Hari-hari berlalu setelah insiden pengembalian uang, sebuah ritme baru yang rapuh mulai terbentuk dalam kehidupan Alya. Pagi hingga siang adalah waktu untuk Bara. Ia akan dengan sabar menemani putranya di taman bermain, mendorong ayunannya, dan membantunya membuat istana pasir. Ia memaksakan senyum paling ceria, mencoba menjadi benteng kebahagiaan bagi putranya.
Namun, saat Bara tidur siang dan di malam hari setelah putranya terlelap, paviliun kecil itu berubah menjadi kantor "Jasa Digital Warga Maju". Alya akan duduk di depan laptopnya, matanya lelah namun semangatnya membara.
Kerja kerasnya untuk Pak Ujang membuahkan hasil. Unggahan foto dan cerita-cerita otentik di akun Instagram "Kebun Asri Garut" mulai menarik perhatian. Penjualan madu dan stroberi online meningkat pesat. Pak Ujang begitu senang hingga ia merekomendasikan jasa Alya pada kenalannya, seorang pemilik penginapan kecil di dekat area wisata.
Klien kedua berhasil didapatkan. Alya merasa secerc
Tuuut… tuut… tuut…Suara nada panggil yang terputus terasa lebih memekakkan daripada teriakan mana pun. Arka masih memegang ponselnya yang kini terasa dingin di telinganya. Ia menatap kosong ke dinding kantornya yang dilapisi panel kayu mahoni. Keheningan yang ditinggalkan Alya terasa begitu absolut, begitu final.Di dalam keheningan itu, suara tangisan istrinya dan pengakuan pilunya terus bergema di kepalanya.“Aku gagal, Mas… Aku gagal melindungi anak kita…”“Mereka bilang Bara anak haram…”“Dia pikir dia anak nakal makanya kamu pergi…”Setiap kalimat itu adalah sebuah cambukan. Sebuah vonis atas kegagalannya. Selama ini ia sibuk berperang di Jakarta, merasa seperti pahlawan yang berjuang demi masa depan keluarganya. Ia berpikir dengan mengirim uang, dengan menyelesaikan masalah perusahaan secepat mungkin, ia telah melakukan hal yang benar.Betapa bodohnya dia.Ia pikir ia sedang memadamkan api di Jakarta, padahal api sesungguhnya sedang memb
Di keheningan malam yang pekat, di dalam paviliun kecil yang terasa menyesakkan, nada sambung telepon itu menggema. Tuuut… Tuuut… Setiap jeda di antara nada itu terasa seperti satu abad, dipenuhi oleh suara rintihan Bara yang sedang mengigau dan detak jantung Alya yang berpacu tak karuan. Ia hampir saja membatalkan panggilannya, berpikir ini adalah sebuah kesalahan, saat sebuah suara serak dan terkejut menjawab dari seberang sana.“Alya?”Nama itu diucapkan dengan nada kaget, bercampur dengan kelelahan yang kentara. Mendengar suaranya, pertahanan terakhir Alya runtuh. Isak tangis yang sejak tadi ia tahan di kerongkongannya kini meledak menjadi sebuah tangisan yang pilu dan putus asa. Ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, hanya suara tangisannya yang tersedu-sedu yang sampai ke Jakarta.Suara Arka di seberang sana langsung berubah, kepanikan terdengar jelas. “Alya? Kamu kenapa? Ada apa? Jawab aku, Al! Apa terjadi sesuatu pada Bara?!”Pertanyaan terakhir itu, yan
