Beranda / Romansa / Magang di hati CEO tampan / Bab 101 - Pintu Yang Tak Terduga

Share

Bab 101 - Pintu Yang Tak Terduga

Penulis: Dacep
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-19 19:07:37

​Seminggu telah berlalu di paviliun kecil itu. Alya memaksakan sebuah rutinitas baru. Pagi-pagi sekali ia akan membuat sarapan di dapur mungilnya, lalu mengantar Bara ke taman bermain desa, berharap putranya itu bisa mendapatkan sedikit keceriaan. Namun, di balik senyumnya, kecemasan terus menggerogoti.

​Hari itu adalah hari belanja kebutuhan pokok. Di warung langganannya, ia dengan teliti mengambil beras, telur, dan sayuran sesuai catatan. Matanya menangkap sebungkus cokelat kesukaan Bara. Tangannya terulur untuk mengambilnya, namun ia berhenti saat melihat harganya. Ia ragu sejenak, lalu dengan helaan napas yang nyaris tak terdengar, ia menarik kembali tangannya dan meletakkan cokelat itu. Tidak hari ini. Hari ini, cokelat adalah sebuah kemewahan.

​Perasaan sesak di dadanya semakin menjadi saat ia berdiri di depan mesin ATM satu-satunya di desa. Setelah membayar uang sewa dan deposit paviliun, ia tahu saldonya menipis, tapi melihat angka yang sebenarnya terpampang di

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 114 - Tiba Di Sarang Singa

    ​Perjalanan darat dari Garut ke Jakarta terasa seperti melintasi dua dimensi yang berbeda. Selama beberapa jam pertama, Alya masih bisa melihat hamparan sawah hijau dan perbukitan yang menenangkan dari jendela mobil. Udara di luar masih terasa sejuk. Bara, setelah kesedihan perpisahannya dengan sang nenek, mulai terpesona oleh pemandangan jalan tol yang ramai.​“Bunda, lihat! Mobilnya banyak sekali!” serunya, jarinya menempel di kaca jendela. “Gedung itu tinggi sekali! Sampai ke awan!”​Alya hanya tersenyum tipis, mencoba ikut merasakan antusiasme putranya. Namun, hatinya terasa semakin berat seiring laju mobil. Semakin jauh mereka meninggalkan Garut, semakin sesak dadanya. Pemandangan hijau perlahan digantikan oleh deretan pabrik, lalu rumah-rumah padat, dan akhirnya, hutan beton Jakarta yang menjulang angkuh. Panas dan bisingnya kota seolah merayap masuk, bahkan menembus dinginnya pendingin udara di dalam mobil mewah itu.​Setiap gerbang tol, setiap papan nama jalan yang familier, a

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 113 - Mencabut Akar

    ​Dua hari berikutnya terasa berjalan dalam gerak lambat, dipenuhi oleh persiapan dan keheningan yang sarat makna. Keputusan telah dibuat, dan kini Alya harus mencabut akar kehidupannya yang baru saja ia tanam sendiri.​Pagi itu, tugas pertamanya adalah memberitahu Bara. Ia menemukan putranya sedang asyik menggambar di teras.​“Sayang, Bunda punya kejutan,” Alya memulai dengan lembut.​Bara mendongak, matanya yang besar berbinar penuh rasa ingin tahu.​“Kita akan pergi liburan panjang ke Jakarta,” lanjut Alya, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kita akan tinggal di rumah baru yang besar, dan rumahnya dekat sekali dengan kantor Ayah. Jadi, Bara bisa lebih sering ketemu Ayah.”​Wajah Bara langsung cerah. “Asyik! Bisa ketemu Ayah!” serunya gembira. Namun kemudian, keningnya berkerut. “Tapi… nanti kita kembali lagi ke sini kan, Bun? Ke rumah Nenek?”​Pertanyaan polos itu adalah jangkar bagi Alya. “Tentu saja, Sayang. Ini kan kampung kita. Kita hanya berlibur sebentar di sana.”​Proses

