kembali menjadi gadis rapuh seperti dulu, bukan seorang istri atau ibu.Perasaan hampa yang dingin menyelimutinya. Semalam, setelah melihat berita dan menerima telepon dari Arka, ia tidak menangis lagi. Ia hanya duduk dalam diam, membiarkan rasa sakit itu meresap hingga ia mati rasa. Arka telah memilih. Dan kini, ia juga harus memilih. Memilih untuk hancur, atau memilih untuk bangkit.Ia mendengar suara tawa Bara dari ruang tengah. Pilihan itu menjadi sangat jelas.Saat ia keluar dari kamar, putranya itu sedang asyik menyusun balok-balok kayu bersama Bu Aminah. Melihat ibunya, Bara langsung berlari dan memeluk kakinya.“Bunda, selamat pagi!”