Beberapa hari setelah konfrontasi Alya dengan Ibu Tuti berlalu dalam ketenangan yang menipu. Di permukaan, tidak ada lagi perundungan verbal secara langsung. Namun, di bawahnya, sebuah perang dingin yang jauh lebih kejam telah dimulai. Dunia Alya dan Bara menyusut drastis. Paviliun kecil mereka dan rumah Bu Aminah kini menjadi satu-satunya wilayah aman mereka.Bara, yang mengerti lebih dari yang Alya kira, tidak pernah lagi meminta untuk pergi ke taman bermain. Keceriaannya yang dulu meluap-luap kini meredup, digantikan oleh kewaspadaan yang seharusnya tidak dimiliki oleh anak seusianya. Ia menjadi lebih pendiam, lebih sering menempel pada ibunya, seolah mencari perlindungan dari ancaman yang tak kasat mata. Hati Alya terasa perih setiap kali melihat perubahan itu.Ia mencoba menebusnya. Setiap siang, ia akan menciptakan petualangan baru untuk Bara di halaman belakang rumah ibunya. Mereka membangun benteng dari kardus, melukis dengan cat air, atau sekadar berbaring
Pagi setelah konfrontasi dengan Ibu Tuti, Alya bangun dengan perasaan campur aduk. Ada kecemasan yang mengganjal, namun juga secercah harapan yang rapuh. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya kemarin, meskipun sulit, adalah hal yang benar. Ia telah menarik garis batas. Orang dewasa, sekali dikonfrontasi, surely akan mengerti untuk tidak melibatkan anak-anak.“Hari ini kita main ayunan yang tinggi di taman, ya?” kata Alya pada Bara dengan nada seceria mungkin saat sarapan. “Bunda janji akan dorong sampai Bara bisa menyentuh awan!”Bara, yang masih sedikit murung sejak insiden perundungan pertama, tersenyum kecil. “Benar ya, Bunda?”“Tentu saja,” jawab Alya, hatinya sedikit menghangat melihat senyum putranya kembali.Dengan harapan baru di dalam hatinya, Alya menggandeng tangan putranya menuju taman bermain. Namun, harapan itu hancur berkeping-keping begitu mereka tiba.Taman itu ramai s
Pagi berikutnya, paviliun kecil itu terasa berbeda. Keheningan yang ada bukan lagi keheningan yang damai, melainkan keheningan yang sarat akan ketegangan. Bara, yang biasanya akan langsung berlari keluar untuk bermain setelah sarapan, kini hanya duduk diam di sudut ruangan, menyusun balok-balok kayunya tanpa gairah.“Bara nggak mau ke taman bermain?” tanya Alya lembut, hatinya perih melihat perubahan pada putranya.Bara menggeleng pelan, tanpa menatap ibunya. “Nggak mau. Di sini saja sama Bunda.”Jawaban itu adalah sebuah vonis. Keceriaan putranya telah dirampas. Taman yang seharusnya menjadi tempat paling menyenangkan bagi seorang anak, kini telah menjadi sumber ketakutannya. Alya mengepalkan tangannya di sisinya. Cukup sudah. Ia tidak bisa membiarkan ini berlanjut.Ia menatap putranya yang murung, lalu pada laptopnya yang menampilkan pekerjaan yang menunggu. Bisnisnya, kliennya, semua itu penting. Tapi tidak ada yang lebih p
Hari-hari berlalu setelah insiden pengembalian uang, sebuah ritme baru yang rapuh mulai terbentuk dalam kehidupan Alya. Pagi hingga siang adalah waktu untuk Bara. Ia akan dengan sabar menemani putranya di taman bermain, mendorong ayunannya, dan membantunya membuat istana pasir. Ia memaksakan senyum paling ceria, mencoba menjadi benteng kebahagiaan bagi putranya.Namun, saat Bara tidur siang dan di malam hari setelah putranya terlelap, paviliun kecil itu berubah menjadi kantor "Jasa Digital Warga Maju". Alya akan duduk di depan laptopnya, matanya lelah namun semangatnya membara.Kerja kerasnya untuk Pak Ujang membuahkan hasil. Unggahan foto dan cerita-cerita otentik di akun Instagram "Kebun Asri Garut" mulai menarik perhatian. Penjualan madu dan stroberi online meningkat pesat. Pak Ujang begitu senang hingga ia merekomendasikan jasa Alya pada kenalannya, seorang pemilik penginapan kecil di dekat area wisata.Klien kedua berhasil didapatkan. Alya merasa secerc