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 112 - Syarat Dan Ketentuan

    ​Di seberang telepon, Arka terdiam sesaat setelah mendengar nada tegas Alya. Keheningan itu sarat dengan antisipasi. Ia akhirnya melepaskan napas yang sepertinya sudah ia tahan. Suaranya terdengar lega, tulus, dan penuh penyerahan.​“Tentu saja, Al. Apa pun. Apa pun caramu,” katanya cepat. “Katakan apa yang harus aku lakukan. Aku akan melakukan apa pun.”​Alya memejamkan mata sejenak, mengumpulkan semua kekuatan dan ketenangan yang ia miliki. Ini bukan lagi permohonan. Ini adalah negosiasi. Dan ia harus memenangkannya.​“Baik,” katanya, suaranya kini terdengar mantap dan jelas. “Ada tiga syarat. Jika salah satu saja tidak bisa kamu penuhi, maka aku dan Bara akan tetap di sini.”​“Sebutkan,” balas Arka tanpa ragu.​“Pertama, dan ini yang paling penting,” Alya memulai. “Kepindahan kami ke Jakarta ini hanya sementara. Aku memberimu waktu satu tahun. Satu tahun untukmu menyelesaikan semua kekacauan di perusahaanmu itu. Setelah satu tahun, atau setelah situasi di sini sudah aman dan Bara s

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 111- Keputusan Seorang Ibu

    ​Setelah panggilan telepon itu berakhir, Alya tidak bergerak. Ia hanya duduk di lantai yang dingin di samping ranjang Bara, mendengarkan keheningan yang ditinggalkan oleh suara Arka. Tawaran suaminya itu. Pulanglah, Al. Kumohon, pulanglah padaku, yang terus bergema di kepalanya.​Jakarta.​Kata itu terasa begitu berat di lidahnya, penuh dengan gema dari masa lalu yang kelam. Jakarta adalah apartemen mewah yang terasa seperti penjara. Jakarta adalah tatapan dingin Arka Arroihan. Jakarta adalah tempat di mana ia kehilangan kendali atas hidup dan tubuhnya sendiri. Selama lima tahun, Garut telah menjadi bentengnya, tempatnya menyembuhkan diri, tempatnya belajar bernapas lagi. Dan sekarang, Arka memintanya untuk kembali ke pusat traumanya.​Ia menatap putranya yang tertidur gelisah. Dahi Bara masih terasa hangat di punggung tangannya, dan sesekali igauan pelan lolos dari bibirnya. Hati Alya terasa seperti terkoyak. Sebagian dirinya ingin sekali lari ke Jakarta, ke pelukan Arka yang menjanj

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 110 - Gema Penyesalan Sang Kaisar

    ​Tuuut… tuut… tuut…​Suara nada panggil yang terputus terasa lebih memekakkan daripada teriakan mana pun. Arka masih memegang ponselnya yang kini terasa dingin di telinganya. Ia menatap kosong ke dinding kantornya yang dilapisi panel kayu mahoni. Keheningan yang ditinggalkan Alya terasa begitu absolut, begitu final.​Di dalam keheningan itu, suara tangisan istrinya dan pengakuan pilunya terus bergema di kepalanya.​“Aku gagal, Mas… Aku gagal melindungi anak kita…”“Mereka bilang Bara anak haram…”“Dia pikir dia anak nakal makanya kamu pergi…”​Setiap kalimat itu adalah sebuah cambukan. Sebuah vonis atas kegagalannya. Selama ini ia sibuk berperang di Jakarta, merasa seperti pahlawan yang berjuang demi masa depan keluarganya. Ia berpikir dengan mengirim uang, dengan menyelesaikan masalah perusahaan secepat mungkin, ia telah melakukan hal yang benar.​Betapa bodohnya dia.​Ia pikir ia sedang memadamkan api di Jakarta, padahal api sesungguhnya sedang memb

  • Magang di hati CEO tampan    Bab 109 - Panggilan Telepon Yang Menghancurkan

    Di keheningan malam yang pekat, di dalam paviliun kecil yang terasa menyesakkan, nada sambung telepon itu menggema. Tuuut… Tuuut… Setiap jeda di antara nada itu terasa seperti satu abad, dipenuhi oleh suara rintihan Bara yang sedang mengigau dan detak jantung Alya yang berpacu tak karuan. Ia hampir saja membatalkan panggilannya, berpikir ini adalah sebuah kesalahan, saat sebuah suara serak dan terkejut menjawab dari seberang sana.“Alya?”Nama itu diucapkan dengan nada kaget, bercampur dengan kelelahan yang kentara. Mendengar suaranya, pertahanan terakhir Alya runtuh. Isak tangis yang sejak tadi ia tahan di kerongkongannya kini meledak menjadi sebuah tangisan yang pilu dan putus asa. Ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, hanya suara tangisannya yang tersedu-sedu yang sampai ke Jakarta.Suara Arka di seberang sana langsung berubah, kepanikan terdengar jelas. “Alya? Kamu kenapa? Ada apa? Jawab aku, Al! Apa terjadi sesuatu pada Bara?!”Pertanyaan terakhir itu, yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status